Oleh : [email protected] / netizen
Pagi ini, Rabu 11 November 2020 saya dan abah baru saja selesai melakukan strerilisasi kamarnya kecilnya menggunakan cairan disinfektan. Lansia berusia 63 tahun yang kami (warga) sapa dengan panggilan Abah begitu semangat pagi ini.
Menggendong mesin penyemprot elektrik inventaris RT, ia langsung membasahi semua ruang tidur, kamar mandi sekaligus WC dan setiap sudut ruangan berukuran dua kali delapan meter tersebut, dengan cairan disinfektan. Tak cukup kamar, ia kemudian membanjur pagar dan halaman rumahnya dengan cairan yang diharapkan mampu membunuh semua virus termasuk corona.
Abah senang karena sejak Senin sebelumnya, datang surat dari Dinas Kesehatan Kota Sukabumi melalui UPT Puskesmas Sukabumi yang menyatakan bahwa ia sudah dinyatakan sehat. “Selama masa observasi tidak ditemukan gejala dan tanda infeksi coronavirus desease (Covid-19) dan selanjutnya pada saat ini dinyatakan sehat,” begitu bunyi surat “sakti” yang akan menjadi bekal abah menjalani hari-hari kedepan melawan stigma sebagai mantan pasien covid-19.
Kami (saya dan abahpun) langsung duduk di jembatan kecil depan rumahnya, menyerap sinar mentari yang pagi ini hangat. Bisa ditebak, obrolanpun langsung menyodok ke pengalaman abah selama lebih dari 14 hari isolasi mandiri di kamarnya karena terkonfirmasi positif covid-19.
Oh iya, Abah adalah pasien tanpa gejala sehingga dianggap cukup dengan mengisolasi diri selama 14 hari, tentunya dengan suplai vitamin yang diberikan oleh puskesmas. Untuk makan dan minum sehari-hari, abah disuplai oleh keluarganya yang tinggal disebelah kamarnya (ruang dan pintu terpisah).
“Pih (panggilan abah ke saya), mungkin banyak yang meninggal positif corona itu karena yang diserang mental dan pikirannya. Abah sendiri merasakan itu, susah tidur, selalu terpikir ini akhir hidup abah padahal ngan uhuk saetik (hanya batuk sedikit). Seacan corona ge abah batuk da ngarokok wae (sebelum corona juga abah batuk karena merokok terus),” ucap abah mengawali obrolan kami tentang virus corona pagi ini.
Setiap kali merasakan ada sesuatu didadanya, abah terpikir mungkin sudah datang saatnya. Kondisi tersebut cukup menganggu kesehatan mentalnya, padahal abah secara fisik sehat-sehat saja, tidak ada demam, sesak, hanya sesekali batuk itupun karena ia tidak menghentikan kebiasaan merokoknya selama isolasi mandiri (hehehe).
“Virus ini menyerang mental abah. Alhamdulilah Seluruh keluarga hasil swabna negatif kabayang mun positif, abah pasti drop merasa bersalah,” lanjut abah sambil mencoba menyulut rokok kreteknya ditengah obrolan itu.
Masalah mental yang dimaksud abah bertambah berat saat ia selalu terpikir bahwa orang-orang akan menjauhinya karena takut terpapar corona walaupun sudah dinyatakan sembuh oleh dinas kesehatan. Stigma covid-19 menjadi tantangan abah selanjutnya, “Abah mah rek sabar we, dah kumaha deui. Semoga rasa sieun na gancang leungit (abah mau sabar saja, mau gmana lagi. Semoga rasa takutnya cepat hilang),” tuturnya.
Abah yang sehari-hari adalah muazin di mushola RT dan menjadi sopir panggilan pribadi ini menyadari akan kehilangan job untuk beberapa waktu ke depan. “Mereun can aya nu wani pake abah keur nyopiran da pasti sieun. Ngadoa we rezeki mah moal kamana, (Mungkin belum ada yang berani minta abah untuk jadi sopir lagi karena takut. Berdoa saja rezeki tidak kemana,” pungkas abah mengakhir obrolan.
Satu lagi terakhir, abah ini memang sopir panggilan. Sebelum dinyatakan terpapar, ia sempat ke Jakarta mengantar tetangganya termasuk mengantar tetanggal lainnya ke Palabuhanratu untuk isolasi mandiri karena kerabat tetangganya ada terpapar corona. Semoga abah kuat dan terus sehat.
Penulis adalah satgas covid level RT di salah satu kelurahan di Kota Sukabumi
CATATAN REDAKSI: Untuk netizen yang ingin tulisannya ditayangkan sukabumiupdate.com, clik saja balewarga!