Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara
Anggota DPR RI/Ketua Fraksi PPP
Di tengah hiruk pikuk pandemi Covid-19, ada dua pimpinan negara besar -- Amerika Serikat (AS) dan Brazil. -- yang tingkah lakunya aneh bin ajaib. Dr. César Chelala, konsultan kesehatan global dan kolumnis portal The Globalist (New York), menyajikan uraian yang menggelitik tentang kedua pimpinan negara besar ini -- Presiden AS Donald Trump dan Presiden Brazil Jair Bolsonaro. Tulis Chelala di laman The Globalist, kedua presiden negara besar ini adalah kembar dizygotic.
Kita tahu, dalam dunia kedokteran, terdapat dua macam bayi kembar. Pertama, kembar monozigotik atau kembar identik. Kembar identik ini berasal dari pembelahan "satu sel telur (ovum) yang telah dibuahi sperma". Karenanya, kembar monozigotik mempunyai informasi genetik yang persis sama -- jenis kelaminnya sama, wajahnya sama, karakternya sama, golongan darahnya sama. Sulit membedakan mana kakak (yang lahir duluan), mana adik.
Ini berbeda dengan kembar non-identik. Kembar ini disebut pula kembar dizigotik atau kembar fraternal. Kembar dizigotik berasal dari dua sel telur yang dibuahi oleh dua sel sperma dari pasangan sama. Kembar fraternal ini, di rahim ibu berada dalam dua kantung ketuban dan dua plasenta yang berbeda. Meski keduanya lahir dalam waktu yang sama seperti halnya kembar identik, tapi kedua bayi ini tidak identik. Wajahnya tidak sama, karakternya tidak sama, dan golongan darahnya pun tidak sama. Bahkan, kadang, jenis kelaminnya tidak sama. Dari 100 kelahiran kembar freternal, sekitar 50% jenis kelaminnya berbeda.
"Saya punya alasan kuat untuk percaya bahwa Jair Bolsonaro dan Donald Trump adalah saudara kembar fraternal," sindir Chelala. Meskipun banyak orang mempertanyakan asumsi tersebut, saya tidak dapat menemukan penjelasan lain yang masuk akal: Mengapa Bolsonaro begitu dekat dengan Trump? Padahal tindakan Trump sering merugikan bangsanya dan publik dunia. Orang menyatakan Bolsonaro adalah penjilat pantat Trump, apa pun yang dilakukannya.
Kembar Trump dan Bolsonaro, termanifestasi pada bagaimana kedua pemimpin itu menanggapi pandemi virus corona. Keduanya, tidak menunjukkan kepekaan dan kepedulian terhadap pandemi Covid-19 yang mengguncang dunia itu. Trump dan Bolsonaro misalnya, bertemu dengan konstituennya tanpa memakai masker dan tidak menjaga jarak (social distancing). Sama sekali tak masuk dalam pikirannya, di antara kerumunan ribuan para pendukungnya itu, besar kemungkinan ada orang tanpa gejala (OTG). Yaitu orang yang secara fisik kelihatan sehat, tapi bisa menularkan virus. Kenapa? Karena -- meski positif virus, ia punya daya tahan tubuh yang hebat. Dampaknya, ia menjadi OTG. Dan ia menjadi agen penular yang efektif. Lebih dari 50% kasus positif di Itali dan Inggris, misalnya, tertular OTG ini. Kini dunia mencatat, kasus positif di AS dan Brazil, juga kematian akibat Covid-19, adalah yang terbesar di dunia.
Obat yang Membunuh
Dengan mengabaikan apa yang dikatakan para ahli medis, baik Trump maupun Bolsonaro telah mempromosikan penggunaan hydroxychloroquine (HCQ) untuk mencegah atau mengobati COVID 19. Bolsonaro merekomendasikan penggunaan obat itu kepada para pendukungnya. Ia mengaku menyimpan sebuah kotak berisi HCQ untuk ibunya yang berusia 93 tahun. Jika ibunya positif, Bolsonaro sudah menyiapkan obatnya.
Juga Trump. Tanpa bukti ilmiah apa pun, ia bangga telah menggunakan obat HCQ untuk mencegah infeksi corona. Padahal para ahli medis menyatakan HCQ sangat berbahaya. Pemakaian jangkan panjang bisa menimbulan kematian.
Pada akhir Mei 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menangguhkan uji coba internasional HCQ. WHO khawatir "uji coba itu" itu memicu risiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang "tidak diuji coba."
Yang lebih mengerikan, Trump menyarankan rakyat AS untuk minum atau suntik disinfektan guna mencegah penularan covid sekaligus menyembuhkannya. Saran gila ini, ternyata diikuti sebagian warga Amerika. Sejumlah warga New York menghubungi otoritas kesehatan kota karena kekhawatiran mereka setelah minum cairan pemutih dan pembersih rumah itu. New York's Daily News, mencatat 30 orang di kota New York mengikuti saran Trump. Mereka pun keracunan. Beruntung tak ada satu pun dari mereka yang meninggal dunia, meski rawat inap.
Pandemi virus korona, seperti beberapa peristiwa lain di seluruh dunia, telah menunjukkan mana pemimpin yang baik dan mana pemimpin yang buruk. Mana manusia yang baik, mana manusia yang buruk. Manusia yang baik ditunjukkan para tenaga kesehatan dan medis yang secara heroik mempertaruhkan nyawa mereka sendiri untuk menyelamatkan orang lain. Mereka telah menyelamatkan jutaan orang dari kematian akibat infeksi mematikan itu. Bahkan tak sedikit yang meregang nyawa demi keselamatan publik. Ironisnya, kepahlawanan tenaga kesehatan dan medis itu, tak dilakukan para pemimpinnya. Trump dan Bolso, dengan sikap angkuh dan abainya terhadap pandemi Covid-19 telah membahayakan jutaan warga.
Pemerintahan Trump, misalnya, telah menutup perbatasan AS-Meksiko untuk menghentikan imigran Amerika Latin masuk ke negeri Paman Sam. Di pihak lain, Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) AS terus mendeportasi ribuan imigran yang ditahan di pusat-pusat penampungan. Banyak di antara imigran yang dipulangkan ke negara asalnya itu terinfeksi virus. Trump tak peduli. Menteri Kesehatan Guatemala, Hugo Monroy, berkata, "Amerika Serikat telah menjadi Wuhan di Banua Amerika." Amnesty International USA telah meminta Departemen Keamanan Dalam Negeri AS untuk memberlakukan moratorium deportasi tadi.
Corona di luar kendali
Baik di Brasil maupun di Amerika Serikat, jumlah orang yang terinfeksi terus meningkat dengan cepat. Sᾶo Paulo, kota terbesar di Belahan Barat, telah menjadi pusat pandemi. Rumah sakit pun kewalahan melayani pasen covid. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di London's Imperial College, Brasil saat ini memiliki kasus positif dan kematian terbanyak di Amerika Latin. Brazil juga merupakan negara dengan tingkat penularan tertinggi di dunia. Yang memilukan, infeksi ini telah menyebar ke masyarakat adat yang tinggal di daerah-daerah terpencil di hutan hujan Amazon. Wilayah pinggiran Rio de Janeiro tersebut rumah bagi 13 juta orang suku asli Brazil. Kini mereka terancam infeksi corona yang mematikan.
Seluruh Brazil saat ini terancam pandemi corona. Tapi jurnal kesehatan Lancet menulis, "Ancaman Brazil menghadapi corona sesungguhnya datang dari Presiden Jair Bolsonaro sendiri." Hal yang sama terjadi di Amerika. Kendala terbesar Washington menghadapi pandemi, justru datang dari Presiden Donald Trump.
“Kepribadian Bolsonaro sangat tidak cocok dengan pandemi. Dia tidak bisa mempersatukan negara, karena seluruh modus operandinya berdasarkan logika yang salah dan menyesatkan," kata Gustavo Ribeiro, pendiri The Brazilian Report, sebuah situs politik di Brazil. Ungkapan yang sama dapat diterapkan untuk Donald Trump -- presiden yang telah menghasut rakyatnya untuk melawan lock down di beberapa negara bagian.
Seorang pemimpin sejati akan menawarkan empati dan berusaha untuk membantu menyelamatkan bangsa dari kondisi sulit yang menimpanya. Tapi apa yang dilakukan Trump da Bolso, sebaliknya. Keduanya memecah belah negaranya; abai terhadap pandemi yang telah merenggut nyawa jutaan warganya; dan masa bodoh terhadap peringatan dunia akan masa depan negaranya.
Dan berita terakhir, kini Trump terinfeksi corona. Bolsonaro, jauh sebelumnya sudah terinfeksi. Apakah dua kembar ini akan menyadari kesalahannya?
Bolsonaro terbukti tetap tak peduli bahaya corona. Trump, kita lihat nanti. Bagaimana reaksinya setelah terinfeksi.