SUKABUMIUPDATE.com - Aksi demo Aliansi Rakyat Sukabumi Menggugat yang berakhir pada Selasa malam (12/4/2022), menyisakan cerita menarik bagi Nasir (45 tahun). Sisa-sisa sampah plastik massa unjuk rasa dipungut, untuk dijual guna bekal makan sahur.
Usai mendapatkan tanda tangan Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Sukabumi atas aspirasi yang disampaikan, massa aksi Aliansi Rakyat Sukabumi Menggugat yang bertahan di tugu Adipura hingga Selasa malam (12/4/2022), akhirnya membubarkan diri. Sampah plastik cukup banyak, karena massa aksi dan aparat yang berjaga menggelar buka puasa di lokasi tersebut.
Dalam pantauan sukabumiupdate.com di lokasi, Nasir memunguti sisa-sisa sampah plastik itu di sekitar Bundaran Adipura Kota Sukabumi. Ia mengaku tak begitu mengerti maksud dari aksi tersebut, namun dirinya bersyukur bisa mengais rezeki dalam momen ini, terutama saat Ramadan.
"Sampah plastiknya dijual ke pengepul," kata Nasir. Menurut dia, sisa-sisa sampah plastik itu bisa dijual seharga Rp 50 ribu. "Dicukup-cukupkan (untuk makan sahur)," imbuhnya.
Baca Juga :
Nasir yang merupakan warga Cianjur ini sudah kurang lebih empat tahun bolak-balik ke Sukabumi untuk mengumpulkan sampah plastik. Ini dilakukannya tak lain untuk memenuhi kebutuhan dia dan keluarga di tengah harga sembako yang meroket.
"Sudah empat hidup di jalanan (di Kota Sukabumi)," kata dia.
Pekerjaan Nasir sedikit terbantu, karena usai aksi petugas keamanan TNI Polri yang mengawal langsung melakukan aksi bersih-bersih. Sampah dikumpulkan sehingga memudahkan Nasir untuk membawanya ke pengepul.
Diketahui, massa Aliansi Rakyat Sukabumi Menggugat menyuarakan sejumlah tuntutan dalam aksi Selasa ini. Mereka mulai melakukan demo sejak Selasa pagi dan berakhir sekira pukul 21.00 WIB usai ditemui Wali Kota Sukabumi.
Adapun sejumlah aspirasi yang disuarakan antara lain menolak kenaikan harga minyak goreng dan sembako, menolak kenaikan harga BBM, menolak kenaikan harga pupuk dan obat pertanian, serta menolak kenaikan harga LPG dan TDL, hingga menolak pembangunan ibu kota nusantara di Kalimantan yang dianggap tidak tepat dilakukan saat ekonomi negara lemah.