SUKABUMIUPDATE.com - Demi menyambung hidup, biaya pendidikan anak, hingga alasan usia yang tidak muda lagi membuat para mantan buruh korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal PT Glostar Indonesia (GSI) I Cikembar Kabupaten Sukabumi berharap untuk bisa dipekerjakan kembali.
Namun harapan tersebut seakan sirna, karena tersiar kabar bahwa para pekerja yang sudah di PHK tak bisa kembali diterima bekerja.
Sukabumiupdate.com berkesempatan untuk menemui tiga warga Desa Bojongkembar yang menjadi korban PHK akibat pandemi oleh pabrik yang memproduksi sepatu tersebut, Jumat (22/1/2022). Ketiganya yaitu Yanti Yuliawati (38 tahun), Sri Katon (28 Tahun), dan Nana Lesmana (32 Tahun).
Yanti mengaku masih berusaha untuk bisa mendapatkan kembali status karyawan di perusahaan tempatnya dulu mencari nafkah selama delapan setengah tahun itu.
"Saya sering ngajuin kerja lagi dari link, ah tapi satupun kayanya ga ada yang ngelirik," ujarnya.
Baca Juga :
Dia mengaku ingin kembali bekerja untuk membantu perekonomian keluarga dan bisa membiayai anaknya sekolah.
"Untuk saat ini kenapa saya ingin kembali bekerja di GSI, yang pertama, untuk biaya sekolah anak, terus yang keduanya buat bantu-bantu suami juga, bantu pemasukan keluarga," ungkapnya.
Sementara itu Sri memaparkan kembali kronologi PHK yang terjadi pada Oktober 2020 lalu. Adanya keputusan sepihak dari pihak perusahaan itu membuatnya kecewa dan memutuskan ikut unjuk rasa bersama ribuan pekerja lain yang senasib dengannya.
"Awalnya kan seminggu dirumahkan. Buat cutting, sewing, assembling, di tambah 3 hari. Padahal di situ teh ada proses PHK, kita ga di konfirmasi sebelumnya bahwa akan ada PHK sebagian, makanya demo kan 1 hari, nah setelah 3 hari selepas demo di PHK lah semua, sekitar lima ribu orang di PHK di Blok A," katanya.
Ia juga mengaku telah mencoba untuk melamar kerja kembali, namun hingga kini tak kunjung mendapat panggilan.
"Kita kan kabarnya sudah ga bisa kerja lagi di GSI, sedangkan buat ngelamar di PT lain buat usia di atas 25 tahun susah juga. Kemarin sempet ngelamar lagi di GSI, katanya Januari, sekarang sudah Januari masih belum ada panggilan juga," sambungnya.
Kendala ini juga dirasakan oleh Nana, sebagai tulang punggung keluarga, dia kini harus beralih profesi sebagai tukang ojek pangkalan untuk bisa menafkahi anak dan istrinya sehari-hari.
"Saya awalnya menyesal juga setelah di PHK, karena zaman sekarang susah buat cari kerja. Dulu mah enak udah ada gaji, kalo ngojek kan ga tentu penghasilannya," ungkapnya.
Meski begitu, dirinya enggan untuk melamar kembali di PT GSI, karena ia menganggap sudah tak akan bisa diterima kerja kembali.
"Saya juga udah ga ngelamar-ngelamar lagi, ga akan diterima juga, yaudah ngikutin hobi aja jualan burung, sama ngojek," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, adanya Pandemi Covid-19 telah memukul nyaris seluruh sektor kehidupan, termasuk ekonomi.
Ribuan Buruh pabrik pun harus kehilangan pekerjaannya karena mengalami pemutusan hubungan kerja alias PHK massal. Salah satunya karyawan di salah satu pabrik sepatu di wilayah Cikembar, Kabupaten Sukabumi.
Kekinian, Buruh pabrik itu membentuk Forum Mantan Karyawan PT GSI yang Ingin Bekerja Kembali atau Formakasi YIBK. Mereka mencatat, ada 4.800 karyawan yang kena PHK di perusahaan tersebut pada Oktober 2020.
Ketua Formakasi YIBK Arif Marudin mengatakan pihaknya merasa mendapat diskriminasi dari perusahaan tempat sebelumnya mereka bekerja. Disisi lain, ia mengakui PHK merupakan kebijakan perusahaan.
"Saat PHK itu tidak ada bahasa atau redaksi apa pun yang ditandatangani karyawan," katanya.
Puncak kekecewaan ribuan mantan karyawan pabrik sepatu itu memuncak setelah rapat pihak perusahaan dengan pemerintah desa setempat pada Agustus 2021.
Arif mengatakan, salah satu hasil rapat tersebut menyatakan karyawan yang di-PHK dan mendapat pesangon dua kali ketentuan masa kerja, di-blacklist atau tidak bisa kembali bekerja.
Dia menyebut, ketentuan itu tidak berlaku bagi karyawan yang membuat surat pengunduran diri atau SPD (tiga bulan sebelum PHK massal diberi kesempatan mengundurkan diri dan mendapatkan pesangon satu kali ketentuan masa kerja).
"Hasil rapat itu berita acaranya ditandatangani kepala desa setempat dan humas pabrik," ujar Arif. Dalam data Arif, ada kurang lebih 1.000 karyawan yang SPD.
Sementara itu, Arif juga menjelaskan ada 50 karyawan (bagian dari 4.800 buruh) yang setelah mengalami PHK massal pada Oktober 2020, namun dipekerjakan kembali selama dua bulan untuk membantu perusahaan. "Sampai bulan Desember 2020 dan akhirnya mereka juga diberhentikan lagi," kata dia.
Permasalahan yang sekarang terjadi adalah pihak perusahaan tidak bisa menerima 4.800 karyawan tersebut kembali bekerja. Padahal, sambung Arif, pada 2021 ini pabrik sepatu itu mulai merekrut karyawan, tetapi yang diterima hanya Buruh yang SPD dan 50 orang yang sebelumnya dipekerjakan kembali.
"Harusnya kalau blacklist semua dong, jangan ada terkecualinya. Di situ kita merasa ada diskriminasi," ujarnya.
Dengan bekal pengalaman sebelumnya, kata Arif, ribuan mantan buruh PT GSI I itu berharap bisa diterima kembali.
"Kalau pengalaman dan mental kita sudah siap bekerja lagi dibandingkan karyawan baru atau pelamar pekerja baru di pabrik sepatu tersebut," pungkasnya.
REPORTER: CRP 3