SUKABUMIUPDATE.com - Dalam beberapa tahun terakhir, wacana pembangunan bandara di Sukabumi terus menggeliat. Pada 2020, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah atau BAPPEDA Kabupaten Sukabumi saat itu, Maman Abdurrahman mengatakan, pembangunan bandara di Cikembar terus diupayakan namun terhambat pandemi Covid-19. Bergeser dari rencana tersebut, lapangan terbang ini ternyata bukan hal baru di Sukabumi.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengungkapkan, sekira Maret 1918, Pemerintah Hindia Belanda mencari dua lahan di Sukabumi dengan luas ideal 600 x 1.000 meter di dekat Bojonglopang dan Palabuhanratu untuk dijadikan landing station (stasiun pendaratan) atau lapangan terbang darurat. Kendati demikian, Irman menegaskan ini bukan bandara yang melayani penerbangan sipil ke bandara lainnya. Ukuran itu pun ditentukan karena panjang landing minimal 700 meter.
"Maka luasan yang diperlukan minimal adalah 10 hektare karena memerlukan lahan fungsional penunjang lapangan terbang," kata Irman kepada sukabumiupdate.com, Kamis, 2 Desember 2021.
Irman yang juga Ketua Yayasan Dapuran Kipahare mengatakan, lahan di dekat Bojonglopang lebih awal dibebaskan, yang kini menjadi kawasan Batalyon Infanteri 310 Cikembar. Di mana, sambung dia, bekas runway lapangan tersebut saat ini menjadi lapangan tembak. Lapangan terbang Cikembar yang diresmikan 13 Februari 1922, dalam perjalanannya kemudian menjadi lapangan terbang militer untuk keperluan Perang Dunia II dengan menempatkan 22 pesawat tempur.
"Bahkan lapangan terbang Cikembar sempat menjadi markas angkatan udara sekutu sementara saat Paul Maltby mundur dari Sumatera," ungkap Irman.
Berbeda dengan lapangan terbang Palabuhanratu, meski lokasi yang dibebaskan di sekitar Rawakalong dibangun serentak dengan lapangan terbang Cikembar, tetapi Pemerintah Hindia Belanda tidak menjadikannya sebagai lapangan terbang militer melalui penempatan pesawat tempur. Lapangan terbang Palabuhanratu tetap menjadi pelabuhan darurat yang hanya digunakan jika ada keperluan darurat atau kunjungan ke sekitar Palabuhanratu yang memerlukan penggunaan pesawat.
Saat Jepang memasuki Palabuhanratu, Irman menyebut, lapangan terbang ini dikuasai Jepang dan digunakan sebagai tempat pelatihan pasukan Pembela Tanah Air atau PETA. Ketika itu, Eddi Sukardi--komandan pertempuran Bojongkokosan--sesaat setelah lulus dari pendidikan PETA di Bogor, ditempatkan di sekitar Palabuhanratu dan melatih anak buahnya di bekas lapangan terbang tersebut.
"Ketika Jepang kalah, pasukan Belanda menggunakan lapangan terbang ini untuk keperluan transportasi udara militer hingga masa pendudukan usai tahun 1949," ujar Irman, penulis buku "Soekaboemi the Untold Story".
Pada masa kemerdekaan, lahan seluas 14 hektare itu tidak lagi difungsikan sebagai lapangan terbang dan hanya menjadi tanah kering hutan ringan yang dikuasai negara melalui angkatan udara. Bahkan saat itu sempat dijadikan tempat peluncuran peluru kendali dan roket untuk keperluan uji coba. Namun pada 1968, area di Palabuhanratu ini kemudian dijadikan lahan pertanian proyek pertanian Kartika Binahardja Primkopad Kodim 0607 Sukabumi yang dipimpin Peltu Rustandi.
Pasca diresmikannya Samudera Beach Hotel, Irman mengatakan, antusiasme wisatawan ke Palabuhanratu cukup meningkat. Sehingga banyak pejabat dan orang kaya ingin datang ke Palabuhanratu.
Saking antusiasnya, para wisatawan bersedia menggunakan pesawat terbang Skyvan yang dioperasikan Pelita Air Service. Sebab sistemnya charter, biayanya pun cukup tinggi dengan kapasitas pesawat 15 penumpang. Biaya per penumpang sekira 366 USD atau Rp 5,3 jut. Mereka mendarat dan landing di pangkalan udara TNI AU Rawakalong. Pemerintah bahkan sempat membeli helikopter untuk turut andil dalam pengiriman turis ke Palabuhanratu yang menggiurkan.
Demi mendukung kebutuhan pariwisata, Pertamina ikut digerakkan, yang saat itu sedang melimpah dana karena booming minyak dunia, untuk membangun lapangan udara Rawakalong (di bekas lapangan terbang zaman Belanda ditambah lahan lainnya). Proyek ini bekerja sama dengan Pelita Air sebagai anak perusahaan Pertamina yang didirikan 1970 dalam pengoperasiannya.
"Lapangan Udara Rawa Kalong yang lahannya sebagian disewa kepada negara dan sebagian lagi dibeli dari masyarakat seluas 22 hektare, diresmikan pada 12 Desember 1972, yang memangkas jarak Jakarta-Palabuhanratu hanya 30 menit saja," kata Irman.
Semula, bisnis ini tampak menjanjikan karena jalan di sekitar lokasi pun dibangun sebagai akses ke lapangan udara dan beberapa jalan yang menghubungkan dengan kota-kota terdekat diperbaiki. Pelita Air juga sempat ditawari untuk menggunakan pesawat N250 buatan Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN yang dikomandoi BJ Habibie karena jaraknya yang pendek ideal di bawah 500 kilometer.
"Namun, perjalanan lapangan udara tersebut tidak mulus karena beberapa tahun kemudian muncul tuntutan sebagian warga atas hak lahan itu yang belum selesai hingga kini. Bisnis Pelita Air di lapangan udara Rawakalong sendiri tidak berjalan seperti yang diharapkan, hanya menyisakan nama Jalan Pelita Air di sekitar bekas lapangan terbang yang masih ada hingga kini," ucap Irman. Jalan Pelita Air yang dimaksud Irman, sekarang lokasinya tidak jauh dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU Palabuhanratu.
Baca Juga :
Salah satu warga Palabuhanratu, Ahmad Dindin (49 tahun), membenarkan soal adanya lapangan terbang di Rawakalong, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Saat itu, Ahmad yang duduk di bangku sekolah dasar, kerap mendatangi lapangan terbang karena ingin melihat pesawat. Menapaki pematang sawah, dia bersama teman-temannya antusias ketika menyaksikan pesawat Pelita Air mendarat, yang biasanya sore hari.
"Iya dulu dengan teman suka ingin melihat pesawat ke sana. Pokoknya saya lahir tahun 1972, dan saat sering ke lapangan terbang itu masih SD," ucap Ahmad Dindin.