Oleh: Farid Gaban
Penerbitan Omnibus Law, atau UU Cipta Kerja, didasarkan pada asumsi-asumsi pembangunan yang keliru. UU tersebut mengasumsikan bahwa kita hanya bisa membangun negeri dengan mendatangkan investasi, yang pada gilirannya diharapkan menumbuhkan ekonomi dan memperluas lapangan kerja.
Jarang dipahami bahwa investasi tidak datang cuma-cuma. Dia menuntut pemerintah melonggarkan aturan, yakni melakukan deregulasi dan mendorong liberalisasi ekonomi. Itu akan melucuti peran negara dalam melindungi rakyat dan kelestarian alam.
Kita mengalami liberalisasi besar pada era-SBY, dan liberalisasi lebih agresif lagi pada era-Jokowi. Di era terakhir ini, Omnibus Law digoalkan dengan segala cara, seraya menutup mata terhadap potensi dampaknya bagi alam dan harmoni sosial.
Model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan telah dikritik sejak dasawarsa 1980-an. Model itu justru memicu ketimpangan, serta merusak alam yang pada gilirannya mempercepat proses pemiskinan warga yang kurang beruntung.
Tapi, adakah alternatif lain dari pembangunan yang merusak seperti itu? Bisakah kita membangun tanpa bertumpu pada investasi besar? Apakah mungkin membangun ekonomi tanpa merusak alam dan harmoni sosial?
Saya bisa mengatakan ada. Di bawah ini renungan saya tentang solusi dan alternatif dari konsep ekonomi ala Omnibus Law. Sebagian paparan di sini sudah saya tulis untuk Jurnal Prisma edisi Agustus lalu: Membumikan Pancasila lewat Ekonomi Biru, dan beberapa posting di facebook.
Ini juga jawaban saya untuk beberapa komentar yang mengatakan saya cuma bisa mengkritik tapi tidak menawarkan solusi.
Saya mulai dari paparan problem, lalu nanti diikuti solusinya.
KRISIS YANG TERTUNDA
Bahkan sebelum wabah corona merebak, sudah banyak analisis yang meramalkan dunia akan menghadapi krisis ekonomi-keuangan besar yang merupakan siklus 10-tahunan. Krisis sebelumnya terjadi pada 1988 (Black Monday), 1998 (Krisis Asia) dan 2008 (Krisis Mortgage).
Semua krisis itu memperluas pengangguran dan kemiskinan, yang pada gilirannya membawa dampak multi-dimensi: sosial, budaya, pangan, kesehatan dan keamanan.
Memang tidak terjadi krisis besar pada 2018. Namun sejumlah pengamat menyatakan krisis akan datang juga, meski terlambat, yakni pada tahun 2020-2021 ini.
Corona, yang kini datang tiba-tiba, tak hanya mempercepat realisasi krisis tadi, tapi juga memicu dampak yang jauh lebih luas dan mendalam. Keluasan dan kedalaman krisis ini bahkan belum sepenuhnya bisa kita takar.
Yang pasti, krisis kali ini lebih dahsyat dari Krisis 1998 dan Krisis 2008. IMF sendiri menyebut ancaman krisis ekonomi kali ini yang terburuk sejak “Great Depression" pada 1930-an, ketika dunia dilanda problem kronis pengangguran, kemiskinan dan kelaparan.
CORONA: TRAGEDI DAN BERKAH
Wabah Corona memaksa kita untuk tinggal di rumah dan mengurangi mobilitas. Juga memaksa kita lebih peduli pada hal-hal dasar dalam hidup, seperti cuci tangan demi kebersihan, tentang kesehatan dan ketercukupan pangan.
Corona bahkan memaksa orang merenungkan hal yang lebih mendasar tentang aspek hakiki dari agama, tentang spiritualitas; ketika orang justru dilarang pergi ke masjid atau gereja; ketika ibadah haji/umroh atau misa Paskah ditiadakan.
Di sisi lain, wabah corona sebaliknya membawa berkah bagi alam: berkurangnya polusi dan pencemaran, turunnya emisi karbon, pulihnya kembali lapisan ozon, serta kemunculan kembali satwa-satwa liar di sungai, kebun dan laut, ketika manusia mengurung diri dalam rumah.
Di samping membawa tragedi, setiap krisis memberi kita peluang untuk introspeksi dan koreksi. Makin besar krisis, makin mendasar koreksi yang harus dilakukan.
Sudah seharusnya, krisis kali ini juga memicu renungan jauh lebih mendalam tentang sistem ekonomi dan arah kebijakan pembangunan. Tidak hanya di tingkat daerah dan negara, tapi juga di tingkat global.
Kegagalan kita merumuskan arah pembangunan dan kebijakan baru, tak hanya akan memperparah risiko krisis di masa mendatang, tapi juga kemampuan dan daya tahan kita dalam menghadapi krisis dunia yang kian serius.
REAKSI JUMUD PEMERINTAH
Tapi, Pemerintahan Jokowi seperti belum akan berubah paradigma. Terobsesi pada pertumbuhan ekonomi dan investasi sejak periode pertama, Pemerintahan Jokowi cenderung menanggapi wabah corona dari pertimbangan ekonomi ketimbang perspektif kesehatan masyarakat.
Pada awal pandemi pemerintah menerbitkan “Pandemic Bond” dengan motif utama membiayai stimulus dunia usaha agar ekonomi cepat pulih dari perlambatan dan kemunduran (“Recovery Bond”). Istilah ini belakangan dikemas menjadi "Pemulihan Ekonomi Nasional", tapi prinsip dasarnya sama.
Jangan terkecoh oleh istilah teknis keuangan. Bond adalah obligasi atau surat utang. Kasarnya pemerintah berutang, lalu uangnya dibagi-bagikan kepada pengusaha lewat perbankan, yang totalnya diperkirakan mencapai lebih dari Rp 650 trilyun.
Stimulus ini lebih banyak diberikan kepada usaha besar, swasta maupun BUMN. Stimulus untuk usaka kecil-menengah hanya Rp 120 trilyun (kurang dari 20%), dan mungkin hanya puluhan trilyun yang secara riil sampai ke penerima manfaat.
Ini mengingatkan kita pada “Skandal Bail-out Bank Century” pada Krisis 2008 dan “Skandal BLBI” pada Krisis 1998. Pemerintah cenderung menyalamatkan yang besar, para pengusaha elit.
Menyusul Krisis 1998, atas saran IMF dan Bank Dunia, pemerintah menerbitkan obligasi rekap (sekali lagi utang). Utang dipakai untuk menyuntik bank-bank sakit, baik milik pemerintah maupun milik para konglomerat raksasa seperti Lippo, BCA dan Sinar Mas.
Obligasi rekap berjasa memulihkan ekonomi, tapi juga di sisi lain memicu ketimpangan. Pada akhir Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, indeks gini Indonesia mencapai nilai tertinggi, artinya ketimpangan ekonomi terburuk sepanjang sejarah negeri ini.
Alih-alih mengoreksi penguasaan ekonomi oleh segelintir orang di era Orde Baru, obligasi rekap justru memulihkan dan memperkuat konsentrasi kapital.
Obligasi rekap berjasa memulihkan ekonomi konglomerat. Mereka yang nyaris bangkrut pada awal reformasi, kini kembali menjadi raksasa yang makin digdaya dan makin menggurita.
RAKYAT MENSUBSIDI KONGLOMERAT
Audit BPK pada tahun 2000 menunjukkan 95?na obligasi rekap diselewengkan dari tujuan awal menyelamatkan bank. Hanya 5% yang dipakai secara tepat, sementara selebihnya dipakai untuk ekspansi bisnis para konglomerat serta gaji besar direksi dan komisaris bank-bank negara.
Ketika pemerintah berutang, siapa yang membayar? Siapa lagi kalau bukan publik atau warga negara, alias kita semua.
Total obligasi rekap yang diterbitkan pemerintah pada awal reformasi senilai Rp 430 triliun. Tapi, pemerintah harus membayar bunga sebesar Rp 600 triliun. Keseluruhan menjadi Rp 1.000 triliun lebih. Dan pemerintah masih harus membayar itu sampai sekarang, 20 tahun kemudian.
Obligasi rekap sering disebut “rekayasa keuangan” yang cuma ada di atas kertas. Tapi, dampaknya sangat nyata bagi masyarakat. Setiap tahun pemerintah harus menyisihkan ratusan triliun dari APBN untuk membayar utang itu, antara lain dengan menyunat subsidi rakyat dan anggaran sosial yang vital seperti kesehatan.
Buruknya sistem jaminan dan layanan kesehatan jelas memperlemah kapasitas negeri kita untuk menghadapi wabah seperti corona. Bahkan di masa normal, kita masih kedodoran menangani penyakit “tradisional” seperti TBC, malaria dan demam berdarah.
CERITA KOLOSAL PENGKHIANATAN
BLBI dan obligasi rekap adalah cerita tentang pesta-pora para elit di atas beban rakyat kebanyakan. Sebuah cerita kolosal mencederai rasa keadilan, yang terlalu busuk dan memalukan bahkan untuk dijadikan pelajaran di sekolah-sekolah ekonomi.
Ironisnya, kebijakan elitis itu bahkan diulangi, meski dalam skala jauh lebih kecil. Ketika terjadi lagi krisis pada 2008, uang rakyat dipakai untuk mensubsidi pemilik Bank Century.
Dan kebijakan ugal-ugalan itu sepertinya sedang diulangi lagi sekarang di tengah wabah corona, ketika pemerintah menerbitkan kebijakan “Pemulihan Ekonomi Nasional”.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, mengatakan penyaluran stimulus kali ini akan prudent, tepat sasaran dan sesuai aturan. Tapi, jika benar begitu, mengapa Presiden Jokowi harus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mendukung tanpa syarat kebijakan pemulihan ekonomi akibat corona?
Salah satu isi terpenting Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah membebaskan para pelaksana dan pembuat kebijakan dari kemungkinan tuntutan hukum.
Itu seperti memberi blanko kosong kepada penguasa untuk kemungkinan menyalahgunakan dalih “memulihkan ekonomi” demi kepentingan pribadi, kelompok maupun kepentingan para kroni.
DUA TEORI SARAT MITOS
Kebijakan stimulus ekonomi seperti itu tidak khas Indonesia. Menyusul krisis 2008, Pemerintah Amerika juga memakai dana publik untuk mensubsidi lembaga-lembaga keuangan, di samping membebaskan pajak perusahaan-perusahaan besar. Pada dasarnya menyelamatkan para konglomerat dan Wall Street.
Tidak hanya elitis, kebijakan itu juga sebenarnya mengkhianati konsep dasar kapitalisme sendiri yang tidak membenarkan negara campur-tangan dalam urusan swasta (privat).
Campur-tangan negara dijustifikasi lewat teori “too big to fail”, bahwa perusahaan swasta tertentu, khususnya perbankan, begitu besar dan saling terkait sedemikian rupa sehingga jika mereka ambruk akan menyeret runtuh ekonomi negara. Itu sebabnya, pemerintah harus membantu dan menyelamatkan mereka.
Kebijakan itu juga sering diperkuat oleh argumen teori “trickle-down effects”, jargon ekonomi sejak 1970-an, yang percaya bahwa jika kita membantu yang besar-besar, bantuan itu pada akhirnya akan menetes ke yang kecil-kecil, yang akhirnya menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
Beberapa kajian mutakhir mengungkapkan bahwa “trickle-down” cuma mitos ekonomi, sementara dampak negatifnya tak bisa diabaikan.
Dua teori itu bertanggungjawab atas munculnya anggapan semu bahwa kelangsungan hidup para konglomerat identik dengan kepentingan negara, yang pada kenyataannya cuma menjustifikasi kolusi antara politisi dan penguasaha kroni.
Kebijakan tadi juga jelas memicu moral hazard karena memanjakan para bankir serta pemilik bank. Di sisi lain kuat mencerminkan bias-keuangan seraya mengabaikan problem riil kemiskinan dan ketimpangan.
Di Amerika sepuluh tahun setelah bail-out, Presiden Barack Obama menyatakan bahwa negerinya menghadapi problem ketimpangan dan kemiskinan yang makin kronis, di tengah buruknya sistem kesehatan akibat komersialisasi industri asuransi, farmasi dan rumah sakit swasta.
Fakta bahwa kini Amerika menderita salah satu kematian terbanyak akibat wabah corona benar-benar membuktikan kekhawatiran Obama beberapa tahun lalu. Dibumbui oleh konflik politik, corona seperti tengah menghancurkan berkeping-keping “The American Dream” yang pernah menjadi sumber kecemburuan orang seisi planet.
NEOLIBERALISME: LIBERALISASI EKONOMI TANPA DEMOKRASI
Meski berakar pada Deklarasi Kemerdekaan dua setengah abad lalu, “The American Dream” mengalami promosi besar pada era Presiden Ronald Reagan (1981 hingga 1989) di bawah bendera baru neoliberalisme.
Cita-cita ideal demokrasi, kemakmuran, kebebasan dan persamaan hak di Amerika, setidaknya secara retoris, dikaitkan secara langsung dengan kebijakan liberal pasar bebas dan perdagangan bebas.
Bersama Margaret Thatcher dari Inggris, Reagan bahkan membawa neoliberalisme menjadi kebijakan global dan sekaligus senjata melawan komunisme (Blok Soviet) di era Perang Dingin.
Liberalisasi ekonomi dipromosikan senafas dan selaras dengan demokrasi (sebagai lawan dari otoritarianisme komunis). Padahal tidak. Reagan menempatkan liberalisasi ekonomi di atas kebebasan politik sebagai ukuran terpenting dari sukses sebuah kebijakan.
Tak heran jika Amerika dan Inggris tanpa malu-malu memuluskan liberalisasi ekonomi meski dengan cara mendukung diktator-diktator anti-komunis seperti Augusto Pinochet di Chile, Soeharto di Indonesia dan Ferdinand Marcos di Filipina.
“Neoliberalisme” menjadi istilah populer pada 1980-an untuk menjelaskan liberalisasi ekonomi Chile di bawah Jenderal Pinochet. Kita tahu, didukung Amerika, Pinochet melakukan kudeta militer terhadap Presiden Salvador Allende, yang berhaluan sosialis, pada 1973.
Tapi, Indonesia lah sebenarnya kelinci percobaan pertama “neoliberalisme”. Kisah naiknya Jenderal Soeharto setelah menyingkirkan Soekarno menjadi inspirasi bagi kudeta di Chile. “Operasi Jakarta” adalah nama sandi operasi kudeta terhadap Allende.
Setelah Soekarno tumbang, Orde Baru memulai liberalisasi ekonomi dengan antara lain membuka lebar investasi asing, khususnya dari Amerika dan Jepang.
Pada 1974, demonstrasi besar sempat marak menentang investasi asing. Namun perlawanan seperti itu surut bersama konsolidasi kekuasaan Soeharto, yang menguat antara lain berkat dukungan Reagan dan Thatcher.
Thatcher, yang berkunjung ke Indonesia pada 1985, mengklaim bahwa ekonomi pasar (kapitalisme) adalah satu-satunya sistem yang bisa diandalkan; tak perlu perdebatan lagi. Thatcher punya slogan terkenal: TINA ("there is no alternative"); tak ada alternatif di luar kapitalisme.
Tiga tahun kemudian, Pemerintahan Soeharto membuat langkah besar lain dalam bidang ekonomi, yakni menerbitkan Paket Oktober (1988), yang pada intinya melakukan liberalisasi sektor keuangan (kemudahan mendirikan bank). Jalan neoliberalisme makin lempang.
PANDANGAN HEGEMONIK YANG MEMBELENGGU
Tapi sukses penyebaran neoliberalisme baik di Indonesia maupun belahan lain dunia, tak lepas dari peran penting dua lembaga keuangan dunia: Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
Dengan kekuatan kapital sangat besar, World Bank dan IMF mendiktekan neoliberalisme ke seluruh dunia.
Mereka menerapkan syarat ketat kepada negara-negara penerima bantuan. Syarat itu meliputi kebijakan privatisasi dan deregulasi; kepatuhan kepada skema perdagangan bebas dunia; serta mengurangi subsidi dan porsi anggaran negara untuk publik demi meningkatkan peran sektor swasta.
Resep liberalisasi itu sering disebut pula sebagai Washington Consensus, tak lain karena merupakan kesepakatan antara World Bank, IMF dan Pemerintah Amerika Serikat yang semuanya bermarkas di Washington DC.
Berkat mereka, pandangan Reagan-Thatcher menjadi wacana dominan tak hanya di sekolah-sekolah ekonomi tapi juga dalam kebijakan publik seluruh dunia, hingga bertahun-tahun kemudian, setelah keduanya meninggal.
Di Indonesia, bahkan sentimen anti-IMF yang marak pada era Presiden Megawati Soekarnoputri tidak mampu menginspirasi arah baru kebijakan ekonomi. Jalan lempang neoliberal terus bertahan, bahkan cenderung menguat, pada era-SBY. Dan justru makin agresif pada era-Jokowi.
Pada periode pertamanya, Pemerintahan Jokowi telah menerbitkan 16 paket degulasi yang secara umum mengarah pada liberalisasi ekonomi.
Tak puas dengan itu, pada periode kedua Presiden Jokowi mendesakkan liberalisasi lebih jauh dengan menerbitkan Omnibus Law. Omnibus menyederhanakan 70 lebih undang-undang menjadi satu undang-undang payung yang tidak ada dasarnya dalam konstitusi kita (inkonstitusional).
Pembahasan dan pengesahan Omnibus Law di tengah wabah corona sekarang ini menunjukkan betapa Pemerintahan ini benar-benar terobsesi pada liberalisasi ekonomi. Pemerintah mengabaikan fakta bahwa mantra neoliberalisme ala Washington Consensus telah banyak dikritik sejak 1990-an.
MENELANJANGI BOROK
Wabah corona menelanjangi borok-borok neoliberalisme di atas, sekaligus menunjukkan kelemahan sosial mendasar kita menghadapi krisis. Di satu sisi memperlemah kapasitas negara dalam melindungi warganya; di sisi lain lunturnya solidaritas sosial akibat individualisme, baik di kota maupun desa.
“Pandemi itu seperti portal atau gerbang, yang membatasi satu dunia lama dengan dunia baru,” kata Arundhati Roy.
Di tengah wabah, yang membuat hidup kita tak normal, sebagian besar kita cenderung merindukan kenormalan segera pulih kembali. Tapi, normalisasi adalah istilah problematik. Merindukan suasana normal seperti masa lalu justru sangat mungkin menjadi reaksi terburuk kita dalam menghadapi corona.
Kita harus keluar dari kenormalan masa lalu dan mulai meretas jalan menuju dunia baru untuk mengoreksi yang lama. Kita perlu mempertanyakan filosofi, prinsip-prinsip dan ukuran-ukuran lama.
Apa sih yang disebut kemajuan? Apa tujuan hakiki dari pembangunan? Layakkah kita mengejar pertumbuhan ekonomi, apalagi jika hasilnya adalah konsumerisme, perluasan ketamakan yang pada gilirannya merusak alam tempat kita hidup?
MERETAS JALAN BARU
Suara-suara untuk mengoreksi cara dan pendekatan lama dalam pembangunan kian lantang, baik sebelum maupun setelah corona.
April lalu 170 lebih akademisi Negeri Belanda mengusung usulan strategis pembangunan pasca-Corona, yang pada intinya merupakan koreksi terhadap pendekatan neoliberal. Judul usulan mereka: “Manifesto for post-neoliberal development.”
Di luar itu, dalam satu dasawarsa terakhir juga berkembang pemikiran baru dalam bidang ekonomi, yakni “blue economy” yang dirumuskan oleh Gunter Pauli, ekonom Belgia. Bertumpu pada alam dan menghormati alam, ekonomi biru menjadi koreksi mendasar terhadap neoliberalisme.
Meski dirumuskan secara baru, konsep ekonomi biru sebenarnya telah banyak dipraktekkan oleh kakek-nenek kita dan masyarakat tradisional khususnya di pedesaan. Inilah ekonomi yang ramah alam (menghormati planet kita yang berwarna biru) dan mendorong semangat kooperasi (kerjasama) antar manusia.
Ekonomi biru banyak diilhami oleh pemikiran EF Schumacher, penulis buku “Small is Beautiful” yang terbit pada 1970-an; pandangan Mahatma Gandhi dan Bung Karno tentang swadesi (kemandirian); serta pemikiran Bung Hatta tentang koperasi.
Bersama The Club of Rome, Schumacher mengkritik pendekatan pertumbuhan ekonomi, yang memicu dehumanisasi dan merusak alam.
Dalam beberapa tahun terakhir juga berkembang pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan. Pada kenyataannya, Indonesia sendiri ikut menandatangani deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 tentang Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals).
Deklarasi itu mencakup 17 sasaran. Tapi bisa disarikan menjadi tiga sasaran utama, yakni ekonomi, sosial, lingkungan, yang harus dicapai secara seimbang. Manifestasi kongkritnya: mengelola modal alam (natural capital) dengan lebih baik; membangun manusia (invest in people); memperkuat sektor ekonomi ramah alam.
MERUMUSKAN HALUAN BARU PEMBANGUNAN
Saya mencoba merumuskan haluan baru pembangunan dengan menggabungkan sejumlah pikiran di atas.
1. DARI GDP KE HUMAN DEVELOPMENT INDEX
Belakangan banyak orang memperkenalkan ukuran baru untuk menilai sukses pembangunan: yakni indeks kebahagiaan atau mutu hidup manusia, yang lebih penting dari sekadar statistik ekonomi-makro.
Kita perlu mendesakkan agar Human Development Index (HDI) menjadi tolok ukur utama dalam menakar sukses pembangunan. HDI dikeluarkan United Nations Development Program (UNDP), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejak 1980-an.
HDI tak cuma memasukkan komponen GDP per capita saja. HDI memasukkan pula berbagai komponen sosial: akses terhadap air barsih, angka harapan hidup, indikator pendidikan dan kesehatan, diskriminasi gender. Dengan kata lain, HDI memotret secara lebih komprehensif dan holistik terhadap kinerja pembangunan, dengan manusia sebagai sentralnya.
Gagasan di balik indeks ini adalah menekankan bahwa “mutu manusia” lah yang seharusnya menjadi kriteria utama untuk menilai kinerja pembangunan tiap negara.
Setiap tahun UNDP mengeluarkan laporan tentang perkembangan dan peringkat HDI tiap negara di dunia. Laporan paling mutakhir diterbitkan Desember lalu, dan terlihat kondisi pembangunan manusia kita tak terlalu menggembirakan. Sejak masa Orde Baru hingga kini peringkat kita tak pernah masuk 100 besar, bahkan jauh di bawah Srilanka dan “negara gagal” Venezuela.
2. MENDORONG INDUSTRI RAMAH LINGKUNGAN.
Kita perlu meninggalkan pembangunan yang berfokus pada agregat pertumbuhan (GDP). Kita harus membuat pembedaan antar sektor, lalu memilih mendorong pertumbuhan sektor-sektor publik yang penting: energi terbarukan, pendidikan, kesehatan, ekologi.
Sebaliknya, kita harus menghentikan secara radikal tumbuhnya sektor-sektor yang tidak berkelanjutan, sektor-sektor yang cenderung mendorong konsumsi berlebihan (periklanan misalnya) atau berbahaya bagi ekologi seperti pertambangan batubara dan perkebunan sawit monokultur.
Salah satu kelemahan kita selama ini adalah melihat sumber daya alam terbatas hanya pada minyak-gas dan tambang (emas, nikel, batubara dan pasir), yang alih-alih mensejahterakan justru menimbulkan banyak konflik.
Bahkan hutan hanya kita lihat kayunya, untuk dieksploitasi dengan cara menggundulinya, seperti yang sudah terjadi di Sumatra dan Kalimantan.
Potensi alam kita di luar sektor pertambangan masih sangat luas. Indonesia adalah salah satu megadiversity dunia; negeri dengan keragaman hayati terbesar. Jika Amerika itu superpower politik/militer, Indonesia adalah superpower keragaman hayati.
Beberapa tahun lalu, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia menerbitkan buku kecil "Sains untuk Biodiversitas Indonesia". Intinya bagaimana membangun kesejahteraan bangsa lewat keragaman hayati. Perluasan lapangan kerja justru lebih terjamin jika kita melestarikan alam dan keragaman hayati.
Hutan kita dihuni oleh ribuan jenis tanaman dan satwa; yang sebagian merupakan sumber ekonomi secara langsung (dalam bentuk pangan).
Hutan dan kebun tak cuma berisi kayu dan tanaman besar. Ada jamur, ganggang dan lumut; yang sebagian merupakan sumber protein potensial. Hutan dan kebun tak hanya berisi satwa besar. Tapi juga serangga dan mikroba. Mereka membantu penyebaran tanaman dan menyuburkan tanah.
Bakteri tak hanya penting dalam industri pengolahan pangan (fermentasi). Riset-riset mikrobiologi mutakhir menunjukkan bahwa bakteri punya peran besar dalam industri hi-tech: mengolah limbah logam berat maupun membentuk biomaterial yang penting.
Hutan dan kebun/taman, di luar itu semua, memiliki peran ekologis yang tak ternilai: sumber air dan udara bersih; pengendali banjir serta longsor; dan sumber energi terbarukan (hidro, biogas, biomassa).
Nikel penting dalam industri baterai mobil listrik. Tapi, kita bahkan punya sumber yang melimpah dari apa yang selama ini kita pandang limbah. Riset mutakhir menunjukkan limbah sekam padi dan tempurung kelapa bisa diolah menjadi graphene, bahan yang penting dalam bidang elektronika, semikonduktor, serta dalam pembuatan baterai listrik yang sangat ringan, cepat diisi kembali, dan bertahan lama.
Dan itu baru hutan. Kita belum bicara laut kita yang luasnya dua per tiga negeri. Intinya, ada banyak potensi bisnis yang ramah alam: yang dengan melestarikannya justru membuat kita makin sejahtera.
3. DEMOKRATISASI EKONOMI DAN PEMERATAAN
Kita perlu memindahkan fokus kebijakan dari pertumbuhan ke pemerataan dan redistribusi.
Kita perlu memperkenalkan dan menerapkan “universal basic income” yang pada intinya: negara memberi tiap warga negara gaji dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar (pangan, kesehatan).
Di sisi lain, menerapkan kebijakan pajak progresif yang lebih agresif terhadap penghasilan, keuntungan dan kekayaan.
Kita perlu mendorong pengurangan jam dan beban kerja seraya memperhatikan pelayanan publik kepada para buruh; memperhatikan kesehatan dan pendidikan mereka untuk mendukung nilai intrinsik mereka sebagai manusia, bukan hanya sekadar alat produksi.
Kita perlu mendorong demokratisasi ekonomi. Dalam kaitan ini kita perlu mengoreksi dan merevitalisasi koperasi yang genuine. Bukan seperti koperasi sekarang, yang palsu. Tapi, yang benar-benar menumbuhkan semangat kolektif dan gotong royong, sebuah keharusan pada musim wabah sekarang ini.
Alam mengajari kita untuk berbagi risiko; semua hal terhubung dan tumbuh menuju simbiosis. Ekonomi ramah alam mendorong kerjasama dan kolaborasi; bukan persaingan. Inovasi dan efisiensi menuntut kerjasama banyak pihak.
Koperasi tak hanya tentang pengembangan ekonomi, tapi juga penguatan sosial-budaya, serta kepedulian pada lingkungan, untuk maju bersama.
Pembangunan tidak dimulai dari benda-benda, tapi dari pendidikan manusia seutuhnya. Kunci pembangunan datang dari pikiran dan kearifan manusia.
4. PERTANIAN BERKELANJUTAN DAN PERTANIAN KELUARGA
Kita perlu mendorong tansformasi menuju pertanian-perikanan berkelanjutan yang peduli pada kelestarian alam dan keragaman hayati. Kita perlu memperkuat produksi pangan yang bersifat lokal, serta sistem yang adil dan memakmurkan petani serta nelayan.
Pertanian yang sehat dan makmur akan memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan negeri kita.
Untuk memperkuat pendapatan, petani harus dibina tak hanya dalam budidaya (on-farm) tapi juga dalam industri pengolahan pangan, kosmetik dan obat yang semuanya meningkat kebutuhannya bersama meningkatnya jumlah penduduk bumi.
Kita perlu mengembangkan agro-industri pedesaan lewat pemberdayaan (pendidikan) petani dan pemanfaatan sains dan teknologi tepat guna, yang terjangkau dan ramah lingkungan.
Mengikuti Schumacher, kita harus menolak praktek "produksi massal" (mass production) skala besar yang seragam. Sebaliknya mendukung "produksi oleh rakyat" (production by mass) yang menghormati keragaman.
Artinya memberdayakan petani/nelayan kecil (family farming), bukan membangun pertanian skala besar seperti Merauke Food Estate yang padat modal, padat pupuk kimia dan cenderung pada monokultur yang mengabaikan keragaman hayati.
5. GAYAHIDUP SEDERHANA, RENDAH JEJAK KARBON
Kita perlu mempromosikan gayahidup yang lebih sederhana, mengurangi drastis konsumsi dan lawatan. Kita perlu berpindah dari gayahidup bermewah-mewah dan mubazir menuju gayahidup simple dan esensial yang berorientasi pada kebutuhan publik dan mengutamakan prinsip berkelanjutan.
Pada intinya, kembali merenenungkan tujuan pembangunan. Tujuan membangun peradaban, menurut Schumacher seraya mengambil ajaran Buddhisme, adalah memurnikan watak manusia, menghormati alam dan menghargai solidaritas sosial. Bukan memperbanyak keinginan lahiriah (multiplication of wants) yang mendorong konsumerisme dan ketamakan.
Mengutip Mahatma Gandhi, yang pikirannya banyak dipinjam oleh Schumacher: “Dunia ini cukup bagi seluruh umat manusia. Tapi tidak untuk ketamakannya.”
Perlahan tapi pasti, ada konsensus yang makin kuat bahwa gayahidup sederhana rendah-emisi-karbon (artinya ramah alam) jauh lebih disarankan serta dipujikan sebagai progresif. Sementara emisi-karbon tinggi menjadi simbol gaya hidup primitif.
6. MENGURANGI UTANG, MEMUPUK KEMANDIRIAN
Utang dan investasi mungkin kita butuhkan. Tapi, kita harus melepaskan ketergantungan padanya, melepas pandangan bahwa tanpanya kita tak bisa membangun.
Obsesi pada utang dan investasi tak hanya memicu ketergantungan, tapi juga melucuti peran negara dalam melindungi warga negara dan kelestarian alam. Untuk itu, kita harus mendorong pembatalan seluruh utang lama terutama di kalangan buruh dan pemilik usaha kecil.
Kita juga harus mencegah penciptaan utang baru dan menuntut penghapusan utang negara-negara berkembang kepada negara kaya maupun lembaga keuangan internasional.
Kita perlu percaya diri, dengan kreativitas dan imajinasi yang kita punya, kita bisa membangun dari apa yang kita punya di depan mata, salah satunya lestarinya alam dan keragaman hayati yang selama ini kita sia-siakan.