Oleh: Maliq | Penggerak Demokrasi Sehat
Indonesia adalah salah satu negara yang terdampak oleh virus Covid-19 saat ini. Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa akibat dari penyakit pandemik ini menyebabkan penyumbatan proses bekerjanya aspek-aspek nasional. Ranah pendidikan menjadi tidak stabil dalam pengimplementasiannya di setiap instansi pendidikan.
Regulasi terkait adaptasi kebiasaan baru (AKB) pun menjadi sendatan baru untuk menjalani kehidupan seperti biasanya. Sektor kesehatan atau medis dibuat kewalahan dikarenakan tuntutan kewajiban dan tanggungjawab dalam menangani virus ini. Kebutuhan pokok ekonomi yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat pun mengalami degradasi yang turun drastis sehingga menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dikarenakan perusahaan tersebut bangkrut. Kemudian, angka pengangguran di negeri ini semakin bertambah secara signifikan. Kemelaratan dimana-mana.
Kemudian, tak lama lagi kita akan memasuki perhelatan Pemilihan Kepala Daerah atau lebih akrab disebut Pilkada. Ditengah hingar-bingar pandemi ini, hegemoni kontestasi politik ini tidak seramai dahulu yang dimana calon kandidatnya melakukan kampanye secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik di lapangan. Selain itu, disaat seperti ini, sebagian kalangan masyarakat mengkhawatirkan ajang ini dikarenakan dapat berpotensi membuat klaster baru kasus positif Covid-19.
Sebetulnya, disaat wabah yang sedang menyerebak ini bisa berpotensi mengganggu efektivitas serta efisiensi pengimplementasian kontestasi perebutan kursi kekuasaan tersebut. Bagaimana tidak, sumber-sumber suara akan tereduksi dikarenakan kekhawatiran terhadap virus ini; salah satunya pilihan golput yang misalnya diambil masyarakat. Lantas, mengapa Pilkada ini tetap bersikeras dilaksanakan?
Pilkada ini sebenarnya akan digelar serentak pada bulan September 2020, namun akhirnya diputuskan untuk diundur menjadi pada bulan Desember 2020. Keputusan ini diambil berdasarkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR RI dengan pemerintah beserta Badan Penyelenggara Pemilu dan jajarannya.
Tak hanya itu, keputusan tersebut diperkuat oleh penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 oleh Presiden Jokowi yang memutuskan pemungutan suara Pilkada 2020 diundur ke bulan Desember 2020.
Akibat dari hal ini, banyak pihak yang menjadi pesimis bahwa Pilkada kali ini akan berhasil sukses. Pilkada kali ini pun disinyalir akan lebih menghasilkan kerugian daripada keuntungannya. Seperti yang saya katakan di atas sebelumnya bahwa keberlangsungan Pilkada ini nantinya dapat berpotensi menimbulkan klaster baru kasus positif Covid-19.
Terlepas dari itu semua, apabila Pilkada tetap diselenggarakan, maka akan terjadi kontradiksi dan inkonsistensi dengan perbandingan bahwa kegiatan peribadatan, pendidikan, ekonomi, dan aspek lainnya dibatasi atau ditutup untuk sementara.
Pemerintah seharusnya menyikapi kontestasi politik ini dengan melakukan hal yang sama seperti terhadap aspek nasional lainnya yang kini masih dalam regulasi yang sama untuk meminimalisir penyebaran kasus positif Covid-19.
Fenomena ini tentunya mendapat kecaman dari sebagian kalangan yang menilai bahwa jika pemerintah tetap kukuh melaksakan Pilkada tersebut, maka sama saja dengan memunculkan klaster baru yang dapat menjadi lonjakan tinggi kasus postif Covid-19 dikarenakan melibatkan partisipasi publik dan memancing kerumunan 260 juta lebih jiwa untuk menggunakan hak suaranya.
Jadi, pertanyaan sekaligus kesimpulannya adalah, apakah Pilkada kebal dari virus korona?