SUKABUMIUPDATE.com - Harga ayam di tingkat peternak anjlok hingga dibawah biaya produksi. Di Sukabumi, peternak ayam ras broiler skala kecil terpaksa merugi dengan harga Rp 16 ribu per kilogram di kandang.
Asep Suryaman, peternak skala kecil di Cikembar Kabupaten Sukabumi menjelaskan anjloknya harga jual terjadi sejak 31 Januari 2021 silam. Harga jual yang tadinya Rp 22.500 ke pasar turun drastis menjadi Rp 18 ribu ke pasar atau Rp 16.500 di kandang.
"Harga ini untuk peternak skala kecil seperti kami sangat memberatkan. Karena biaya produksinya saja Rp 17.500. Jelas merugi," ungkap Asep kepada sukabumiupdate.com, Selasa (2/2/2021).
Dengan kondisi ini, banyak peternak tidak berani pelihara ayam dari kecil karena potensi kerugiannya makin besar. "Sekarang saya ngambil DO aja karena kalau piara dari kecil resikonya besar," pungkas Asep.
Tak hanya di Sukabumi, anjloknya harga jual ayam ras broiler menjadi fenomena nasional. Menyalin tempo.co, Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi mengemukakan bahwa harga jual ayam siap potong (livebird) anjlok di kisaran Rp 15 ribu per kilogram (kg) di Pulau Jawa karena pasokan yang lebih tinggi daripada permintaan pasar.
Pada saat yang sama, harga pokok produksi telah menyentuh Rp 19.300 per kg akibat kenaikan harga DOC dan pakan. “Harga DOC sudah menyentuh Rp 7.300 per ekor dan pakan sudah mencapai Rp 6.800 per kilogram. Jauh menyimpang dari Permendag,” kata Sugeng saat dihubungi, Selasa, 2 Februari 2021.
Harga ideal yang dimaksud Sugeng merujuk pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Dalam beleid tersebut, harga batas bawah DOC adalah Rp 5.000 per ekor dan harga batas atasnya Rp 6.000 per ekor.
Namun, regulasi harga acuan tersebut hanya berlaku selama empat bulan sejak diundangkan pada 10 Februari 2020. Artinya, tidak ada payung hukum mengenai harga acuan untuk saat ini.
Sugeng menduga kenaikan harga DOC disebabkan kebijakan pengendalian populasi untuk stabilisasi harga yang diinisiasi oleh pemerintah. Selama kurun 26 Agustus 2020 sampai Januari 2021, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian telah enam kali menerbitkan surat edaran untuk pengurangan populasi demi menyeimbangkan kondisi permintaan produk unggas yang turun 20 persen selama pandemi.
"Kami dengar karena pemangkasan populasi berefek ke kenaikan DOC. Hanya saja yang menjadi masalah adalah naiknya tidak terkendali,” kata Sugeng.
Dia mengatakan solusi permasalahan fluktuasi harga livebird tetap berada pada keseimbangan pasokan dan permintaan karena peternak mandiri belum bisa secara optimal mengimplementasi sistem rantai dingin pascapanen.
“Selama ini kami masih bergantung ke pasar basah, ke pasar tradisional. Hanya saja kami kerap diganggu pasokan berlebih dari peternakan skala besar yang seharusnya masuk ke rantai dingin,” kata Sugeng.
Mengingat implementasi rantai dingin bagi peternak mandiri masih belum optimal, Sugeng mengatakan bahwa keseimbangan pasokan juga bisa dicapai dengan menetapkan alokasi impor grand parent stock (GPS) ayam broiler yang sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian, kelebihan populasi yang kerap terjadi bisa dikurangi.
“Untuk sekarang yang rantai dinginnya harus diimplementasi adalah peternakan besar dan integrator, sejauh ini banyak yang belum menjalankan,” katanya.
Nilai impor GPS dengan kode HS 01051110 tercatat naik signifikan dari 2017 ke 2018 dengan nilai US$ 23,94 juta menjadi US$ 31,07 juta. Sementara itu, pada 2019 dan 2020 nilai impor cenderung datar, masing-masing di angka US$ 31,21 juta dan US$ 31,79 juta.
Direktur Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian Sugiono mengemukakan bahwa alokasi untuk impor GPS pada 2021 tetap akan mengacu pada proyeksi konsumsi per kapita yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS).
Selain itu, pemasukan GPS pun diikuti dengan syarat pembangunan infrastruktur hilir melalui pembangunan rumah potong hewan unggas dan rantai dingin sebesar produksi hasil turunan GPS secara bertahap selama 5 tahun.
Pada Januari 2020 silam, para peternak ayam juga mengeluhkan harga ayam lepas kandang yang anjlok menjadi Rp 13.500 hingga Rp 14.500 per kilogram. Padahal, harga pokok produksi (HPP) yang harus ditanggung oleh para peternak mencapai Rp 17.500 hingga Rp 18.000 tiap kilogramnya.