SUKABUMIUPDATE.com - Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia atau PC FSP TSK-SPSI Kabupaten Sukabumi mengaku kecewa dengan sikap Bupati Sukabumi yang merevisi rekomendasi Upah Minimum atau UMK Kabupaten Sukabumi tahun 2022.
Ketua PC FSP TSK-SPSI Kabupaten Sukabumi Mochamad Popon mengaku kecewa terhadap Bupati Sukabumi Marwan Hamami yang merevisi rekomendasi UMK tahun 2022 menjadi Rp 3.125.444,72 alias tidak naik dari UMK 2021, tanpa komunikasi dengan serikat pekerja dan Dewan Pengupahan.
"Sangat kecewa dengan sikap Bupati Sukabumi yang mengubah rekomendasi dari semula naik 5 persen menjadi tidak naik atau sesuai PP 36/2021," kata Popon usai berunjuk rasa di Gedung Sate, Bandung, Selasa, 30 November 2021.
Diketahui, Bupati Sukabumi Marwan Hamami merevisi rekomendasi Upah Minimum Kabupaten Sukabumi tahun 2022 menjadi Rp 3.125.444,72 alias tidak naik dari UMK 2021. Itu tertuang dalam surat bernomor: 561/7779-dinaskertrans tertanggal 29 November 2021 yang ditujukkan kepada Gubernur Jawa Barat.
Dalam surat tersebut, revisi ini dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan instruksi Gubernur Jawa Barat tanggal 29 November 2021 pukul 09.00 WIB yang dilaksanakan secara virtual. Evaluasi dan instruksi yang dimaksud membuat penyesuaian UMK mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Lebih lanjut dijelaskan, rekomendasi UMK Kabupaten Sukabumi tahun 2022 sebesar Rp 3.125.444,72 berpedoman pada ketentuan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021. Revisi ini pun ditentang elemen buruh karena tidak sesuai dengan rekomendasi awal hasil sidang pleno Dewan Pengupahan, Selasa, 23 November 2021.
Popon menilai, seharusnya Bupati Sukabumi tidak tunduk terhadap ancaman gubernur dan pemerintah pusat yang tidak membolehkan menaikkan UMK tahun 2022 sesuai formula Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021. Popon menyebut, ancaman yang dimaksud adalah peng-non-aktif-an tiga bulan dan tidak diberikan Dana Alokasi Umum.
"Karena bupati itu bukan ditunjuk oleh gubernur atau pemerintah pusat, tapi dipilih oleh rakyat," ujar dia. "Seharusnya konsisten mempertahankan rekomendasi kenaikan pertama yang mengakomodir tuntutan buruh. Bukan malah mengubah sepihak tanpa dikomunikasikan dulu dengan Dewan Pengupahan, yang jelas unsur pemerintah sendiri saat itu mengusulkan kenaikan 2,5 - 3 persen," tambah Popon.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 sendiri merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Popon menyebut, sudah semestinya pemerintah pun memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi ihwal uji formil undang-undang tersebut yang dalam putusannya menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 konstitusional, meski ada kalimat bersyarat.
"Pemerintah tidak boleh melakukan kebijakan apa pun yang terkait kepentingan strategis, di mana PP 36/2021 sendiri terkait pengupahan merupakan program strategis nasional yang semestinya ditunda atau tidak berlakukan dulu," ucapnya. "Kita akan segera melakukan langkah perlawanan dengan tetap menuntut kenaikan UMK sebagaimana yang diusulkan dalam rekomendasi bupati yang pertama," imbuh Popon.
Senada dengan Popon, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gabungan Serikat Buruh Indonesia atau DPC GSBI Kabupaten Sukabumi Dadeng Nazarudin mengatakan akan mendatangi Pendopo Sukabumi pada Rabu besok, 1 Desember 2021. Kedatangan tersebut bermaksud meminta pertanggungjawaban Bupati Sukabumi soal rekomendasi pertama yang menaikkan UMK tahun 2022 sebesar 5 persen.
"Besok kita akan geruduk Pendopo Sukabumi untuk meminta pertanggungjawaban bupati yang telah mengubah dari 5 menjadi nol persen. Jika bupati tidak bertanggung jawab terhadap rekomendasi awal, maka akan mogok kerja di pabrik di Kabupaten Sukabumi," kata Dadeng saat diwawancarai di Gedung Sate, Selasa, 30 November 2021.