Oleh: [email protected] (netizen)
Pandemi Covid-19 atau yang sering dikenal dengan virus corona mulai berdampak luas di sejumlah negara. Hanya dalam waktu beberapa bulan Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara, termasuk Indonesia. Selama Pandemi Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung selama berbulan-bulan. Bahkan hampir semua negara melaporkan penurunan ekonomi akibat kemunculan virus corona yang pertama kali menyebar di Kota Wuhan, Hubei dan China.
Perekonomian dunia kini berada di ambang ketidakpastian akibat pandemi Virus Corona. Perekonomian Indonesia yang diprediksi pada kuartal II-2020 ini mengalami kontraksi. Sejumlah negara kini melaporkan terjadinya resesi ekonomi. Mulai dari Korea Selatan, Jerman, Singapura, Perancis, Italia, hingga Amerika Serikat. Indikator resesi bisa dilihat dari penurunan pada Perusahaan-perusahaan, menurunnya pendapatan riil, jumlah lapangan kerja, penjualan ritel, dan terpuruknya industri manufaktur.
Indonesia menjadi salah satu negara yang terancam mengalami resesi, karena menurunnya rasa kepercayaan konsumen. Ketika konsumen mengkhawatirkan keadaan ekonomi, mereka memperlambat pengeluaran dan lebih memilih menyimpan uang. Karena hampir 70 persen dari PDB bergantung pada belanja konsumen, sehingga seluruh perekonomian dapat melambat secara drastic. Bahkan dalam peluncuran Bank Dunia untuk ekonomi Indonesia tak ada jaminan bagi ekonomi Indonesia terbebas dari resesi.
Ekonomi Indonesia bisa mengalami resesi jika infeksi Covid-19 terus meningkat. Bahkan Presiden Joko Widodo sering kali mengingatkan para mentrinya soal ancaman tersebut. Resesi dapat dilihat masyarakat dari beberapa tanda yaitu : Pendapatan yang menurun, kemiskinan bertambah, harga penjualan khususnya motor dan mobil menurun, mal-mal sepi, dan mayarakat terlihat jelas mulai banyak yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bermula ditahun 1998, PDB Indonesia mengalami kontraksi sekitar 13,02 persen. Di Kuartil-II, perekonomian beresiko semakin memburuk. Karena diadakannya penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB ) yang berlaku efektif di beberapa daerah beberapa waktu lalu. Yang mengakibatkan roda perekonomian di Kuartil-II mengalami signifikan, sehingga pertumbuhan ekonomi terancam merosot.
Data pengangguran, aktivitas munafaktur, serta penjualan ritel Indonesia sudah mengirim sinyal potensi terjadinya resesi. Pandemi Covid-19 membuat keputusan hubungan kerja terjadi dibeberapa perusahaan. Data terakhir, total pekerja yang dirumahkan dan di PHK mencapai 3.5 juta lebih. Sektor munafaktur Indonesia juga ikut merendah, begitu juga dengan penjualan ritel atau eceran yang tak kalah meprihatinkan.
Hampir seluruh pos penjualan ritel mengalami kontraksi. Pos yang paling dalam kontraksinya adalah penjualan bahan bakar -39% YoY, barang budaya dan rekreasi sebesar -48,5 persen YoY dan barang lainnya seperti sandang sebesar -68,5% YoY. Saat PSBB diterapkan masyarakat diminta untuk tetap dirumah, sehingga kebutuhan konsumsi pun ikut menurun drastis.
Dampak covid-19 pada pekerja bebas sector pertanian dan non-pertanian atau pekerja “ serabutan “ yang bekerja ketika ada permintaan bekerja. Dilihat dari hasil survey menunjukan sekitar 55 persen pekerja bebas pertanian dan non-pertanian tidak ada peluang untuk bekerja, dan 38 persen pesanan berkurang. Dilihat dari pendapatan, sebanyak 58% pekerja bebas tidak memiliki pendapatan selama masa pandemi Covid-19 dan 28 persen pendapatan berkurang sampai 30 persen.
Lalu Bagaimana Solusi bagi masyarakat untuk menghadapi resesi ekonomi?
Resesi ekonomi sudah berada di depan mata. Para ahli mendorong masyarakat mengantisipasi dengan gaya hidup hemat dan menyiapkan alternatif pekerjaan. Menurut Ekonomi Indef, Bhima Yudhistira masyarakat harus berhemat mulai dari sekarang untuk menyiapkan dana darurat selama resesi. Kurangi belanja yang tidak sesuai kebutuhan dan fokus pada pangan serta kebutuhan kesehatan. Pandemi mengajarkan kita untuk berhemat dan membuat daya tahan keuangan personal lebih kuat.
Hal itu juga disampaikan oleh Direktur Riset Center Of Reform On Economics (CORE) Indonesia. Piter Abdullah mengatakan di masa pandemi ini masyarakat jangan boros dan harus mempersiapkan kondisi terburuk untuk mencukupi keuangan. Tetap harus berhati-hati mempersiapkan kondisi ekonomi terburuk. yaitu apabila resesi ini berkepanjangan. Ini perlu stamina yang kuat termasuk juga tabungan yang cukup, jangan boros. Selain mempersiapkan tabungan yang banyak, masyarakat juga disarankan agar menjaga kesehatan agar resesi tidak berkepanjangan.
Perlu mendorong masyarakat memahami cacat bawaan sistem kapitalisme yang menghasilkan krisis termasuk resesi. Jelas saja ini menyebabkan fondasi ekonomi kapitalis rapuh, dibangun dari struktur ekonomi yang semu, yakni ekonomi sektor non-riil. Bukan ekonomi yang sesungguhnya. yaitu ekonomi sektor riil. Sistem ekonomi seperti ini, hanya ada dengan isu kecil saja, balon ekonomi ini bisa meledak sewaktu-waktu. Apalagi jika dilanda isu besar seperti wabah virus korona seperti saat ini.
Maka solusi resesi bukan sekedar terletak pada masyarakat semata dengan mendorong mereka untuk berhemat, menabung dan sebagainya. Namun resesi dan krisis ekonomi ini merupakan masalah sistemik, jadi untuk mengakhirinya juga dengan solusi secara sistemik bahkan fundamental.
Sebelum masa pandemi Indonesia adalah negara dengan banyak penduduk miskin. Tentu makin meningkat bila ditambah lagi pandemi yang tak kunjung usai dan menyebabkan pengangguran meningkat, PHK massal. Kondisi tersebut secara otomatis mengalami peningkatan angka kemiskinan.
Resesi salah satunya terjadi oleh virus mematikan yaitu covid-19, dan yang paling utama tetap menjaga kesehatan. Resesi disebabkan oleh wabah, oleh karena itu solusi utama menghadapi resesi adalah mengakhiri wabah. Apabila wabah berakhir resesi pun akan usai.
Penulis: Siti Nurjanah, Mahasiswa Universitas Nusa Putra Jurusan Sistem Informasi.