Oleh: Alvi Hadi Saputra | Ketua BEM STKIP PGRI Sukabumi
Apa yang tersirat dalam benak anda ketika mendengar nama Presiden ke-7 kita, Presiden Joko widodo atau kerap lebih familiar disapa dengan nama Jokowi ini? Apakah anda membayangkan seorang pria kurus yang datang dari daerah dan memimpin negeri ini lewat serangkaian proses yang kontroversial? Atau anda membayangkan seorang pemimpin yang cukup dekat dengan lapisan bawah masyarakat? Tidak ada yang keliru dari visualisasi kita semua tentang sosok beliau yang memimpin negeri ini hampir 7 tahun belakangan.
Melihat latar belakang kekuatan politik Presiden Jokowi tentu adalah hal vital ketika kita ingin menjawab pertanyaan populis yang seringkali muncul seperti, kenapa Presiden Jokowi seakan hanya dijadikan wayang dari dalang-dalang jahat dibelakangnya? Atau tuduhan bahwa Presiden boneka yang seringkali dilontarkan oleh para elit politik maupun masyarakat disetiap lapisan.
Mari kita rumuskan beberapa alasan yang bisa menjawab pertanyaan mengapa Presiden Jokowi dalam masa kepemimpinannya bisa dikatakan benar demikian seperti apa yang dikatakan oleh orang kebanyakan.
Persoalan pertama yang kita temui dalam menganalisa problem wayang dan dalang dalam kepemimpinan Presiden Jokowi adalah bagaimana dia bisa sampai di istana? Jika kita telusuri secara detail, Presiden Jokowi mungkin adalah yang paling berbeda dari 6 Presiden sebelumnya.
Dengan kenyataan bahwa latar aktivitas politik dalam masanya sebagai mahasiswa fakultas kehutanan di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tidak terlalu mentereng jika dibandingkan dengan tokoh perlawanan lain terhadap orde baru yang berkuasa saat itu, dengan begitu Jokowi telah berhasil mematahkan mitos-mitos umum bahwa seorang pemimpin hebat lahir dari aktivitas politik dan intelektual di kalangan mahasiswa yang sangat keras disetiap mimbar-mimbar jalanan, ditambahi lagi dengan hasil perbandingan kekuatan finansial dengan seluruh Presiden RI sebelumnya yang bisa dikatakan bahwa presdien Jokowi adalah yang paling "miskin" padahal biaya politik kita terhitung adalah yang salah satu paling tinggi dibanding negara demokrasi lain.
Tentu kita bertanya lagi bagaimana mungkin seorang politisi tanpa kekuatan finansial mandiri bisa memiliki rekor kemenangan yang hebat di panggung politik yang sangat mahal di negara ini? Serta sekali lagi Jokowi pada Pemilihan Umum Presiden pada tahun 2014 telah mematahkan sebuah mitos politik besar, bahwa kepala negara haruslah berasal dari pimpinan utama dari sebuah partai politik yang ada dan bersaing di kontestasi politik nasional karena pada kenyataannya seorang Jokowi hanyalah seorang petugas partai rendahan dalam hierarki partai utama yang mengusungnya maju pada pemilu 2014 lalu, yaitu partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Tiga dari banyak kenyataan yang kita temui tadi adalah sebuah kebingungan tersendiri bagi banyak kelompok di tengah-tengah masyarakat.
Bicara mengenai perjalanan politik praktis beliau, sejak pertama kali memenangkan kontestasi pilkada solo tahun 2005, Jokowi meniti karir politiknya dari bawah dengan sangat baik. Meraih sangat banyak penghargaan atas kerja inovasinya yang membuat Jokowi sangat dikenal di kalangan para pemimpin kota yang tergabung dalam forum-forum bilateral ataupun multilateral antar walikota diseluruh penjuru dunia.
Tak hanya itu, kinerjanya yang mumpuni dalam menata kota membawanya kembali memenangi pilkada solo pada tahun 2010 tanpa ada perlawanan yang berarti dengan hampir 90 persen suara masyarakat dipercayakan padanya. Tentu saja sebagai kader yang potensial, PDI-P tidak melewatkan kesempatan berharga untuk melahirkan role model kadernya dikancah politik yang lebih tinggi.
Tahun 2012, Jokowi ditugaskan oleh partainya untuk bertarung di pilkada DKI, walaupun sebagai kuda hitam tentunya karena pada saat itu menghadapi politisi senior sekaligus petahana sekaliber Fauzi bowo. Namun, diluar dugaan Jokowi yang didampingi oleh basuki tjahaja purnama atau ahok berhasil memenangi pemilu yang sangat sengit tersebut beserta segala intrik didalamnya.
Jokowi dan Ahok mengejutkan panggung politik nasional saat itu dengan segala terobosannya pasca dikukuhkan sebagai gubernur dari provinsi kunci dari panggung politik kia, yaitu jakarta. Tak berhenti disana, 2 tahun berselang. Jokowi dianggap telah membawa perubahan amat signifikan dalam setiap sektor kepemimpinan di ibukota negara. Yang pada akhirnya, setelah sedemikian rupa dipoles oleh sentuhan media dan berbagai citra.
Jokowi disandingkan dengan politikus senior Jusuf kalla untuk maju di pemilu Presiden 2014 menghadapi Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa. Lewat pertarungan kotor dan sengit, Jokowi-JK keluar sebagai pemenang saat itu.
Perjalanan politik yang mulus tanpa rekor kekalahan tadi nampaknya hanya dipermukaan saja, namun dibalik layar panggung politik tadi telah terjadi peristiwa yang lebih besar dari kemenangan sang wong ndeso itu sendiri. Oligarki-oligarki politik terbangun dengan jaringan yang kuat setelah kemenangan Jokowi-jk 2014 lalu.
Dan kisah cinta segitiga antara Jokowi, partai pengusung, dan kelompok oligarki pemodal pun terus berlanjut hingga berhasil membawa Jokowi-maruf amin di gerbang kekuasaan untuk kedua kalinya. Namun sayang, ungkapan yang menyatakan bahwa didunia ini tidak ada yang gratis ternyata benar. Oligarki pemodal menagih janji, transaksi terjadi.
Proses nepotisme dalam kurun waktu 6 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi nampak telah mampu bersaing jika disandingkan dengan orde baru, distribusi kekuasaan yang terpusat pada kelompok yang telah menjadi sponsor kemenangan Jokowi dari Solo hingga istana telah membuktikan terjadinya transaksi tersebut.
Dengan mata telanjang kita bisa saksikan bahwa hampir seluruh jabatan yang ada di ruang lingkup istana hingga daerah telah diisi oleh kelompok pemodal yang mengatur mayoritas kebijakan negara 6 tahun terkahir ini. Paradigma negara telah berubah menjadi paradigama untung-rugi ala kapitalisme khas para pemodal telah menggantikan paradigma ekonomi pancasila. Demi membalas budi ongkos politik yang besar selama perjalanan Jokowi dari solo hingga istana, rasanya beliau sudah memberikan ganti rugi yang setimpal dengan berbagai regulasi maha menguntungkan kaum pemodal walaupun yang harus dikorbankan adalah keselamatan rakyatnya sendiri dan masa depan lingkungan hidup.
Revisi UU KPK telah membuktikan keberpihakan pemerintahan Presiden Jokowi pada kelompok koruptor yang ikut menjadi sponsor kemenangan beliau selama menjalani karir politik, dan UU cipta kerja jadi penegasan utama proses balas budi Presiden Jokowi kepada kelompok oligarki pemodal yang telah begitu banyak mengeluarkan nominal yang begitu banyak untuk menyukseskan perjalanan Jokowi menuju singgsana istana.
Pertempuran di rakyat kalangan bawah akibat polarisasi politik hanyalah sebuah sirkus hiburan bagi para elit, yang sebenarnya rakyat sendiri tidak pernah mengetahui proses apa yang sedang terjadi dibalik istana dengan segala gemerlapnya. Tidak ada yang benar-benar bertarung dalam pemilihan Presiden dua periode terakhir selain pertarungan modal siapa yang lebih besar, dan pertarungan tentang siapa yang akan memenangkan negara ini beserta segala kekayaannya.
Lalu dimana posisi rakyat dalam peristiwa ini? Tentu saja rakyat adalah sapi perah yang hanya diperah setiap lima tahun sekali didalam bilik suara, dan ditinggalkan dalam jurang keputusasaan dan kemiskinan setelahnya. tidak ada satupun elit politik yang memikirkan keselamatan ataupun kesejahteraan masyarakat dikalangan bawah, ini hanya soal menang dan kalah atau modal siapa yang jauh lebih besar untuk memenuhi nafsu kekuasaan yang kian hari kian menggebu-gebu dalam diri para elit. Bahwa sesungguhnya kita tidak pernah mendapatkan apapun dari apa yang kita miliki melalui proses politik transaksional yang hari ini sedang kita praktikkan, selain daripada permusuhan dan perpecahan antar saudara sebangsa.
Lalu setelah membaca goresan tinta ini, kita tidak perlu lagi bicara dan bertanya siapa wayang dan siapa yang menjadi dalang di negeri ini 7 tahun terakhir. Sebab, sudah cukup jelas bukan? Hanya anda yang bisa menjawabnya.