SUKABUMIUPDATE.com - Pertemuan sejumlah pihak untuk membahas polemik aktivitas tambang PT Muara Bara Indonesia di kawasan Gunung Kekenceng -- dekat dengan kompleks Hiroshima 2 -- di Desa Tegalpanjang, Kecamatan Cireunghas, Kabupaten Sukabumi belum menuai kesepakatan.
Dalam pertemuan yang digelar di kantor Desa Tegalpanjang, Kamis, 8 April 2021, perusahaan menjelaskan ihwal perizinan mereka kepada beberapa pihak yang hadir, antara lain Yayasan Cagar Budaya Nasional Kota Hiroshima 2 Pojok Gunung Kekenceng; pihak Kecamatan Cireunghas; Kepala Desa Tegalpanjang; Dinas Perindustrian dan Energi Sumber Daya Mineral; Dinas Lingkungan Hidup; Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Sukabumi; serta unsur tentara dan kepolisian.
Namun saat itu reporter sukabumiupdate.com sempat diminta menunggu di luar ruang pertemuan. Berdasarkan rekaman suara yang berhasil didapat, PT Muara Bara Indonesia yang diwakili manager operasional mereka mengatakan pihaknya telah menempuh prosedur perizinan yang ada. Bahkan dalam proses perizinan tersebut mereka mengaku mendapat luas lahan 9,2 hektar.
"Yang saya dengar, situs itu cuma ada di Kampung Pojok. Tapi kami kan bukan di Kampung Pojok, tapi Gunung Kekenceng," ucapnya. Ketika akan dikonfirmasi kembali soal hal itu usai pertemuan selesai, ia enggan memberikan penjelasan.
Sementara Kepala Desa Tegalpanjang Dadang Priatna mengaku seluruh proses perizinan tambang dan pengolahan batu andesit PT Muara Bara Indonesia dilakukan pihak perusahaan. Sehingga ia tidak memiliki arsip perizinan tersebut.
"Perizinan adanya di pihak pengelola, di perusahaan. Karena dia yang megang seluruhnya," ucap Dadang.
Ia menyebut kelanjutan persoalan ini akan menunggu hasil penyelidikan Kepolisian Resor Sukabumi Kota. "Tadi sudah diputus oleh Pak Kapolsek ini kelanjutannya nanti setelah ada pemberitaan dari reskrim (reserse kriminal) kota," katanya.
Dadang juga membantah soal dugaan gratifikasi yang melibatkan dirinya dalam proses perizinan tambang tersebut. "Belum, tidak ada, tidak ada. Gratifikasi itu apa? Tidak ada. Kalau uang resmi nantinya ada, uang resmi itu sesuai perjanjian diberikan bertahap kubikasi atau bulanan ditandatangani di notaris. Itu ada nanti setelah produksi," jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Gunung Kekenceng yang terletak di Desa Tegalpanjang, Kecamatan Cireunghas, Kabupaten Sukabumi saat ini terancam aktivitas eksploitasi PT Muara Bara Indonesia. Gunung yang berdekatan dengan kompleks Hiroshima 2 ini tengah dibongkar oleh perusahaan yang dipertanyakan perizinannya.
Hal itu dikatakan Ketua Yayasan Cagar Budaya Nasional Kota Hiroshima 2 Pojok Gunung Kekenceng Sukabumi Tedi Ginanjar. Kompleks Hiroshima 2 sendiri terletak di Kampung Pojok Tengah RT 18/05 Desa Tegalpanjang dan berjarak sekira satu kilometer dari Gunung Kekenceng.
Tedi menjelaskan aktivitas perusahaan tambang dan pengolahan batu andesit tersebut diduga tanpa seizin warga sekitar dan tidak memiliki dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup atau UKL-UPL.
"Pasalnya izin lingkungan tersebut seharusnya diumumkan di media massa, baik online maupun media cetak sesuai dengan amanat undang-undang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup," kata Tedi, Jumat, 2 April 2021.
Terlebih di Gunung Kekenceng tersebut, kata Tedi, terdapat tanaman milik Gerakan Pramuka Saka Wanabakti Perusahaan Umum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan atau KPH Sukabumi yang tertuang dalam surat perjanjian pemeliharaan bersama dengan pemilik lahan yang dibuat pada tahun 2012.
"Tanah desa Tegalpanjang yang ada di Gunung Kekenceng pun sudah diswakelolakan kepada Pramuka Saka Wanabakti KPH Sukabumi," lanjutnya.
Selain itu, Tedi menyebut di Gunung Kekenceng juga terdapat situs pertahanan Divisi Siliwangi/Tentara Keamanan Rakyat atau TKR Resimen III Sukabumi Batalyon 3 pimpinan Kapten Anwar yang sedang diteliti dan dikaji oleh Balai Arkeologi Jawa Barat, Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten, serta Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Sukabumi.
"Situs pertahanan tersebut sudah diakui dan akan dilakukan observasi lanjutan oleh Komando Daerah Militer atau Kodam III/Siliwangi melalui Kepala Pembinaan Mental Kolonel Inf. Luqman Arif," ungkapnya.
Hal itu termuat dalam surat dengan Nomor: B/100/II/2020 yang ditandatangani Kepala Pembinaan Mental Kodam III/Siliwangi Kolonel Inf. Luqman Arif yang diperlihatkan Tedi.
Bahkan pada 7 Januari 2020, sambungnya, utusan Pangdam III/Siliwangi yakni Mayor Kav. Eko Saiful Rahman dan tim dari Pembinaan Mental Kodam III/Siliwangi (Museum Mandala Wangsit Siliwangi) telah melakukan observasi ke kawasan cagar budaya Hiroshima 2 dan Gunung Kekenceng.
Hiroshima 2 dan Gunung Kekenceng sendiri menurut pengakuan Tedi telah didaftarkan ke Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 sebagai kawasan cagar budaya.
Jauh sebelum itu, telah terbit Surat Keputusan Kepala Desa Tegalpanjang Nomor: 520/08/III Tahun 2013 yang berisi tentang pengukuhan lahan kering dan tanah negara yang ada di Desa Tegalpanjang menjadi kawasan lindung dan konservasi sisa-sisa pangkalan militer peninggalan Jepang di Kampung Pojok dan bekas markas pertahanan Siliwangi di Gunung Kekenceng menjadi kawasan cagar budaya.
Namun saat ini Tedi menyebut justru ada sekira 3 dari 12 hektar lahan Gunung Kekenceng yang telah dibongkar oleh perusahaan tambang dan pengolahan batu andesit dalam rentang waktu tiga minggu. Ia pun telah melaporkan hal ini ke Kepolisian Resor Sukabumi Kota. Sebab Tedi ingin kasus tersebut diusut karena diduga ada pelanggaran pidana.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi Suhebot Ginting menuturkan pihaknya telah mengeluarkan rekomendasi dokumen UKL-UPL perusahaan tambang dan pengolahan batu andesit tersebut pada tahun 2017 dengan luas sekira 10 hektar karena saat itu warga mendukung kegiatan pertambangan di wilayah ini.
"Informasi awal dulu itu masyarakat di sana sudah disosialisasikan sangat mendukung dengan adanya kegiatan pertambangan tersebut," jelas Ginting.
Baca Juga :
Sekilas tentang Hiroshima 2
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan di kawasan atau kompleks Hiroshima 2 saat ini terdapat beberapa bekas fondasi bangunan yang terletak di tengah hamparan sawah. Yang terlihat sebagian masih utuh adalah bekas kolam di tengah sawah.
Beberapa petani yang pernah mendengar dari orang tuanya dulu, kata Irman, mengatakan bahwa di sana dibangun pabrik kina untuk obat para prajurit, gudang makanan dan hasil bumi, gudang amunisi, serta bengkel kendaraan perang. Kompleks ini juga sudah dilengkapi aliran listrik dan telepon.
Irman yang juga penulis buku "Soekaboemi the Untold Story" mengungkapkan pembangunan kompleks ini cukup unik, mengingat Jepang sangat sedikit melakukan pembangunan di Indonesia akibat kondisi perang dan kekuasaannya yang hanya seumur jagung. Dalam situasi perang Asia Timur Raya, Jepang berfokus terhadap upaya mendukung tentaranya untuk memenangkan perang.
"Praktis pembangunan yang dilakukan di Sukabumi hanyalah untuk keperluan perang, misalnya membuat sejumlah pos pertahanan di pesisir Selatan untuk mengantisipasi serangan sekutu Amerika, yaitu Australia. Jepang pun membuat dua bunker militer di Ciemas dan Palabuhanratu," kata Irman yang kini aktif sebagai Kepala Riset dan Kesejarahan Soekaboemi Heritages.
Pembangunan infrastruktur mulai dilakukan di Sukabumi setahun setelah Jepang menguasai Sukabumi, terutama usai mereka berhasil mengontrol keamanan dan administrasi.
Irman menyebut beberapa pabrik didirikan di Sukabumi, misalnya pabrik kancing di Ciseureuh yang dibuat dari tulang iga kerbau atau sapi. Produksinya sekira 1.000 kancing per hari dengan membuat empat macam kancing, yakni kancing baju, tangan jas, celana, dan kemeja.
Jepang juga membantu pembangunan perusahaan sikat gigi milik Tuan Muhtar di Cibadak. Sikat gigi ini memiliki kualitas baik dari bahan ijuk dan bulu sapi.
Ijuk yang warnanya hitam dibuat menjadi putih dengan batang terbuat dari tulang. Pabrik ini bisa memproduksi 1.000 sikat gigi sehari dengan mempekerjakan 200 orang dan dijual dengan harga 30 sen di pasar-pasar.
"Sehingga Hiroshima 2 ini pun merupakan bagian dari program pembangunan infrastruktur penunjang perang Jepang di Sukabumi," ungkapnya.
Cukup masuk akal jika area yang disebut Hiroshima 2 ini menjadi kompleks militer integratif mengingat terdapat kawasan industri penunjang perang yang dilengkapi klinik prajurit. Klinik ini menjadi tempat para prajurit berobat karena sangat dekat dengan tempat produksi obat kina.
Keberadaan klinik ini sempat terekam saat Belanda menduduki Sukabumi karena digunakan sebagai tempat pengobatan masyarakat.
Desentralisasi produksi kina ini juga dimaksudkan untuk menghindari risiko pengeboman sekutu terhadap pabrik kina di Bandung. Sehingga dua pabrik baru pun dibangun, yakni di Tegalpanjang, Kabupaten Sukabumi dan di Cikembang, Kabupaten Garut.
Keberadaan perkebunan kina di Sukabumi memang telah berlangsung sejak lama. Perkebunan Sinagar di Distrik Ciheulang telah menanam komoditas ini sejak 1893.
Sejak itu, setidaknya ada lima perkebunan yang menanam kina di Sukabumi, tersebar di Distrik Cicurug, Jampang Tengah, dan Gunung Parang yang di antaranya Pandjang Estate di lereng Gunung Pangrango. Kemudian Perkebunan Pasir Telaga di Nyalindung, Perkebunan Pandan Aroem, Perkebunan Jayanegara di Kabandungan, dan Perkebunan Ciwangi di Cireunghas.
"Bisa jadi kedekatan dengan Cireunghas menjadi alasan Jepang untuk membangun pabrik kina di Tegalpanjang, di samping lokasinya yang tersembunyi dari pantauan pesawat sekutu. Pabrik ini dibangun pada September 1943 dengan biaya 4.500.000 Gulden (NLG). Sementara di Garut dibangun sebulan setelahnya dengan biaya dua kali lipat, yakni 9.500.000 NLG," papar Irman.
Pembangunan pabrik yang disebut sebagai Rikuyun Kinine Seizoysho ini tidak bisa cepat, mengingat konsentrasi Jepang terpecah dengan peperangan yang semakin membuatnya terdesak ke ambang kekalahan.
Pada akhirnya, pembangunan pabrik dapat diselesaikan sepenuhnya pada Juli 1945, meski hanya mampu memproduksi 90 persen dari kapasitas yang diproyeksikan yaitu 115 ton dan 100 kina sulfur untuk Sukabumi dan Garut.
"Sayangnya Jepang keburu menyerah kepada pasukan sekutu pada 14 Agustus 1945, sehingga pabrik yang baru dijalankan itu pun berhenti total beroperasi. Pada saat penyerahan, stok gudang kina di Tegalpanjang mencapai 161 ton, namun kemudian terjadi penjarahan sehingga sisa stok tinggal 2.000 kilogram saja," pungkas Irman.