Oleh: M Nasihin Karimullah, M.Pd
Membahas Islam bak samudera yang tak bertepi, sudut pandang olah mata olah rasa dan olah raga seakan terus membawa keluasan keromantisan keharmonisan keistimewaan ketinggian nan keluhuran Islam yang semakin dibahas semakin asik nan menarik termasuk sekelumit pandangan saya ketika mengambil pucuk bahasan di atas
Belakangan begitu banyak kelompok ormas yang mengatas namakan islam untuk berbagai macam aksinya. Mereka mengkonfigurasikan diri sebagai corong agama agar berhasil mengambil simpati umat islam, tanpa memisahkan identitas ormasnya dengan islam sebagai agama. Seolah ingin mengatakan bahwa islam adalah mereka. Atau dengan kata lain, merekalah yang paling islam.
Pandangan semacam itu berakibat fatal terhadap citra agama islam, lantaran apa yang mereka lakukan sering mengatas namakan agama. Tak heran, jika kemudian islam diasosiasikan sebagai agama ekstremis-teroris.
Padahal ada perbedaan mendasar antara Islam dan Umat Islam. Islam adalah kemurnian ajaran yang bersumber dari Kalam Allah, ia transenden dan bebas dari intervensi siapapun. Sedangkan Umat Islam adalah kumpulan manusia yang hidup dalam segala keterbatasan, termasuk keterbatasan akal dalam memaknai ajaran islam. Maka wajar jika muncul banyak aliran islam, seperti Mu’tazilah, Murji’ah, khawarij, Syi’ah, Asy’ariah, Jabariyah, Qadariyah, Maturidiyah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Kesemua aliran tersebut hasil interpretasi akal manusia dalam memaknai ajaran islam berdasarkan tingkat pemahaman dan sosio-politis yang mengitari. Pemisahan Islam dan Umat Islam dimaksudkan agar sakralitas islam terjaga dari sikap salah umatnya.
Pengklasifikasian terhadap aliran islam juga penting dilakukan agar masyarakat mudah mengidentifikasi kekacauan yang terjadi pada tubuh Umat Islam. Di samping itu, ideologi yang terkandung pada setiap aliran pun dapat dibedah secara baik.
Sebagaimana peristiwa tragis bom Bali pada tahun 2002 silam, yang kemudian diketahui bahwa para pelaku adalah komplotan teroris dari kelompok Jema’ah Islamiah. Andaikata pelaku teroris tersebut tidak berasal dari aliran tertentu, dipastikan kasusnya akan menjadi lebih rumit. Bahkan boleh jadi seluruh umat islam akan menanggung dampak kejahatan dari ulah komplotan teroris yang mengatasnamakan islam.
Karena itu, penyebutan islam untuk nama sebuah kelompok atau ormas sebaiknya dihindari. Pasalnya, penggunaan kata islam pada sebuah ormas memiliki konsekuensi penyeretan islam ke dalam agenda atau propaganda ormas, yang mana gerakannya belum tentu senada dengan cita-cita mulia islam itu sendiri.
Adalah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua ormas besar yang dengan gagah berani tidak mancatut nama islam ke dalam penamaan ormasnya. Nahdlatul Ulama diartikan kebangkitan ulama, dan Muhammadiyah berarti pengikut Nabi Muhammad SAW. Penulis yakin bahwa pendiri dua ormas besar tersebut, yakni Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, sudah mempertimbangkan aspek sakralitas islam sebelum menamai ormasnya.
Kedua tokoh besar itu sepertinya sudah mewaspadai, jika dikemudian hari terjadi kesalahan pada anggota maupun ormasnya, kesalahan itu tidak sampai menodai nama baik islam, tapi sebatas menggores nama ormasnya semata.
Selain itu, lambang ormas harus selalu ditampilkan, agar semua aktifitas serta gerakan tidak lagi mengatasnamakan islam, melainkan atas nama ormas itu sendiri. Hal ini dalam rangka menjaga kesucian islam dari segala bentuk penafsiran yang menimbulkan tindakan anarki.
Dengan demikian, apabila sebuah ormas yang eksistensinya terganggu oleh oposisi tidak lagi mengatakan “mereka jahat kepada sesama islam.” Katakan saja dengan terang “mereka jahat kepada kelompok kami, HTI.” FPI"
Jakarta 15/02/21