SUKABUMIUPDATE.com - Peringatan ke-71 Hari Bakti TNI Angkatan Udara tahun 2018, Satuan Radar (Satrad) 216 Cibalimbing menggelar beragam kegiatan. Mulai dari bersih-bersih Pantai Minajaya, Surade, penyuluhan kesehatan, donor darah dan khitanan massa, yang mulai sejak Minggu hingga hari ini, Jumat (27/7/2018).
Berlokasi di Poliklinik Megantara Satrad 216 Cibalimbing, kegiatan penyuluhan kesehatan diikuti oleh banyak warga sekitar. “Donor darah ada 78 orang sedangkan, sunatan massal ada 17 anak,” jelas Komandan Satrad 216 Cibalimbing, Mayor Lek Panca Prawira kepada sukabumiupdate.com.
BACA JUGA: HUT TNI AU ke 72, Satrad 216 Surade Sukabumi Bakal Gelar Turnamen dan Baksos
Sumbangsih TNI AU untuk negeri dan masyarakat sekitar adalah semangat yang ingin disampaikan Satrad 216 Cibalimbing dalam peringatan Hari Bhakti TNI AU ke 71 kali ini. “Keberadaan kami tak hanya menunaikan tugas suci menjaga NKRI tapi juga membantu rakyat Indonesia, khususnya yang berada di sekitar kami disini,” sambung Prawira.
Sejarah hari bakti TNI AU ini bermula dari aksi Belanda yang mengingkari perjanjian Linggarjati pada tanggal 21 Juli 1947 dengan menyerang secara serempak ke beberapa wilayah Republik Indonesia, yang dikenal dengan Agresi Belanda I. Kehancuran pangkalan-pangkalan TNI AU akibat serangan Belanda ini menyebabkan kemarahan prajurit-prajurit TNI AU.
Aksi donor darah tentara Satrad 216 Cibalimbing. |Sumber Foto: Ragil Gilang
Dalam keterbatasan dan tidak mengenal menyerah, mereka terus berupaya menyusun kekuatan dan strategi untuk mengadakan serangan udara balasan ke wilayah yang di duduki Belanda. Dini hari 29 Juli 1947, Pangkalan Udara Maguwo dalam keadaan masih gelap, digetarkan oleh deru pesawat yang mengemban misi penyerangan ke tangsi-tangsi militer Belanda yang berada di Salatiga dan Ambarawa oleh Kadet penerbang Sutardjo Sigit dan Suharnoko Harbani menggunakan pesawat Chureng.
Pesawat yang dikemudikan Suharnoko Harbani dilengkapi senapan mesin dengan penembak udara Kaput. Sedangkan, pesawat Sutardjo Sigit dibekali bom-bom bakar dan penembak udaranya Sutardjo. Kadet penerbang Mulyono menyerang Semarang menggunakan pesawat pengebom ”Driver Bomber” Guntei dengan dibebani bom 400 kg dan dilengkapi dua senapan mesin di sayap dan sebuah dipasang dibelakang penerbang serta sebagai penembak udara Dulrachman.
Sementara itu, Kadet Penerbang Bambang Saptoadji yang menggunakan pesawat buru sergap Hayabusha yang bertugas mengawal pesawat yang diawaki Kadet Penerbang Mulyono, terpaksa dibatalkan karena pesawat yang telah dipersiapkan sejak pagi itu belum selesai diperbaiki setelah mengalami kerusakan.
Setelah mengadakan pengoboman di tiga kota itu, ketiga pesawat sebelum jam 6 pagi sudah mendarat kembali dengan selamat di Pangkalan Udara Maguwo. Serangan udara ini membuat semangat juang dan rasa percaya diri Bangsa Indonesia, sebaliknya di pihak Belanda menurunkan mental dan semangat pasukannya.
Masih di hari yang sama, sore hari pesawat P-40 Kittyhawk Belanda melakukan serangan balik dengan berondongan peluru dengan sasaran Pesawat Dakota VT-CLA yang membawa obat-obatan sumbangan dari Palang Merah Malaya kepada Palang Merah Indonesia, yang mengakibatkan pesawat oleng lalu jatuh di Desa Ngoto, 3 km sebelah selatan Yogyakarta.
Badan pesawat patah menjadi dua dan bagian lain hancur berkeping-keping. Korban yang gugur dalam musibah itu diantaranya Komodor Muda Udara Adisucipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh dan Opsir Muda Udara Adisumarmo. Gugurnya tokoh-tokoh TNI AU saat itu mengakibatkan rasa kedukaan mendalam karena tenaga dan pikirannya sangat diperlukan untuk membangun dan membesarkan Angkatan Udara. Pengorbanan tokoh perintis TNI AU tersebut merupakan bukti dan bhakti pengabdian yang diberikan TNI AU kepada bangsa dan negara.
BACA JUGA: Semarakan HUT TNI AU ke-72, Satrad 216 Surade Sukabumi Gelar Open Dansatrad Cup 2018
Peristiwa heroik inilah yang mendasari peringatan Hari Bakti TNI Angkatan Udara yang diperingati setiap tahun. Semangat patriotisme, kejuangan, rela berkorban demi kehormatan bangsa dan negara serta tetap berkibarnya merah putih diwariskan generasi pejuang kepada kita semua hingga saat ini.
Menurut Prawira, meski jasad telah 71 tahun dipeluk ibu pertiwi, namun semangat, dedikasi dan pengabdian sebagai ”tentara langit” selaku sayap tanah air terus berkobar demi tegaknya kedaulatan dan harga diri Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Semoga Allah Swt senantiasa memberikan petunjuk dan hidayah-Nya dalam pelaksanaan tugas-tugas yang kita emban, guna meneruskan perjuangan bangsa menuju masyarakat Indonesia yang makmur dan sejahtera.”