SUKABUMIUPDATE.com - Philippe Grange mengaku baru mengetahui bahwa musik tradisional Sunda yang kala itu ikut dalam peresmian menara Eiffel, 31 Maret 1889 di Paris, Prancis merupakan gamelan Sari Oneng Parakansalak dari Sukabumi.
Philippe Grange adalah atase (ahli dalam bidang tertentu yang diperbantukan pada sebuah kedutaan untuk mewakili sebuah negara) budaya Prancis yang mengunjungi Sukabumi pada 26-27 Februari 2021. Ia mendapat penjelasan soal gamelan Sari Oneng Parakansalak dari pengamat sejarah Sukabumi, Irman Firmansyah.
Irman yang juga penulis buku Soekaboemi the Untold Story mengungkapkan, tampilnya gamelan Sari Oneng di pentas dunia dimulai pada 1883. Saat itu, Gustaf CFW Mundt dipilih untuk menggantikan Adriaan Walfaare Holle sebagai administratur perkebunan teh Parakansalak dan membawa rombongan gamelan tersebut ke sebuah pameran di Amsterdam, Belanda.
Parakansalak yang Mengagumkan
Gamelan Sari Oneng membuat perkebunan Parakansalak menjadi sangat terkenal. Bahkan keterkenalannya melebihi Hindia Belanda. Sari Oneng yang sukses menjelajahi dunia untuk mempromosikan teh dan budaya nusantara telah mengubah semuanya. Sari Oneng sendiri istilah umum yang bermakna kasih sayang.
Irman yang kini aktif sebagai Kepala Riset dan Kesejarahan Sukabumi Heritages mengatakan, sebenarnya gamelan tersebut merupakan proyek bersama antara perkebunan Parakansalak dan Sinagar. Namun tidak sedikit yang menganggap bahwa gamelan ini sebagai Sari Oneng Parakansalak. Meski anggota dan penyandang dana proyek berasal dari kedua perkebunan tersebut.
Kiprah gamelan ini bermula ketika 1857 Adriaan Walfaare Holle menjadi administratur perkebunan Parakansalak. Ia menyukai permainan gamelan Sunda. Bahkan Holle pun dapat memainkan rebab dengan baik.
Keindahan perkebunan Parakansalak dan Sinagar juga dikenal Eropa. Maka tidak mengherankan jika pada abad 18 sudah dibuat program Visit Parakansalak and Sinagar, semacam tur wisata ke dua wilayah tersebut. Holle pun sering menyambut turis elite yang datang ke Parakansalak dan Sinagar, mengajaknya tur pegunungan, berkuda, keramahan desa, tur perkebunan, wayang golek, dan gamelan.
Beberapa turis seperti etnolog Belanda bernama Pieter Johannes Veth (1882) menyatakan Parakansalak adalah replikanya surga. Ini berkaitan dengan kampung Jawa yang sebenarnya dibangun berdasarkan tradisi keramahtamahan Parakansalak yang otentik.
Dari Sukabumi Menuju Dunia
Pada 1883, Gustaf CFW Mundt dipilih menggantikan Holle sebagai administratur Parakansalak. Ia kemudian membawa rombongan gamelan tersebut ke sebuah pameran di Amsterdam, Belanda.
Uniknya, panitia pameran meminta Mundt untuk meminjamkan gamelan yang diatur sedemikian rupa sehingga bisa memainkan lagu-lagu langgam diatonik berdasarkan tujuh nada.
Dalam teori musik, skala diatonik merupakan komponen dasar teori musik dunia Barat. Skala diatonik memiliki tujuh not yang berbeda dalam satu oktaf. Not-not ini adalah not-not putih pada piano. Dalam notasi solmisasi, not-not tersebut adalah "Do-Re-Mi-Fa-Sol-La-Si".
Atas permintaan itu, Mundt lalu mengkonstruksikan gamelan Sunda yang berlaras pelog (tangga nada pokok yang dipakai dalam musik gamelan asli dari masyarakat di Pulau Bali dan Jawa) dengan ukiran yang lebih bergaya Eropa ketimbang bergaya Sunda. "Gamelan tersebut sekarang disimpan di museum negara Leiden, Belanda," kata Irman kepada sukabumiupdate.com, Selasa, 9 Maret 2021.
Ketenaran gamelan Sari Oneng memuncak ketika acara peresmian menara Eiffel di Paris dan peringatan 100 tahun revolusi Perancis yang digelar pada 31 Maret 1889.
Sebelum peresmian ini berlangsung, Belanda memang berniat memperlihatkan kejayaannya melalui tanah koloni yang mereka kuasai. Belanda pun merencanakan untuk membuat stan pameran di peresmian menara Eiffel.
Segendang sepenarian dengan rencana Belanda, pihak Javaasche Bank yang diketuai Van den Berg pun bekerja sama dengan keluarga Eduard Julius Kerkhoven dan Mundt. Ia ditemani ahli filantropis dan sekretaris Englisch Indische Company (semacam VOC-nya Inggris), HP Cowan.
Mereka terpesona dengan perkebunan Parakansalak dan Sinagar. Sehingga selain membawa budayanya ke Paris, mereka juga setuju untuk membawa wayang dan gamelan Sari Oneng yang sebelumnya pernah tampil di Amsterdam. Tak hanya itu, Parakansalak dan Sinagar juga ternyata memiliki kios atau warung teh yang bagus untuk diduplikasi.
Pembuatan duplikasi kios pun dilakukan di Tanjung Priok bersama rumah dan sarana lainnya untuk membuat kampung Jawa yang akan ditampilkan di pameran Paris. Mundt dan Kerkhoven menyiapkan 40 orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan untuk dibawa ke peresmian menara Eiffel.
Irman mengatakan, dari delegasi kampung Jawa dan Sari Oneng yang dikirim ke Paris pada 1889 selama enam bulan, ada 22 laki-laki asal Parakansalak serta Sinagar dan 5 penari wanita Parakansalak. Jumlah itu menjadi bagian dari total 75 orang yang diberangkatkan.
"Pemimpinnya adalah pekerja sekaligus pemain rebab bernama Suminta Mein. Anaknya Pak Suminta adalah istrinya Willem Theodore Boreel (administratur Parakansalak) yang bernama Iyi Endah. Kemudian keturunannya menjadi pengguna nama Boreel di Sukabumi karena diakui pemerintah saat itu," jelas Irman.
Penyandang dana untuk kampung Jawa dan Sari Oneng, termasuk Wayang Golek ini bukanlah pemerintah Hindia Belanda, namun Kerkhoven dari Sinagar dan Mundt dari Parakansalak. Mundt menyuplai gamelan, wayang golek, dan para musisinya. Sedangkan Kerkhoven sebagai penyandang dana, mengirim sebagian orang, dan juga menyiapkan minuman teh terbaik yang diberikan secara gratis di Paris.
Sari Oneng di Tanah Prancis
Pameran yang memadukan rumah-rumah nusantara dengan iringan gamelan dan penari tersebut berjalan sukses dengan pengunjung membludak. Bertajuk "Exposition Universelle", pameran ini sukses mendatangkan dua gamelan Sunda.
Satu perangkat gamelan diberikan pemerintah Belanda kepada Conservatoire Muse de I'Homme-Paris sebagai hadiah. Sementara seperangkat lainnya yang berasal dari Parakansalak, dikirim oleh Gustaf Mundt untuk promosi teh dan beberapa produk lainnya.
Irman menuturkan, komponis Perancis, Achille-Claude Debussy sangat mengagumi langgam gamelan tersebut sehingga mempengaruhi beberapa hasil karyanya.
Debussy berjam-jam memperhatikan musik gamelan dan menulis, "berguru pada irama abadi ombak lautan, desik daun terhembus angin, dan banyak bunyi-bunyian lain, musik Jawa memiliki kontrapun yang menyebabkan kontrapun Palestina seperti mainan anak kecil. Harus diakui instrumen perkusi orkestra Barat hanya memperdengarkan bunyi-bunyian primitif seperti yang terdengar di pasar malam."
Melihat nadanya yang memadukan unsur Sunda, ada kemungkinan beberapa lagu gubahannya dipengaruhi gamelan ini, seperti Danses Pour Harpa, Danses Sacree et Danse Profane, Pagodes, dan Preludeal'apres Midi d'un Faune.
Keberhasilan pameran Parakansalak dan Sinagar di Paris sebenarnya tidak terlepas dari lobi Belanda. Sebab, Belanda merupakan negara kecil dan tak diperhitungkan, sehingga mereka ingin memperlihatkan koloninya yang unik dan ternyata itu berhasil karena pengunjung pameran kampung Jawa mencapai 1.000 orang.
"Pameran Parakansalak juga memunculkan keunikan. Saking lamanya para peserta pameran menjelajah, konon ada yang sempat hamil dan melahirkan di luar negeri. Bahkan ada orang Parakansalak yang meninggal dan dimakamkan di Paris pada 1889, namanya Aneh, lahir di Parakansalak pada 1854," kata Irman.
Irman menyebut Aneh adalah pemusik dari Parakansalak yang ikut dalam pameran kampung Jawa untuk memeriahkan peresmian menara Eiffel. Aneh berangkat bersama rombongan lainnya namun ia ditengarai terkena penyakit ruptured aneurysm, sejenis penyakit yang merobek pembuluh darah.
Aneh meninggal dunia pada 4 Juli 1889 di Paris. Kematian dan pemakamannya menjadi perbincangan dan dimuat dalam media-media Perancis seperti Le Figaro pada 5 Juli 1889 dengan artikel berjudul Courrier de l'Exposition.
Le Figaro adalah surat kabar di Prancis yang didirikan tahun 1854 dan sangat berpengaruh di Paris. Surat kabar Le Figaro semula terbit secara mingguan. Namun sejak 1866 terbit sebagai surat kabar harian.
Laporan kematian Aneh juga muncul di beberapa media lain. Bahkan harian Le Rappel edisi 8 Juli 1889 memuatnya secara eksklusif dalam kolom L'exposition. Mungkin Aneh menjadi satu-satunya pekerja Indonesia dan sekaligus pemusik yang pertama kali diberitakan dalam koran Prancis.
Gamelan Sari Oneng kemudian mengikuti pameran internasional di Chicago, Amerika Serikat pada 1893 yang diberi nama The World's Columbian Exposition. Kala itu, dibentuk "Syndicate Jawa Chicago" yang beranggotakan dua orang administratur perkebunan teh, yakni Eduard Julius Kerkhoven dari Sinagar yang terletak di barat daya Gunung Gede dan Gustaf Mundt, administratur perkebunan Parakansalak.
Sindikat tersebut membiayai pengangkutan gamelan serta penduduk kampung Sinagar dan Parakansalak dengan hasil pertanian, termasuk teh yang disajikan secara gratis. Kolaborasi saat itu sangat berhasil sebagai ajang promosi perkebunan sekaligus promosi Hindia Belanda di Eropa.
Memulangkan Sari Oneng ke Sukabumi
Gamelan Sari Oneng diketahui saat ini berada di Museum Prabu Geusan Ulun, Kabupaten Sumedang. Sejumlah seniman dan sejarawan asal Sukabumi memiliki impian gamelan tersebut bisa kembali pulang ke Sukabumi.
Irman mengatakan, gamelan Sari Oneng berada di perkebunan Parakansalak hingga masuknya penjajahan Jepang. Namun, ada juga pendapat yang menyebut bahwa gamelan tersebut berada di Belanda dan dikirim ke Indonesia pada 1942 (untuk pendapat ini Irman mengaku belum menemukan dokumen pengirimannya).
Gamelan itu kemudian disembunyikan dari ancaman tentara Jepang oleh Bupati Sukabumi Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat yang berhubungan baik dengan administratur Parakansalak. Lalu pada 1956, gamelan Sari Oneng dihibahkan oleh M.O.A Huguenin (administratur Parakansalak pascakemerdekaan Indonesia) kepada Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat seiring nasionalisasi perkebunan di Sukabumi.
Kemudian pada 8 Desember 1975, Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat meninggal dunia. Penerus dan keluarga besar Soeria Danoeningrat kebingungan untuk menyimpan gamelan Sari Oneng karena saat itu di Sukabumi tidak memiliki tempat untuk menyimpannya (museum).
Maka dengan latar belakang keturunan keluarga Soeria Danoeningrat yang merupakan trah Sumedang (keturunan Kerajaan Sumedang Larang), maka pihak keluarga membawa gamelan tersebut ke Sumedang lalu menitipkannya di Museum Prabu Geusan Ulun, Kabupaten Sumedang.
Irman menegaskan, berbagai upaya telah dilakukan pihaknya untuk mencoba mengembalikan keharuman sejarah milik Sukabumi khususnya warga Parakansalak. Sempat beberapa kali kesempatan ia dan keturunan Soeria Danoeningrat meminta kepada pihak Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang untuk mengembalikan gamelan tersebut kembali ke Sukabumi, namun belum menemukan titik terang dan kesepakatan.
"Itu kan statusnya dititipkan, jadi bisa diambil lagi dong? Sayangnya, pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Sukabumi tidak turut serta hadir membantu atau berperan dalam upaya mengembalikan gamelan ini," tegasnya.
Irman mengungkapkan belum ada political will dari pemerintah untuk membawa pulang Sari Oneng ke Sukabumi. Padahal menurutnya, pihak Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang bersedia mengembalikan sepanjang ada museum di Sukabumi yang bisa menjaganya. "Tapi prosesnya melalui keluarga Soeria Danoeningrat," kata Irman.
"Ya bisa lah (Sukabumi membangun museum). Kan malah pihak masyarakat atau swasta yang bikin museum karena tidak ada tempat di pemerintah," tambahnya.
Siapa Sebenarnya Pemilik Sari Oneng?
Pada 2019 lalu jurnalis sukabumiupdate.com mencoba menelusuri keberadaan gamelan Sari Oneng ke Sumedang dengan menemui pihak Museum Prabu Geusan Ulun serta beberapa tokoh dan informan yang mengetahui sejarah mengapa gamelan ini bisa disimpan di museum tersebut.
Museum Prabu Geusan Ulun sendiri terletak di Jalan Prabu Geusan Ulun Nomor 40, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Lokasi museum mudah ditemukan karena berada di tengah wilayah Kabupaten Sumedang, 50 meter dari Alun-alun ke sebelah selatan, berdampingan dengan Gedung Bengkok atau Gedung Negara, dan berhadapan dengan gedung-gedung Pemerintah Kabupaten Sumedang.
Selaras dengan pernyataan Irman, kurator Museum Prabu Geusan Ulun, Ahmad Iqbal menjelaskan bahwa saat pendudukan Jepang (1942), ada semacam pembersihan orang-orang Eropa. Gamelan Sari Oneng Parakansalak pun dibidik untuk dijadikan bahan senjata oleh Jepang. Gamelan tersebut kemudian dititipkan kepada Bupati Sukabumi, Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat.
"Nah, kebetulan Bupati Sukabumi ini keturunan Sumedang. Pasca beliau meninggal dunia tahun 1975, oleh penerus dan keluarganya, gamelan tersebut dititipkan di Museum Prabu Geusan Ulun dan hingga kini, gamelan Sari Oneng Parakansalak menjadi koleksi museum," jelas pria yang akrab disapa Eq itu.
Gamelan Sari Oneng Parakansalak diletakkan di gedung gamelan yang berisi koleksi berbagai gamelan yang kini menjadi koleksi Museum Prabu Geusan Ulun. Dua jenis gamelan yang kerap menjadi sorotan dan daya tarik unik hingga saat ini adalah gamelan Sari Oneng Mataram dan Gamelan Sari Oneng Parakansalak. Total ada 16 set rancak gamelan Sari Oneng Parakansalak dengan empat kategori, antara lain bonang, saron, pelog, dan goong yang berada di museum ini.
Eq mengatakan, gedung gamelan merupakan gedung pertama yang dibangun di Museum Prabu Geusan Ulun. Total ada enam gedung di Museum Prabu Geusan Ulun tersebut. Museum ini awalnya adalah sumbangan dari Gubernur Jakarta Ali Sadikin pada 1973. Isi koleksi di museum ini kebanyakan peninggalan kerajaan pangeran Sumedang atau Sumedang Larang.
Kembali ke wacana memulangkan gamelan Sari Oneng ke Sukabumi. Pertanyaan yang sempat muncul adalah siapa pemilik gamelan ini? Apakah milik Museum Prabu Geusan Ulun, pihak yayasan, pihak pemerintah, atau pihak keluarga penerus dari Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat?
Tour guide Museum Prabu Geusan Ulun yang sudah sepuh bernama Abdul Sukur (68 tahun) mengatakan, gamelan Sari Oneng Parakansalak semula adalah milik administratur Parakansalak Adriaan Walfaare Holle lalu beralih ke penerusnya M.O.A Huguenin.
Abdul menduga, saat gamelan itu dititipkan ke museum, tidak ada acara resmi seperti serah terima gamelan antara pihak keluarga Soeria Danoeningrat dengan pihak Museum Prabu Geusan Ulun.
"Ini (gamelan) sekarang jadi salah satu koleksi di museum kita. Gamelan yang berasal dari Sukabumi. Kalau misalkan Gamelan ini dititipkan, kan ada ahli warisnya, yaitu keluarga Soeria Danuningrat. Cuma masalahnya, para generasinya itu sudah pada nyebar atau meninggal dunia. Saya gak tahu apakah masih ada di Sumedang, di Bandung, atau di Sukabumi. Yang jelas, kalau untuk menanyakan perihal wacana tersebut, sebaiknya dibicarakan dengan pihak yayasan karena Museum Prabu Geusan Ulun ini di bawah yayasan," terangnya saat itu.
Hingga 2019 lalu, pihak museum belum mengetahui siapa pemilik sebenarnya gamelan Sari Oneng Parakansalak.
Dalam penelusuran di tahun yang sama, Kepala Seksi Kesenian Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat Dudi Hariadi mengungkapkan, pihaknya tidak mengetahui secara pasti mengenai status atau hak milik gamelan Sari Oneng Parakansalak.
"Perihal status dan hak milik gamelan Sari Oneng Parakansalak itu, silakan tanyakan ke Disparbudpora Kabupaten Sumedang. Kita Pemerintah Provinsi Jawa Barat hanya memfasilitasi segala hal yang memang dibutuhkan Pemerintah Kabupaten Sumedang, seperti kebutuhan acara kesenian maupun pagelaran seni dan kebudayaan," kata Dudi saat ditemui di kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat yang berlokasi Jalan RE Martadinata, Kota Bandung.
Sementara itu, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sumedang, Ade Rohana menerangkan ia pun kurang begitu mengetahui tentang kejelasan status gamelan Sari Oneng Parakansalak.
"Yang jelas, gamelan tersebut dipelihara oleh Yayasan Nazir Wakaf Pangeran Sumedang. Museum Prabu Geusan Ulun itu milik yayasan. Pemerintah Kabupaten Sumedang tidak mengklaim bahwa gamelan tersebut milik Pemerintah Kabupaten Sumedang," terang Ade di kantor Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sumedang yang terletak di Jalan Prabu Geusan Ulun, Kabupaten Sumedang.
Baca Juga :
Saat melakukan penelusuran ihwal gamelan Sari Oneng Parakansalak ini di wilayah Kabupaten Sumedang, sukabumiupdate.com dibantu oleh salah satu jurnalis bernama Kurniawan dari media lokal Radar Sumedang.
Kurniawan mengatakan bahwa status dan kepemilikan gamelan tersebut merupakan hak milik keluarga dari Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat. Pernyataan Kurniawan itu senada dengan pernyataan Irman.
Hal tersebut lalu mendapat penguatan dari salah satu cucu Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat bernama Rangga Surya Danuningrat. Ia mengaku bahwa gamelan Sari Oneng Parakansalak berstatus sebagai milik hak ahli waris keluarga Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat. Ia juga membenarkan gamelan itu dititipkan di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang sejak 1975.
"Status hak milik milik keluarga besar Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat, ahli warisnya anak-anak dari Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat," ucap Rangga.
Ia menambahkan pada Desember 1975 pasca meninggalnya Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat, gamelan Sari Oneng Parakansalak dibawa dari Sukabumi ke Sumedang untuk dititipkan ke Museum Prabu Geusan Ulun. Saat itu, prosesi penyerahan gamelan dilakukan oleh ahli waris keluarga yang diwakili Gumira Suwargana Surya Danuningrat.
"Gumira itu kakak dari bapak saya yang menitipkan gamelan tersebut ke Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang. Alasannya, pendiri dari Yayasan Pangeran Sumedang yang menjadi induk dari museum tersebut terdiri dari tiga orang yang salah satunya adalah kakek saya Raden Aria Adipati Soeria Soeria Danuningrat," paparnya.
Ia mengklaim keluarganya masih mempunyai dan menyimpan bukti tulisan tangan atau surat serah terima antara pihak keluarga dengan pihak Yayasan Pangeran Sumedang saat itu. Termasuk plakat dan keterangan yang tertera di gamelan Sari Oneng Parakansalak yang disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun, di mana menyebut bahwa gamelan tersebut dititipkan pihak keluarga Raden Aria Adipati Soeria Danoeningrat kepada pihak Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.
"Tidak hanya Gamelan saja yang dititipkan di sana, tapi beberapa barang-barang lainnya kita titipkan juga, ada baju kebesaran bupati dan lainnya. Di Museum Prabu Geusan Ulun itu, ada tiga cara menyimpan barang di sana, yakni bisa dititipkan, dihibahkan, atau diserahkan. Gamelan Sari Oneng Parakansalak itu dititipkan, kita masih simpan bukti surat serah terimanya," pungkasnya.
Sumber: liputan langsung sukabumiupdate.com dan pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah yang memperoleh data dari Le Figaro pada 5 juli 1889 dengan artikel berjudul Courrier de'l Exposition; Le Rappel edisi 8 Juli 1889 dalam kolom L'exposition; buku Gamelan: The Traditional Sounds of Indonesia karya Henry Spiller; buku Les danses exotiques en France: 1880-1940 karya Anne Decoret-Ahiha