SUKABUMIUPDATE.com - Liverpool menelan enam kekalahan beruntun di kompetisi musim ini. Situasi tersebut membuat The Reds semakin terpuruk di papan klasemen Liga Inggris dengan menempati posisi delapan atas 43 poin yang dikumpulkan.
Kondisi ini pun mengubah status Liverpool dari monster pada musim lalu menjadi bahan tertawaan musim ini. Jika dulu fans The Reds kerap melihat Jurgen Klopp melampiaskan ekspresi berlebihan saat timnya menang, kini pelatih asal Jerman itu meninggalkan lapangan dengan kepala tertunduk.
Ada apa dengan Liverpool? Mengapa begitu cepat kekuatan pada dirinya hilang? Padahal seluruh pemainnya memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Statistik yang dibuat Simon Gleave, kepala analis olahraga Nielsen's Gracenote mungkin menarik dibaca. Liverpool, menurut Gleave, satu-satunya tim dari lima klub top Eropa yang mengalami kekalahan beruntun di enam laga kandang mereka.
Kemerosotan menjadi luar biasa karena Liverpool sebelumnya tidak terkalahkan di 68 laga kandang dalam empat tahun terakhir. The Reds gagal mencetak gol di Anfield dari 115 tembakan yang dilepaskan pemainnya. Penghitungan itu tidak termasuk gol bunuh diri lawan dan tembakan penalti.
Secara keseluruhan, di Liga Inggris musim ini Liverpool kalah sembilan kali dari 28 pertandingan. Sementara di tiga musim sebelumnya, The Reds menjalani 114 pertandingan dan hanya menelan sembilan kekalahan.
Musim ini, tingkat keberhasilan tekel pun hanya mencapai 57 persen. Padahal pada musim-musim sebelumnya, tingkat keberhasilan tekel Liverpool ada di antara 70 hingga 80 persen.
Jumlah kebobolan Liverpool musim ini di luar dugaan, yakni 36 gol dari 28 pertandingan. Musim lalu, sampai akhir liga The Reds hanya kebobolan 33 gol. Bahkan musim sebelumnya, saat menjadi runner up, mereka hanya kebobolan 22 gol.
Ada beberapa alasan mengapa Liverpool begitu cepat berubah status dari monster menjadi ikan kecil. Tim yang semula ditakuti menjadi pecundang saat menghadapi klub mana pun.
Baca Juga :
Berikut analisis tentang Liverpool
1. Imbas Intensitas Permainan yang Tinggi
Jurgen Klopp kerap berbicara tentang preferensinya mengoperasikan skuad yang solid untuk menumbuhkan sikap monster mental. Itu diperlihatkan ketika mencatat kemenangan comeback saat bertemu Barcelona di Liga Champions dan Aston Villa di Liga Inggris.
Sebagai pelatih, Klopp menghendaki pemainnya menerapkan gaya tekanan tinggi di semua lini. Namun pendekatan itu berdampak pada tubuh semua pemain. Mereka mengalami penuaan fisik sebelum waktunya.
Dari starting eleven di final Liga Champions 2018, hanya Dejan Lovren yang tidak lagi ada di klub. Artinya, komposisi pemain yang sama terus dimainkan sepanjang empat tahun terakhir. Yang pada akhirnya, ketika salah satu cedera, The Reds seolah mengalami kelumpuhan.
Jamie Carragher, mantan pemain Liverpool ini mengatakan mentalitas monster tiba-tiba berubah menjadi mentalitas cebol. Pendapat ini mengacu pada dua laga terakhir The Reds, ketika pemainnya nyaris kehilangan kreativitas dan seolah enggan mencetak gol.
2. Pemain Kurang Beristirahat
Desember lalu, Klopp berbicara tentang ketegangan di skuadnya yang disebabkan kemacetan jadwal dan Natal. Saat itu Liverpool harus menghadapi Midtjylland di Liga Champions dan ia seolah tidak punya pilihan selain menurunkan Mohamed Salah.
Salah menjadi pemain yang berlaga di 18 pertandingan tanpa pernah ditarik keluar lapangan. Salah mencetak gol untuk memaksa Midtjylland berbagi angka 1-1. Ia senang menjadi pencetak gol terbanyak di Liga Champions musim ini, tapi pemain asal Mesir itu melewatkan peluang istirahat.
Tidak hanya Salah, pemain lain juga mengalami penderitaan yang sama. Mereka telah tiga musim bermain tanpa henti karena Klopp sangat hati-hati memberi waktu istirahat kepada pemainnya.
Divock Origi mungkin tidak berada di level sama dengan tiga penyerang Liverpool; Salah, Sadio Mane, dan Roberto Firmino, namun ia cukup bisa dipercaya bermain beberapa menit setelah pemain utama ditarik. Itu jarang dilakukan Klopp.
3. Perekrutan yang Salah
Michael Edwards, direktur sepakbola Liverpool, pantas dipuji karena kemampuannya merekrut pemain sempurna untuk sistem Klopp. Ia membawa Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane ke Anfield.
Namun setelah Liverpool juara, Edwards tidak pernah membahas satu hal; apa yang harus dilakukan ketika satu dari tiga pemain tersebut cedera, sementara kesenjangan pemain cadangan dan utama demikian lebar.
Pemain seperti Origi dan Xherdan Shaqiri tidak cukup bagus masuk plan B, ketika lini depan Liverpool tumpul.
Coba sejenak melihat ke Bundesliga, saat Klopp menangani Borussia Dortmund. Ia berdedikasi tinggi pada gaya bermainnya. Ia membuat Dortmund menjadi penantang Bayern Munchen selama beberapa musim, tapi gagal mengatasi kejatuhan tim pada musim terakhirnya. Saat itu Dortmund mengakhiri musim di posisi tujuh.
4. Kutukan Cedera dan Hilangnya Van Dijk
Kehilangan Virgil Van Dijk mungkin menjadi alasan utama kejatuhan Liverpool musim ini. Namun, ketidakhadiran dua pemain lainnya; Joe Gomez dan Joel Matip juga layak digarisbawahi.
Yang lebih membingungkan adalah Klopp dan Edwards tahu akan kehilangan ketiganya dalam waktu lama, namun mereka tidak melakukan pembelian pemain bertahan untuk musim ini. Padahal setidaknya, Liverpool harus membeli satu pemain bertahan.
Masalah menjadi rumit ketika kapten Jordan Henderson juga cedera. Sebagai bek darurat, Henderson sangat berguna. Ia bisa membaca serangan lawan dan mampu memimpin rekan-rekannya.
5. Tanpa Rotasi, Tanpa Kemenangan
Jika kita kembali melihat pertandingan Liverpool di Anfield. Itu tampak bukan The Reds yang sesungguhnya. Semua pemain terlihat lesu dan ogah-ogahan menyerang. Padahal, semua tahu skuad Klopp berkualitas di atas rata-rata. Maka yang tidak ada di Liverpool adalah rotasi.
Klopp telah mempersiapkan Jota sebagai pelapis Salah, Mane, dan Firmino. Namun ketika Jota cedera, Klopp tidak tahu apalagi yang harus dilakukan.
Keengganan Klopp mempercayai pemain di luar starting line up permanen membuat kelelahan pemain tidak terhindarkan.
Bahkan menurut koresponden olahraga Phil O'Connor, sikap keras kepala Klopp tidak membawa lampu kecil dari bangku cadangan menyebabkan Liverpool berada dalam kondisi saat ini.
6. Ketiadaan Pemain ke-12
Pemain ke-12 itu adalah kerumunan penonton. Seperti semua tim, Liverpool kehilangan pemain itu. Pandemi memaksa semua laga Liga Inggris, juga liga-liga lain di Eropa, berlangsung tanpa penonton.
Alih-alih dipuji 50 ribu fans The Reds di Anfield, penampilan buruk skuad Klopp disambut keheningan. Hanya amuk Klopp di pinggir lapangan yang terlihat setiap kali Liverpool kebobolan.
Mungkin situasi tidak akan sama jika pemain ke-12 ada. Hiruk-pikuk penonton adalah satu-satunya penawar kelelahan hebat pemain yang tak henti dimainkan.
Harus diketahui, Anfield adalah stadion paling menakutkan. Dalam bahasa orang Indonesia, Anfield itu stadion angker. Namun, pandemi menghilangkan keangkeran Anfield dan bahkan tim pesakitan seperti Fulham pun bisa menang di stadion tersebut.
7. Penurunan Kecepatan Bermain
Selama dua musim terakhir, Liverpool kekurangan rekrutan berkualitas. Di sisi lain, kemampuan Firmino tidak lagi seperti dua musim lalu. Trent Alexander Arnold dan Andrew Robertson juga mengalami hal serupa.
Lini tengah Liverpool goyah. Naby Keita sedikit gagal. Thiago Alcantara beroperasi dengan kecepatan berbeda dengan rekan-rekannya.
Tiba-tiba lini tengah dibuat bingung, siapa yang harus beradaptasi; Alcantara atau pemain lama. Jawaban atas semua itu adalah enam kekalahan beruntun. Bahwa Liverpool telah menurunkan kecepatan bermainnya.