Oleh: Yos Rizal Suriaji
(Mantan Wartawan Republika dan Tempo)
Selamat jalan Abah Alwi Shahab, wartawan tiga zaman, yang telah mengajari saya untuk menulis dengan mata, bukan dengan mulut. Lewat tulisan-tulisannya yang dimuat secara tetap di halaman Jabotabek harian Republika--teman saya Krisman Purwoko, redaktur Jabotabek, yang memuat pertama kali tulisan sejarah Betawi Abah bahkan memberi ruang menulis sebebas-bebasnya--ia menunjukkan betapa deskripsi jauh lebih memberi nyawa sebuah tulisan daripada omongan orang. Tulisan-tulisannya selalu "basah"--istilah untuk "kaya"-- dengan deskripsi terhadap apa yang ia lihat di lapangan. Sangat sedikit ia mengutip nara sumber.
Saya pernah menanyakan soal itu, kenapa Abah melewatkan peluang memperpadat tulisannya dengan menambah nara sumber tulisan. Abah menjawab, ia telah menemui banyak orang, tapi karena bukan nara sumber penting yang benar-benar tahu sejarah sebuah tempat, ia mengabaikannya. "Saya lebih suka menulis dengan mata, semacam laporan pandangan mata," kata Abah.
Ya, Abah adalah wartawan senior yang khatam betul bagaimana sebuah laporan jurnalistik mesti disajikan. Dengan hanya memuat sumber relevan, ia memperkayanya dengan deskripsi dan membandingkan dengan apa yang ia lihat dulu di tahun 60-70an serta dari buku-buku sejarah. Demi "memanjakan mata", ia tak sungkan berjalan kaki ke pelosok-pelosok sebuah tempat, selama berjam-jam.
Abah memang seorang pejalan kaki. Dari rumahnya di Depok waktu itu ke kantor di Buncit Raya Jakarta Selatan, ia kerap berjalan kaki. Pernah pula ia berjalan kaki dari kantor ke kawasan Monas hanya untuk melengkapi tulisannya. Buku-bukunya tentang sejarah Betawi lahir dari "perjalanan mata dan kakinya" itu. Ada "Robinhood Betawi", "Betawi Queen of the East", "Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia", "Batavia Kota Banjir" dan seabrek buku lainnya. Abah adalah sejarawan Betawi sesungguhnya.
Sejarah yang ia catat sebenarnya tak hanya tentang kota. Peristiwa-peristiwa politik juga ia rekam. Ia pernah bercerita, saat menjadi wartawan muda di Kantor Berita Antara, ia menjadi saksi pertemuan Soeharto dan Jenderal Sumitro persis di hari-hari meledaknya Peristiwa Malari. Ia bercerita diajak Pangkokamtib Jenderal Sumitro untuk menemui Soeharto di Istana. Di ruang itu hanya ada Soeharto, Sumitro dan Abah. Di situ Sumitro melaporkan situasi yang sebenarnya terjadi. Soeharto, kata Abah, saat itu diam saja. Tak berapa lama setelah itu Sumitro, di sejarah yang kita baca, mengundurkan diri.
"Ayo Bah, tulis," saya memohon. Tapi Abah menggeleng.
"Biarkan itu menjadi cerita saya," kata Abah. Saya tak tahu alasan beliau tak hendak menuliskan cerita yang amat penting itu. Ia hanya terdiam dan seperti menerawang ke masa lalu. (Tolong teman lain yang pernah mendengar cerita ini bisa menambahkan).
Selamat jalan Abah. Di hari wafatmu pada usia 84 tahun hari ini, izinkan saya yang hanya mengenalmu secara dekat dalam rentang waktu yang pendek, kembali mengenang keteladananmu. Terima kasih Bah. Selamat jalan wahai jiwa yang tenang....