Oleh:Irjen Pol Purn Drs Sisno Adiwinoto MM.
Pengamat Kepolisian/ Anggota ISPPI/Penasihat KBPP Polri/Ketua Penasihat Ahli Kapolri.
Pada situasi “genting” sekarang ini, dimana saat ini kita perlu secara masif dan intensif menanggulangi masalah pandemi covid-19 dan mengatasi masalah kesulitan ekonomi nasional, namun kita perlu untuk tetap melakukan pemberantasan “pungli oleh oknum dan pemalakan oleh preman” secara terus menerus.
Untuk itu saya telah mendiskusikan masalah tersebut dengan Rektor Ubhara Jaya Irjen Pol Purn DR. Drs Bambang Karsono dan Tim Kajian Kamnas Ubhara Jaya, dengan tema:
“STRATEGI PEMBERANTASAN PRAKTEK PUNGUTAN ILLEGAL/PEMALAKAN OLEH OKNUM ATAU PELAKU PREMANISME DI LOKASI DAN LINGKUNGAN BISNIS YANG LEGAL ATAUPUN ILLEGAL”, seperti berikut ini.
Bahwa dengan Latar Belakang beberapa minggu lalu, Presiden Jokowi telah menelepon Kapolri dari Pelabuhan Tanjung Priok seketika setelah mendengar keluhan warga masyarakat, buruh dan para sopir-sopir truk trailer pengangkut barang di wilayah pelabuhan Tanjung Priok yang sehari-harinya selalu menjadi korban praktek pungutan ilegal/pemalakan oleh oknum petugas dan kelompok preman yang ikut dalam proses bongkar muat peti kemas di pelabuhan tersebut. Puluhan orang yang terlibat pungli ditangkap polisi di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Terbaru, polisi juga menangkap 8 orang operator di area Jakarta International Container Terminal (JICT) Pelabuhan Tanjung Priok. Salah satunya merupakan koordinator dari para operator tersebut.
"Tersangka atas nama Achmad Zainul Arifin (39), yang merupakan atasan para pelaku yang telah ditangkap sebelumnya," kata Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok AKBP Putu Kholis Aryana dalam keterangan persnya, Sabtu (12/6/2021).
Problema pungutan liar (Pungli) ataupun sogokan dan pemalakan adalah bentuk kejahatan umum dan ternyata punya sejarah panjang. Dapat dikatakan sudah ada sejak masa penjajahan Belanda di Nusantara, yang akhirnya membelah warga menjadi tiga kelas sosial, kelas Eropa, Arab dan China serta Pribumi. Pemilahan tersebut, setidaknya terkait dengan pelayanan publik dan setoran atau sogokan yang mereka lakukan untuk mendapat perhatian dan perlindungan dari pemerintah kolonial saat itu.
Sejak awal pemerintahan Orde Baru berkuasa, Presiden Soeharto telah membentuk Tim Pemberantas Korupsi (TPK) melalui Keppres Nomor 228/1967 pada 2 Desember 1967. Tim TPK itu diketuai oleh Jaksa Agung Sugih Arto, waktu itu dibentuk dengan tugas utama membantu pemerintah memberantas korupsi dengan dua pendekatan, yakni represif dan preventif. Dua tahun setelah keluarnya Keppres 228/1967, Tim TPK mengklaim bahwa penindakan pungli liar telah berhasil menggarap 177 perkara korupsi dan sebanyak 144 perkara sudah diselesaikan dan diserahkan ke pengadilan (Harian Merdeka, 1970).
Sayangnya, TPK akhirnya tidak bisa bertahan, selain karena dipandang tidak dapat mengatasi kasus-kasus korupsi skala besar seperti kasus Pertamina, juga rangkap jabatan yang disandang oleh ketuanya yang sekaligus sebagai Jaksa Agung membuat kinerja TPK menjadi lamban.
Dan sangat sulit membongkar pemalakan skala besar. Selama berpuluh tahun, upaya untuk memberantas pungutan liar ini berjalan secara serius, namun hasilnya seperti buih di tengah laut ataupun pasir di pantai yang hilang terhapus ombak yang datang kemudian.
Kemudian banyak tindakan yang dilakukan seperti selama puluhan tahun berikutnya, sudah berkali-kali ada tindakan yg terlihat sangat SERIUS dalam rangka memberantas praktek pemalakan dan kejahatan, misalnya: Operasi Tertib atau OPSTIB (dikomandoi oleh Laks. Sudomo), Operasi Petrus (yang diawali oleh Dandim Yogya), OPS PREMAN (Polda-polda di Jawa), tetapi semuanya belum menunjukkan hasil yang benar-benar mampu memberantas praktek pungutan/ pemalakan liar tersebut.
Langkah-langkah penindakan melalui kegiatan-kegiatan rutin yang dilakukan oleh aparat keamanan/penegakan hukum/ unsur satkamling setempat, tampaknya belum berhasil mengeliminir praktek pungli/pemalakan baik yang di kelas teri apalagi yang kelas kakap. Bahkan justru sebagian oknum ada yang terlibat dan menjadi bagian dari rangkaian praktek pungli/pemalakan terstruktur dari tingkatan “recehan” tapi berskala masif, sampai sistem setoran terselubung kelas “kakap” dari para pelaku kepada oknum pejabat-pejabat yang terkait dan berwenang dalam fungsi pengawasan lingkungan bisnis yang bersangkutan.
Pungutan Liar dan Pemalakan di Pusat Industri dan Bisnis dapat menggoyahkan pondasi ekonomi negara, sementara negara sangat berkepentingan untuk dapat membangunan pertumbuhan ekonomi. Jaminan keamanan berinvestasi mutlak yang harus dipenuhi pemerintah agar kondusif dan produktif, sehingga para investor mau dan berniat untuk berinvestasi di Indonesia. Banyak wilayah di Indonesia mempunyai daerah yang kaya akan sumber daya alam dan berbagai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dibutuhkan jaminan keamanan untuk para pelaku usaha.
Memberikan jaminan keamanan berinvestasi memang tak mudah, tetapi memberantas praktik pungutan liar hingga pemalakan merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Sumber Bisnis yang enggan disebutkan identitasnya dan menggeluti bisnis minyak dan gas mengatakan dahulu saat ekonomi Kaltim tengah berjaya dan kondisi usaha tak menurun, pihaknya mengalokasikan Rp 500 juta hingga Rp 750 juta untuk pungutan secara resmi dan non-resmi setiap bulan.
"Waktu produksi dan kondisi perusahaan kami masih bagus memang tak masalah tetapi saat ini kondisinya 80% drop, apalagi setelah pandemi Covid 19, itu membuat kami makin kesulitan dari mana memperoleh dana sebanyak itu," ujarnya kepada pers beberapa waktu lalu.
Mau tak mau, saat produksi turun, pihaknya lebih memilih untuk bersembunyi dengan meniadakan aktivitas di pabrik miliknya. Pilihan untuk bersembunyi merupakan keputusan yang tepat dibandingkan perusahaan miliknya harus gulung tikar karena dana yang dimiliki habis untuk membayar pungli.
"Ya mau enggak mau harus sembunyi dulu” ia melanjutkan. Sekarang aktivitas kantor enggak ada. Produksi dan enggak produksi cashnya sama baik untuk memberikan pada petugas berseragam maupun tak berseragam," ucap narasumber tersebut.
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, pemerintah telah sangat serius menangani masalah pungli atau pemalakan ini. Keseriusan janji pemerintah itu dibuktikan dengan dibentuknya Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) pada tanggal 21 Oktober 2016.
Saber Pungli dibentuk berdasarkan Perpres No 87 Tahun 2016 itu dikendalikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Selain Menko Polhukam yang saat itu dijabat Wiranto sebagai penanggung jawab sekaligus pengendali satgas, komposisi satgas yang lain adalah Ketua Pelaksana Irwasum Polri, Wakil Ketua I Irjen Kemendagri, Wakil Ketua II Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, dan sekretaris staf ahli di Kemenko Polhukam.
Ruang lingkup fungsi Satgas Saber Pungli sangat luas, dari membangun sistem pencegahan, koordinasi pengumpulan data, menggelar operasi tangkap tangan, hingga memberikan rekomendasi mengenai sanksi yang diberikan. Selain dari Polri, Kejaksaan Agung, Kemendagri, dan Kemenkopolhukam, juga dari Kemenkumham, PPATK, Ombudsman, BIN, dan POM TNI.
Pembentukan Satgas Saber Pungli merupakan bagian dari paket reformasi kebijakan di bidang hukum yang dicanangkan oleh pemerintah. Paket kebijakan ini bertujuan untuk memulihkan kepercayaan publik, memberikan keadilan dan kepastian hukum. Pemerintah berfokus tiga hal dalam reformasi ini, yakni penataan regulasi, pembenahan lembaga dan aparatur negara, serta pembangunan budaya hukum. Sasarannya adalah sektor pelayanan publik, ekspor dan impor, penegakan hukum, perizinan, kepegawaian, pendidikan, pengadaan barang dan jasa, dan semua jenis pungli yang meresahkan masyarakat.
Pemetaan dan Anatomi Pungli dan Pemalakan Liar.
Dalam praktek keseharian, pungutan menjadi sesuatu yang tidak netral. Pungutan merupakan alat yang dapat dimanfaatkan oleh aktor yang menguasai dan mengendalikan suatu struktur yang timpang untuk berbagai kepentingan. Pihak yang menjadi objek pungutan adalah aktor lain yang menempati hirarki lebih rendah. Dalam situasi ketika relasi kuasa menjadi tidak setara, pungutan kemudian menjelma menjadi sesuatu yang bermakna negatif. Pungutan tak lagi dapat diandalkan sebagai suatu mekanisme distribusi surplus yang dapat menunjang proses pemerataan pada masyarakat banyak misalnya melalui mekanisme pajak dan retribusi tetapi berubah menjadi beban baru yang dapat mendorong kearah ekonomi biaya tinggi.
Dalam konteks pemerintahan yang bersih dan baik, pungutan yang diwujudkan dalam mekanisme pajak ataupun berbagai bentuk biaya kompensasi untuk pertumbuhan dan pemerataan.
Sumber pendapatan tersebut dapat digunakan untuk membangun infrastruktur, perbaikan dan pemulihan lingkungan, pembiayaan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, teknologi dan tentunya dapat digunakan untuk mendorong penguatan ekonomi rakyat, ekonomi usaha kecil. Untuk kepentingan seperti itu, maka seluruh lapisan masyarakat akan mendukung dan wajib menjalankannya. Mereka tidak hanya dapat menikmati kembali apa yang telah ditarik dari sebagian surplus usaha yang didapatkan tetapi juga telah ikut memberikan kontribusi pada pembentukan basis ekonomi negara. Mekanisme seperti itu hanya akan dapat dijalankan dengan baik, apabila proses pengelolaannya dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam dimensi relasi kuasa yang timpang, pungutan disublimasikan menjadi sumber-sumber akumulasi yang menguntungkan untuk sebagian orang atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Bahkan dapat berubah menjadi virus yang negatif dan bertebaran di mana-mana serta masuk dalam sistem kehidupan sosial yang luas. Masuk ke dalam setiap hisapan udara dan iklim usaha. Pungutan berjalan dan dikomunikasikan secara diam-diam serta disosialisasikan secara multilevel.
Pada akhirnya kemudian membentuk sistem budaya, dan sistem sosial yang untuk sebagian orang tidak perlu dipermasalahkan lagi, karena mempermasalahkan soal-soal seperti ini berarti menyulitkan diri sendiri. Akan tetapi untuk sebagian orang lain, mempersoalkan pungutan yang berdimensi negatif berarti memperjuangkan soal-soal keadilan sekaligus berupaya untuk menutup lubang pemborosan sumber daya ekonomi.
Secara ekonomi, pungutan berarti ada pihak yang mengambil sesuatu yang bernilai ekonomi (uang maupun barang) dari pihak lain, karena mereka harus berurusan dengan pihak diwujudkan dalam bentuk upeti, sogokan, pemberian, dan sejenisnya. Kondisi yang agak mengherankan terjadi pada sebagian pengusaha kecil dan menengah, mereka justru tidak terlalu merisaukan masalah pungutan ini, sekalipun harus kehilangan sekitar 15%- 50% dari nilai kontraknya.
Sampai saat kini, kenyataannya praktik pungutan ilegal/pemalakan sejauh ini terus berlangsung dimana-mana-- secara meskipun pasang surut-- namun bisa dikatakan terjadi di semua lingkungan bisnis baik secara vulgar ataupun terselubung. Lingkungan bisnis yang rawan pungli dan pemalakan liar, misalnya: pasar, pertokoan, lingkungan UKMK, jalur angkutan barang dan lalu lintas orang, stasiun/terminal/ pelabuhan, lingkungan hiburan, penjualan miras, pencopetan di pasar/bus/KA/kapal, bisnis narkoba, praktek perjudian, lokasi praktek pelacuran, penyelundupan dan proyek-proyek pembangunan, tempat pelayanan administrasi publik.
Mengapa pungutan liar dan pemalakan masih sering berlangsung?.
Secara umum setidaknya ada 6 situasi atau kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya praktek pungli ataupun pemalakan, yakni:
1. Adanya ketidakpastian prosedur dan kepastian waktu dalam suatu pelayanan publik (termasuk tidak jelasnya besaran biaya yang harus dibayar secara resmi, prosedur yang berbelit, sebagai akibat adanya SOP yang tidak transparan dan tidak jelas, banyaknya meja yang harus dilalui), sehingga masyarakat menyerah ketika berhadapan dengan proses pelayanan publik yang korup.
2. Terjadinya pertemuan secara langsung dalam hal ini dalam urusan administrasi antara pihak yang mempunyai wewenang atau jabatan dengan pihak yang dilayani dalam transaksi pembayaran. Adanya kesempatan bertemu secara fisik pejabat pemberi layanan dan pengguna layanan.
3. Faktor ekonomi. Penghasilan total dari pihak penyelenggara negara yang tidak mencukupi kebutuhan hidup atau tidak sebanding dengan tugas/jabatan yang diemban membuat seseorang terdorong untuk melakukan kewajiban pelayananan.
4. Faktor kultural & Budaya yakni tidak merasa bersalah melakukan praktek pungli dan pemalakan dan tidak mempunyai beban dalam menjalankan praktek tersebut untuk mendapatkan pelayanan cepat. Tidak sabar untuk mengantri dalam menanti layananan. Budaya malu tidak mendarah daging untuk melakukan kecurangan.
5. Terbatasnya sumber daya manusia yang melayani dibandingkan dengan jumlah permintaan pelayananan.
6. Lemahnya sistem kontrol dan sanksi untuk pengawasan oleh atasan.
Keenam situasi kritikal di atas, yang menjadi trigger bagi munculnya praktek pungli dan atau pemalakan itu dapat pula terjadi kombinasi satu dengan lainnya yang membuat praktek tersebut semakin kental dan mengakar dalam budaya di Indonesia. Dengan memahami anatomi pungli dan pemalakan ini, maka solusi yang harus dilakukan bukan bersifat single solution, tetapi justru harus bersifat komprehensif dan bersifat lintas sektor yang bersungguh-sungguh memikirkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan yang dapat dihasilkan dari tumbuhnya sektor ekonomi produktif.
Strategi Pemberantasan Pungutan dan Pemalakan Liar di sektor Ekonomi
Strategi peningkatan kinerja pelayanan publik, khususnya yang mendukung sektor ekonomi menjadi sangat krusial di perhatikan. Pemerintah sebagai regulator, pengawas dan sekaligus penegakan hukum harus dapat bekerjasama, bersinergi dan melakukan kerjasama harmonis sesuai dengan tupoksi masing-masing, tetapi saling bertukar informasi dan data yang berkaitan dengan pelayanan publik yang dijalankan.
Adapun upaya maksimal yang dapat dijalankan agar dapat mempersempit ruang gerak dari adanya praktek pungutan liar ataupun pemalakan liar, baik yang dilakukan oleh preman ataupun yang dilakukan oleh oknum pejabat publik ataupun staf pelayanan sendiri, adalah sebagai berikut:
1. Setiap jenis pelayanan yang diberikan baik bersifat teknis maupun pelayanan administrasi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, harus disertai dengan SOP dan petunjuk pelaksanaan yang sangat jelas yang dijadikan maklumat pelayanan publik ditempat yang bersangkutan, yang diletakan secara terbuka dan dapat dibaca oleh masyarakat di ruang utama kantor pelayanan tersebut. SOP harus sangat spesifik jelas memuat, alur pelayanan, waktu, harga yang dikenakan pada masyarakat, kapan penyelesaian akhirnya dan bagaimana cara komunikasi jika akan complaint ataupun ingin memberikan feed back, pada siapa penanggung jawab program pelayananan tersebut, dengan nomor telpon atau WA yang mudah dihubungi.
2. Bila ada complain ataupun feedback harus ada batas waktu untuk menjawab dan menanggapinya dari segi waktu dan sebaiknya di CC. Pada instansi vertikal tertingginya. Kalau polisi ya maka Mabes Polri atau Polda harus memberikan respon ataupun jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh masyarakat.
3. Sistem pelayanan harus disertai dengan upaya penertiban, yakni nomor antrian, dimana pelayananan mengikuti nomor yang diberikan oleh pihak pemberi layanan. Pelayanan juga harus diikuti dengan penilaian langsung secara elektronik terhadap kualitas masing-masing sub sektor atau bidang pelayananan yang diberikan.
4. Pihak pemberi layananan khususnya pejabat publik yang berwenang memberikan layanan, sebaiknya tidak bertemu langsung dengan pihak yang dilayani (kecuali dalam pelayanan kesehatan). sehingga menggunakan mekanisme, ban berjalan, permohon melengkapi semua persyaratan yang diperlukan dan dimasukan pada titik awal pelayananan dan menunggu pada titik akhir pelayananan. Pembayaran harus dilakukan melalui mekanisme perbankan, bukan memberikan pembayaran di setiap loket pelayanan. Setiap transaksi pembayaran harus diberikan bukti pembayaran berupa kwitansi yang dapat digunakan untuk melakukan pengecekan proses pelayananan, sudah sampai dimana.
5. Seluruh proses pelayanan sedikit mungkin bahkan hindari adanya interaksi antar petugas pelayananan dan client yang dilayani, Semua proses pelayananan harus dilakukan dengan cara otomatis dengan menggunakan prinsip ban berjalan. Sehingga terhindar adanya proses negosiasi dan permintaan pungli atau pemalakan.
6. Seluruh proses pelayananan harus transparan sehingga bisa dipantau oleh publik ataupun pihak yang dilayani melalui sebuah layar monitor. Jadi client atau pihak yang dilayani tahu sudah sampai dimana proses pelayanan yang diberikan.
7. Pihak yang dilayani tidak boleh memberikan tips ataupun uang terima kasih atas layanan yang dijalankan.
8. Proses pelayananan harus dijalankan dengan menggunakan aplikasi dan bantuan komputer agar semua proses dapat dipantau secara transparan.
9. Pemerintah sebagai pemberi layanan publik harus terus menerus memberikan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat atas berbagai jenis pelayananan yang dijalankan dan bila perlu harus jelas petugas ataupun officer yang sedang bertugas memberikan pelayanan pada waktu tertentu dan diberikan penghargaan ataupun apresiasi yang memadai berupa reward ataupun point atas kualitas layananan yang sudah diberikan yang dilakukan oleh pihak yang dilayani.
10. Pimpinan unit pelayananan melakukan monitoring yang ketat atas semua situasi pelayanan dan segera melakukan “perbaikan” jika terjadi kemacetan pelayananan atau gangguan pada proses pelayanan sesegera mungkin.
11. Perlu ada inspeksi berkala dari instansi pengawasan yang lebih sering atas semua layanan publik yang dijalankan oleh aparatur negara tersebut.
12. Kualitas akumulatif pelayanan di tingkat daerah menjadi raport penilaian atas kinerja pejabat daerah yang bersangkutan dimana secara berkala harus diumumkan pada warga yang dilayaninya dan dipublikasikan secara terbuka.
13. Mekanisme kontrol dan complaint sedapat mungkin dilindungi kerahasiaannya dan mekanisme control dan reaksi cepat harus dilakukan. Mekanisme complaint dan pengaduan, semudah mungkin dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai sarana yang termudah dan segera ditindak lanjuti.
14. Adanya inspeksi dari berkala dari pihak APIP/lembaga pengawas termasuk Ombudsman.
Pelembagaan Lembaga Pengawasan dan Sanksi Pada Pelanggaran
Upaya untuk melakukan pemberantasan pungutan dan pemalakan liar ini harus dilakukan secara konsisten, tegas dan berkelanjutan sampai terbangun budaya anti korupsi dan anti sogok serta budaya antri dilakukan di oleh masyarakat secara umum. Sehingga mekanisme stick and carrot (pemberian penghargaan dan sanksi atas pelanggaran) harus mekanisme tata kelola good governance.
Revitalisasi tim Satgas Siber Pungli yang sudah diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo harus dilakukan kembali, dengan dilengkapi dengan sistem
pengawasan secara elektronik misalnya CCTV, penegakan hukum dan sistem pengaduan masyarakat LAPOR! Yang harus segera dijalankan oleh berbagai pihak yang sudah ada dalam Satgas harus difungsikan kembali. Perlu juga dibuat satgas Siber Pungli di tingkat Propinsi dan kabupaten kota, terutama di wilayah yang pertumbuhan ekonominya tinggi.
Tugas satgas siber pungli ini harus dilengkapi dengan 2 kapasitas, penindakan lapangan baik melalui pengaduan maupun penangkapan langsung (OTK) yang dilengkapi dengan aparatur Gakkum yang memadai. Berbagai instansi yang terlibat mulai dari tingkat nasional sampai tingkat pemerintah daerah perlu dilibatkan. Ruang lingkup fungsi Satgas Saber Pungli sangat luas, dari membangun sistem pencegahan, koordinasi pengumpulan data, menggelar operasi tangkap tangan, hingga memberikan rekomendasi mengenai sanksi yang diberikan. Selain dari Polri, Kejaksaan Agung, Kemendagri, dan Kemenkopolhukam, juga dari Kemenkumham, PPATK, Ombudsman, BIN, dan POM TNI.
Perang terhadap Pungli dan pemalakan ini harus menjadi gerakan nasional anti korupsi dengan perangkat pengawasan melekat dan pengawasan masyarakat yang harus dilibatkan. Dalam upaya preventif, sosialisasi dan pendidikan publik terhadap pungli dan pemalakan serta keterlibatan sosial harus terus menerus digalakan melalui gerakan sosial bersama dengan media massa dan dunia pendidikan.
Pembangunan pendidikan karakter dan etika harus dilakukan disetiap lembaga pendidikan mulai dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi dengan memasukkannya dalam kurikulum pendidikan.
Pengawasan melalui media massa dan media sosial terhadap berbagai praktek pungutan liar dan pemalakan perlu diundang pada seluruh lapisan masyarakat yang tidak menghendaki adanya biaya tinggi dalam ekonomi dan pelayanan publik di dalam kehidupan sehari-hari.
Pemuka agama dan pemuka masyarakat harus mengkampanyekan secara terbuka bahwa pungli dan pemalakan adalah tabiat dan perilaku yang jelek, haram dan harus dijauhi. Pendidikan anak-anak yang berkewajiban saling tolong menolong, menghargai sesama dan wajib antri untuk memperoleh seluruh pelayanan harus disosialisasikan sejak dini.
Penutup :
Pemberantasan Pungli dan Pemalakan Ilegal Agenda Nasional. Setelah kita pahami sejarah, anantomi dan magnitute atau besaran praktek pungli dan pemalakan ilegal, nampaknya perlu hal ini dijadikan agenda nasional untuk diberantas dan diperangi bersama dengan seluruh komponen bangsa.
Ada agenda besar yang harus dijalankan bersama untuk memberantas pungli dan pemalakan ilegal, agar tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional dan dapat mendorong percepatan negara menjadi negara ekonomi maju di tahun 2045 yang akan datang, seperti yang banyak diprediksikan oleh lembaga-lembaga internasional yang bereputasi.
Agenda pertama adalah transformasi budaya bangsa, agar kita tidak menjadikan pungutan, pemalakan, sogok dan sejenisnya yang ujungnya untuk dapat mempermudah pelayanan publik untuk diri sendiri. Budaya antre, dalam mengakses pelayanan publik atau memberikan kesempatan pada orang yang datang lebih dahulu, ataupun pihak yang paling memerlukan seperti kursi untuk para manula, perempuan hamil, kelompok difabel dalam sarana publik, merupakan akar budaya yang patut di kampanyekan. Karena dengan akar budaya yang tertib, disiplin, toleran dan menghargai sesama, maka keinginan untuk melakukan tindakan pungli ataupun sogokan akan terkikis dengan sendirinya. Keinginan untuk memberikan kelebihan untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat dan tidak mau antre akan terkikis secara budaya.
Agenda kedua adalah reformasi birokrasi dalam pelayanan publik, upaya untuk memperjelas semua bentuk dan jenis pelayanan negara yang diberikan oleh birokrasi serta biaya yang harus dibayar oleh masyarakat harus dibuat transparan dan terbuka untuk publik. Setiap instansi negara yang mempunyai tugas pelayanan publik harus membuat maklumat pelayanan publik secara jelas dan terbuka. Demikian pula unsur pengawasan baik internal maupun eksternal harus bersama-sama melakukan pengawasan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparatur negara di posnya masing-masing harus tegas, konsisten dan dibarengi dengan sanksi yang memadai. Tugas-tugas pengawasan tersebut bisa dibantu dengan melibatkan aplikasi komputer dan internet serta CCTV agar memudahkan pengawasan.
Untuk itu koordinasi semua unsur pemerintahan baik ditingkat nasional maupun pemerintah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota perlu juga ditingkatkan untuk memberikan optimasi terhadap pelayanan publik dan mereduksi lokus-lokus pungli dan pemalakan.
Tidak lupa publik diberikan tempat untuk ikut dalam pengawasan dan pengaduan, bila mendapatkan praktek pungli dan pemalakan. Misalnya mekanisme LAPOR! Yang diinisiasi oleh Kementerian PAN RB harus dapat disosialisasikan secara masive. Partisipasi publik untuk dapat memberikan pengaduan dalam bentuk pengaduan melalui media sosial harus pula diberikan ruang yang besar. Termasuk kerja POLRI dalam patroli cyber akan banyak membantu mengurangi potensi Pungli dan pemalakan ilegal.
Jakarta, 07 Juli 2021