Penulis: Ocdy Susanto
Pemerhati Kebudayaan dari Kota Pekalongan | Alumni Universitas Trisakti
Tuk...tuk...tuk suara Mui terdengar beriringan dengan ritme doa-doa di siang itu, 2 September 2021. Rupanya Vihara Widhi Sukabumi sedang menggelar Ritual Ulambana, yaitu sebuah sembahyang untuk mendoakan arwah para leluhur.
Seperti halnya dengan upacara-upacara agama lain, upacara dari umat Buddha inipun turut menambah khazanah tradisi dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Saya tertarik buat mengulik tradisi yang satu ini. Karena bagi saya pula, Masyarakat Tionghoa sudah menjadi satu paket dengan masyarakat lainnya seperti Arab dan Jawa sehingga memunculkan istilah ARJATI (Arab, Jawa, Tionghoa) atau ARWANA (Arab, Jawa, China).
Menurut Ocdy Susanto, pemerhati budaya Tionghoa asal Kota Pekalongan menuturkan bahwa Ulambana itu seperti kita meminum air, kita harus ingat kepada sumbernya. Nah di kalangan masyarakat Tionghoa sering kita jumpai pemujaan atau doa kepada leluhur kakek moyang mereka. Leluhur yang dimaksud itu terdiri ayah, ibu, kakek, nenek dan juga kepada orang lebih tua bahkan arwah yang tak dikenalpun. Sembahyang ini juga untuk menunjukan bukti bakti anak kepada orang tua mereka.
“Sembahyang kepada leluhur untuk orang tionghoa suatu kewajiban yang utama lebih tegas lagi yang terutama. Tidak heran di rumah orang Tionghoa sering kita lihat sebuah meja Abu yang di artikan Altar untuk nendoakan leluhur mereka. Apalagi jika menjelang hari raya tahun baru imlek kita melihat mereka lakukan sembahyang. Kita bisa artikan mereka tidak lupakan asal keturunan dan leluhurnya. Seperti kita minum air, kita tak mungkin lupakan sumbernya seperti Sungai, Sumur dan sebagainya.” tutur Mas Ocdy Susanto.
Orang Tionghoa memiliki budaya yang sangat erat dengan Ba De (8 Kebajikan). Yang Nomor satu nya adalah Xiao - Bhakti, yaitu bakti kepada keluarga (termasuk bakti kepada leluhur). Xiao - Bhakti ditunjukan dalam berbagai acara tradisi dan budaya Tionghoa. Salah satunya adalah sembayang bulan Tjit Gwee atau sembahyang Ulambana tadi.
Memasuki bulan Tjit Gwee yakni bulan ketujuh kalender Imlek, orang Tionghoa di berbagai daerah masih merawat tradisi dan budayanya, dengan melakukan sembayang ke altar leluhur yang biasanya terdapat di rumah keluarga. Bulan Tjit Gwee dipercaya adalah bulan dimana para arwah leluhur dan arwah arwah mahluk lainnya dapat mengunjungi alam manusia. Sehingga, bulan Tjit Gwee adalah saat yang tepat untuk keturunan yang masih ada (hidup), melakukan sembayang Bakti kepada semua leluhur pendahulunya.
Itu sebabnya ritual sembahyang Ulambana merupakan hari dimana semua anak-anak mempraktikkan rasa hormat dan kasih sayang kepada orangtuanya yang sekarang (dalam kehidupan yang sekarang ini), orang tua pada masa lampau (kehidupan sebelum tumimbal lahir yang sekarang), dan masa depan.
Adanya pengaruh Buddha Mahayana, memunculkan kepercayaan mengenai hantu-hantu kelaparan (makhluk alam Peta) yang dirasa perlu diberi “makan” pada saat mereka mengunjungi alam manusia. Arti dari perayaan ini sebenarnya adalah penghormatan kepada leluhur. Bisa dikatakan pula Ulambana sebagai Sembayang Tjit Gwee.
Ada istilah lain yang saling berkaitan dengan Sembayang Tjit Gwee yaitu Cioko (Ritual Sembayang Arwah), atau disebut juga dengan Festival Hantu Kelaparan, Festival Cioko, atau Festival Sembayang Rebutan. Ini Merupakan sebuah tradisi perayaan dalam kebudayaan Tionghoa yang secara turun temurun dilaksanakan. Orang Hakka menamakannya Chiong Si Ku yang jatuh pada pertengahan bulan ke-7 (Khek=chit ngiet pan). Ritual ini sering dikaitkan dengan hari raya Tionggoan yang dalam Buddha Mahayana, disebut Ulambana.
Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek yang dikenal sebagai Bulan Hantu (Chinese ghost month) di mana ada kepercayaan bahwa dalam kurun waktu satu bulan ini, pintu alam baka terbuka dan hantu-hantu di dalamnya dapat mengunjungi alam manusia.
Tradisi ini berasal dari rakyat Tiongkok yang selau mengadakan penghormatan kepada leluhur serta dewa-dewa supaya panen yang biasanya jatuh di musim gugur dapat terberkati dan berlimpah.
Sebagai tambahan informasi, Bulan tujuh Imlek juga adalah bulan bervegetarian, melakukan upacara ulambana harus mencakup semua alam, menolong semua makhluk yang menderita, dan bukan malah membunuh untuk dijadikan persembahan. Kita semestinya berlapang dada, melindungi mereka (hewan) agar tidak dilukai, itulah baru namanya melakukan upacara ulambana.
Bulan tujuh merupakan bulan penuh berkah, bulan rasa syukur, dan juga adalah bulan vegetarian. Daripada membunuh makhluk hidup demi mengharapkan keselamatan, lebih baik bervegetarian dengan tulus untuk melindungi semua makhluk hidup. Mendatangkan berkah dengan cinta kasihnya, menghindari bencana dengan kebajikan. Bulan tujuh yang penuh berkah, kepercayaan yang benar akan memberikan keselamatan.