SUKABUMIUPDATE.com - Legislator RI dari Partai Gerindra Heri Gunawan (HG) menuliskan sejumlah testimoni terkait harapan di tahun 2017. Wakil rakyat dari daerah pemilihan Sukabumi Kota dan Kabupaten ini menilai tahun 2017 menjadi sangat penting bagi bangsa Indonesia, dengan segala tantangannya.
Di tahun 2017 Indonesia masih dihadapkan dengan situasi lingkungan strategis yang belum stabil penuh. Faktor penyebabnya antara lain peralihan model ekonomi Tiongkok dari produksi ke konsumsi, ketidakpastian kebijakan The Fed, stagnasi harga-harga komoditas, situasi politik global yang pasang-surut, stagnasi daya beli dalam negeri, dan lainnya.
Dalam situasi seperti itu, bangsa ini akan terus diuji ketangguhannya. Terkait hal itu, ada delapan poin utama HG untuk Indonesia di 2017.
Pertama, Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika tetap menjadi pedoman dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya saja, ke depan, seluruhnya tidak sebatas konsepsi yang beku, tapi harus aktif dan terlaksana secara lebih nyata.
Kedua, perekonomian domestik membaik. Hingga saat ini, pertumbuhan domestik masih diwarnai tren perlambatan dan kualitas pertumbuhan yang belum membaik. Walaupun sudah berada pada angka di atas lima persen, target pertumbuhan APBNP 2016 sebesar 5,2 persen diprediksi tidak tercapai pada akhir 2016.
Pertumbuhan ekonomi harus berkualitas. Pada konteks ini ada beberapa poin penting yang mesti jadi perhatian serius, seperti pertumbuhan yang ada harus mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Pada 2016, estimasi pertumbuhan satu persen hanya mampu menyerap 110 ribu tenaga kerja (Bappenas, 2016).
Angka tersebut menurun dibanding lima tahun sebelumnya dimana satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 225 ribu tenaga kerja. Selanjutnya pertumbuhan yang ada harus mampu mengentaskan problem kemiskinan, tahun 2016 ini tingkat kedalaman kemiskinan memburuk menjadi 1,94.
Pertumbuhan yang ada harus merata. Meski pada 2016 indeks dapat diturunkan di angka 0,39, tapi perhitungan itu tidak menggambarkan pemerataan yang lebih nyata karena hanya diukir dari seberapa besar pengeluaran dan bukan dari seberapa besar pendapatan. Hingga saat ini, pertumbuhan yang ada hanya dinikmati tidak lebih dari 20% orang, sedangkan 80% yang lain sangat rentan untuk tertinggal.
Ketiga, problem ketenagakerjaan masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diseriusi. Beberapa masalah ketenagakerjaan yang harus menjadi perhatian antara lain peningkatan kualitas ketenagakerjaan.
Saat ini, persentase penduduk bekerja sebagian besar masih didominasi pendidikan rendah, hingga 60,24 persen. Hanya 27,52 persen dan 12,24 persen yang berpendidikan menengah dan tinggi. Lebih dari 50% penduduk masih bekerja di sektor informal. Ironisnya, sektor tersebut juga sudah mulai dimasuki oleh Tenaga Kerja Asing asal Tiongkok yang juga illegal.
Sebanyak 23,26 juta penduduk merupakan setengah pengangguran dan 8,97 juta bekerja separuh waktu. Tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor industri menurun dari 15,97 juta pada Februari menjadi 15,54 juta pada Agustus.
Pengangguran harus diatasi lebih serius. Dari indikator yang ada, kesejahteraan belum menunjukkan pencapaian yang memuaskan. Persentase Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) masih cukup tinggi, mencapai 5,61 persen.
Tercatat bahwa jumlah angkatan kerja hingga Agustus 2016 berjumlah 125,44 juta orang dengan persentase yang menganggur sebesar 7,03 persen. Di sini, perlu dicermati, sepanjang tahun 2016 TPT malah membengkak naik.
Pada bulan Februari TPT berada pada level 5,50 persen naik menjadi 5,61 persen, di mana perkotaan terus menjadi sarang pengangguran terbanyak dari pada perdesaan.
Kelima, kinerja sektor perdagangan bisa membaik. Sampai saat ini, neraca perdagangan nasional masih belum berkualitas. Surplus yang ada sekarang hanya disebabkan oleh penurunan nilai impor yang lebih drastis dibandingkan pertumbuhan kinerja ekspor.
Sepanjang tahun 2016, kinerja ekspor terus menurun. Nilai total ekspor Indonesia periode Januari-Oktober 2016 mencapai US$ 117,09 miliar atau menurun 8,04 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2015. Kinerja
perdagangan yang belum baik tersebut tentunya tetap mengancam cadangan devisa hingga stabilitas rupiah yang masih relatif rentan terhadap penurunan.
Poin keenam, ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa bisa menyempit. Hingga saat ini, ketimpangan masih menganga. Salah satunya disebabkan oleh investasi yang timpang antara Jawa dan luar Jawa.
Realisasi investasi Januari-September 2016 tercatat masih terpusat di pulau Jawa yang mencapai Rp203,2 triliun. Sebab itu, dibutuhkan keseriusan dari kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah untuk meningkatkan kegiatan investasi di luar Pulau Jawa.
Penyederhanaan izin dan fasilitasi penyelesaian permasalahan yang dihadapi investor harus menjadi fokus pemerintah baik di pusat dan di daerah.
Ketujuh, Inflasi relatif lebih stabil. Hingga saat ini, pergerakan inflasi masih menunjukkan kecenderungan meningkat. Secara umum inflasi Januari-Oktober 2016 berada pada level 2,11 persen tahun ke tahun.
Secara umum, daya beli masyarakat yang stagnan dan naiknya harga-harga kebutuhan pokok menjadi faktor penyumbang inflasi sepanjang tahun 2016. Sebab itu, pemerintah harus sungguh-sungguh meningkatkan daya beli dan menjaga kestabilan masyarakat lewat program-program yang riil yang mampu menggerakkan ekonomi rakyat.
Poin kedelapan, skema pengelolaan fiskal harus disusun lebih kredibel. Jika mempertahankan cara-cara pemerintah menumpuk utang (sebagian besar didominasi SBN) dalam rangka menutup defisit yang makin lebar, maka sebetulnya pemerintah hanya menunjukkan suatu cara yang tidak kredibel dan bahkan hanya akan menjerumuskan pada guncangan keuangan yang serius dan mandegnya ekonomi riil.
“Semoga Bangsa Indonesia senantiasa memperoleh limpahan rahmat dan perlindungan dari Allah SWT sehingga sepanjang tahun 2017 dapat kita jalani dengan lebih baik lagi. Aamiin.. Aamiin.. Aamiin,†tutur HG menutup Resolusi 2017 yang disampaikan kepada sukabumiupdate.com, Rabu (03/01).