Oleh: Syaefudin Simon
(Wartawan/Kolumnis)
Dunia pesantren bersorak! Pasalnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan RUU Pesantren, Selasa (24/9/2019) lalu. Bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), RUU ini amat sangat penting. Karena dengan adanya RUU ini, nantinya pemerintah mau tidak mau harus menyediakan dana APBN untuk membina dan mengembangkan pondok pesantren.
Dr. Hj Reni Marlinawati, anggota DPR RI (2014-2019) – saya biasa memanggilnya Teh Reni – wajahnya berbinar ketika menceritakan golnya RUU Pesantren tersebut. Maklumlah, Teh Reni adalah salah seorang inisiator terdepan dan pengawal paling gigih RUU Pesantren agar diterima pemerintah, untuk selanjutnya disahkan menjadi UU.
Reni Marlinawati, wafat dalam usia 47 tahun di Jakarta, terakhir duduk sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI. Sebelumnya adalah Ketua Fraksi PPP sekaligus Ketua Poksi Pendidikan di Komisi X DPR RI. Saya sebagai Tenaga Ahli Fraksi PPP saat itu, sering diskusi dengan Teh Reni, tentang perkembangan RUU Pesantren yang dikawalnya.
“Pak Simon jangan sampai RUU Pesantren mogok di tengah jalan seperti RUU Minol (Minuman Keras dan Alkohol). RUU Minol sangat kuat mafia yang menolaknya, sehingga partai-partai Islam yang mendukungnya di Senayan terkalahkan. Padahal Minol adalah biang keladi kerusakan generasi muda di Indonesia,” ujar aktivis HMI yang sangat peduli dunia pendidikan ini. Meski tak lagi berada di Senayan, sejak Oktober 2019, kepedulian Teh Reni terhadap dunia pendidikan dan generasi muda bangsa tidak pernah surut.
“Darah daging saya ini di dunia pendidikan,” ungkap Reni saat saya berkunjung ke rumahnya di Jakarta. Disertasi saya, ujarnya, mengulas dan mengkritisi tentang kebijakan nasional sejak zaman Orde Baru sampai Orde Reformasi.
“Saya menemukan betapa amburadulnya dunia pendidikan tanah air,” keluhnya. Itulah sebabnya, tambah Reni, saya selalu minta duduk di Komisi X. Tidak mau dipindah ke komisi lain. Saya ingin membereskan dunia pendidikan melalui Senayan,” ungkapnya serius.
Di DPR, lazimnya, anggota DPR sering dipindah-pindah dari komisi satu ke komisi lainnya. Partai yang mengaturnya. Sering terjadi posisi anggota DPR di komisi sangat jauh dari minat dan latar belakang pendidikan anggota Dewan. Teman saya, salah seorang anggota DPR dari partai politik berbasis Islam -- alumnus pesantren -- pernah jadi anggota Komisi VII yang membidangi migas dan lingkungan hidup. Kebayang kan amburadulnya pembagian komisi tersebut.
Di situlah hebatnya Reni. Dia tidak mau dipindah ke lain komisi, selain Komisi X yang membidangi pendidikan. “Minat dan ilmu saya ada di bidang pendidikan. Jadi saya tetap di dunia pendidikan,” ujarnya. Partai pun mendukung Reni. Itulah sebabnya Reni sering mendapat penghargaan sebagai anggota DPR yang punya dedikasi tinggi dan mampu berdebat secara intelektual dengan pemerintah tentang pendidikan. Di tahun 2018, misalnya, Reni mendapat penghargaan “The Best Achiever in Legislators” – sebagai pengakuan atas prestasi kerjanya.
Di buku karya Reni Marlinawati, berjudul “Menguak Pendidikan yang Terkepung” – Menteri Pendidikan Nasional (2014-2019) Prof. Dr. Muhadjir Effendy berkomentar, “Buku Dr. Reni Marlinawati ini mencerminkan kegelisahan yang terjadi dalam diri penulisnya akan dunia pendidikan.” Komentar yang hampir sama terhadap buku tersebut, juga diungkapkan Ketua PGRI Seluruh Indonesia, Prof. Dr. Unifah Rasyidi. “Dr. Reni adalah politisi yang begitu intens menggeluti dan menyintai dunia pendidikan. Dari Senayan, dengan suara keras, Ia letupkan berbagai fakta dan data. Ia tidak segan mengkritisi para pengambil kebijakan agar berpihak pada kepentingan masyarakat,” tulis Prof Unifah. Benar, Reni adalah anggota DPR yang sangat peduli dan obsesif ingin membenahi dunia pendidikan Indonesia yang, katanya, masih jauh dari sempurna itu.
Wanita cantik dan tegas kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi ini adalah contoh ideal anggota DPR. Doktor bidang pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (sebelumnya Fakultas Tarbiyah UIN Bandung) ini selalu hadir dalam rapat-rapat Komisi X; rajin ke daerah untuk mendengarkan suara rakyat; rajin menulis artikel tentang pendidikan di medsos, media online, dan media cetak; kritis terhadap kebijakan pemerintah, terutama yang menyangkut pendidikan; dan akif diskusi serta minta masukan dari pakar-pakar pendidikan. Reni mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk semua hal yang menjadi tugasnya di Komisi X, terutama bidang pendidikan.
Menurut ibu empat anak istri Bendahara KAHMI Moehammad Amin ini, pendidikan berkualitas belum menyentuh rakyat kecil di pedesaan. Pemerintah tampaknya sulit menjangkaunya. Tak usah jauh-jauh di pedalaman Papua, di kampung-kampung terpencil Jawa Barat, seperti pedesaan di Kabupaten Sukabumi, banyak sekali sekolah yang terlantar. Bangunannya rusak, guru negerinya cuma satu orang untuk satu sekolah, fasilitas ajar mengajar nyaris tak ada. Menyedihkan! Itulah sebabnya, Reni mencari jalan lain yang paling memungkinkan untuk memperbaiki pendidikan di pedesaan. Ia pun melihat pondok pesantren dan lembaga pendidikan tradisional lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sanalah Reni menerawang jauh. Lalu, ia berdiskusi dengan teman-temannya di Senayan, khususnya dari partai-partai berbasis Islam (PKB, PKS, PAN) untuk merancang RUU Pesantren. Pesantren, kata Reni, adalah lembaga pendidikan yang sangat dekat dengan rakyat kecil di pedesaan. Itulah sebabnya, jika kualitas pendidikan di pesantren meningkat, akan banyak orang-orang miskin di kampung dan desa yang kehidupannya lebih baik.
Tentu saja, Reni dan teman-temannya di Senayan memperhatikan pendidikan informal keagamaan di desa-desa Indonesia Timur yang penduduknya mayoritas non-Islam. Mereka pun ikut diperjuangkan di RUU Pesantren agar pendidikannya maju. Jadi UU Pesantren ini tidak hanya fokus memperbaiki pendidikan di pesantren, tapi juga pendidikan tradisional agama-agama lain di pedesaan, terutama di Indonesia Timur. Namun karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan berada di Pulau Jawa, maka judul RUU tersebut memakai kata pesantren.
Bayangkan, kata Reni, selama ratusan tahun pendidikan agama tradisional Indonesia, seakan dianaktirikan pemerintah. Jujur harus diakui, pendidikan agama Islam tradisonal – lazim disebut pondok pesantren – yang jumlahnya jauh lebih banyak dari pendidikan sekolah umum negeri (SD/SMP/SMA) di Indonesia, sepertinya selama ini kurang mendapatkan perhatian negara. Jika pun ada sekian pondok pesantren yang infrastruktur pendidikannya bagus, modern, dan kurikulumnya baik – hal itu bukan karena peran pemerintah. Tapi lebih karena peran pengasuhnya, yang nota bene tokoh-tokoh berpangaruh yang punya jaringan kuat di masyarakat dan pemerintah. Ambil contoh Ponpes Lirboyo (didirikan KH Machrus dan KH Marzuki), Kediri, Pondok Pesantren Al-Anwar Rembang (KH Mmaemoen Zubair), Modern Pesantren Modern Gontor (KH Zarkasyi dkk). Ketiga pondok pesantren tersebut telah menghasilkan tokoh-tokoh nasional yang sumbangannya terhadap pembangunan bangsa sangat besar.
Pesantren dan NKRI
Sejarah pendidikan Islam di pondok pesantren sangat tua. Sejarawan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo (almarhum), Guru Besar Sejarah UGM, mencatat, sejak abad ke-19, pondok pesantren telah mendidik kader-kader muda Indonesia yang anti-kolonial. Salah satu pondok pesantren tertua di nusantara adalah Pesantren Rifaiyah di Tempuran, Kalisalak, Batang. Pendirinya, KH Ahmad Rifa’i (1786-1870).
KH Ahmad Rifa’i – orang Batang dan Kendal menyebutnya Ki Ripangi – adalah teman seperguruan KH Kholil Madura di kota suci Mekah, gurunya KH Hasyim Asy’ar, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Prof. Dr. Karel A Steenbrink, sejarawan Belanda mencatat, KH Rifa’i adalah ulama Indonesia tradisional yang paling produktif menulis kitab. Uniknya, kitab-kitab karya Ki Ripangi ditulis dalam bentuk puisi atau prosa puisi dengan huruf arab pegon. Menurut KH Syadzirin Amin, salah seorang kyai Jamaah Rifaiyah di Paesan, Kedung Wuni, Pekalongan yang hingga hari ini masih mengaji, menekuni, dan menyebar luaskan kitab-kitab “Tarjumah” – sebutan untuk kitab-kitab karya KH Ahmad Rifai -- ulama dari Kalisalak ini telah menulis lebih dari 10.000 nadham/bait puisi. Jumlah kitab Tarjumah – menurut Prof Sartono – mencapai 54 buah. Soal jumlah kitab karya Ki Ripangi ada beberapa pendapat. Ada yang menyatakan 60, 70, dan lain-lain. Tapi satu hal yang jelas, catat Prof. Steenbrink, ulama Indonesia paling produktif menulis kitab hingga saat ini adalah KH Ahmad Rifa’i.
Kitab-kitab karya Ki Ripangi mencakup banyak hal. Mulai dari masalah tauhid, fikih, ahlak, sampai politik. Kitab-kitab Kyai Rifai mengenai politik inilah yang menimbulkan kegaduhan. Tidak hanya Belanda yang marah terhadap KH Rifai. Tapi juga priyayi Jawa yang berkolaborasi dengan Belanda. Ki Rifai misalnya mengecam beberapa adipati dan raja Jawa yang mau bekerja sama dengan Belanda. “Luwih becik mangan telo, ketimbang nunut Londo,” tulis Ki Ripangi dalam salah satu kitabnya.
Akibat kitab-kitabnya yang banyak mengecam Belanda, KH Rifa’i pun ditangkap. Beliau dibuang ke Menado. Di tempat pengasingan, Kyai Rifa’i terus berjuang bersama Kyai Mojo yang juga dibuang ke Menado, untuk menggaungkan perlawanan terhadap penjajah. Berkat jasa-jasanya, KH Rifai akhirnya mendapatkan gelar Pahlawan Nasional tahun 2009.
Dari gambaran di atas, kita mengetahui betapa besarnya jasa pondok pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jika Ki Ripangi berjuang melalui pondok pesantren dengan pendidikan islamnya yang antikolonial di abad ke-19, beda lagi dengan perjuangan para ulama dalam menyusun UUD 45 di abad ke 20. Saat itu, 18 Agustus 1945, di saat kondisi kritis, para ulama yang duduk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) seperti KH Wahid Hasyim, KH Bagus Hadikusumo, dan Prof. Kasman Singodimejo yang mewakili Islam berani mencoret tujuh kata yang sangat terkenal (Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) yang tertera dalam mukadimah UUD 45. Wakil-wakil Kristen dan Katholik dari Indonesia Timur mengancam keluar dari NKRI jika “tujuh kata tersebut” tetap berada dalam mukadimah UUD 45. Dengan legowo, wakil-wakil Islam akhirnya mencoret tujuh kata tersebut. Ini sebuah ijtihad besar umat Islam dalam membangun NKRI.
Dari sanalah kita memahami kenapa pondok pesantren punya peran besar dalam mengusir penjajah Belanda dan menegakkan NKRI. Tapi sayang, selama Indonesia merdeka, justru pendidikan pesantren dianaktirikan. Itulah sebabnya PPP berjuang keras untuk mengusung RUU Pesantren di Senayan. Reni Marlinawati adalah corong PPP yang tegas dan berani mengawal RUU Pesantren sampai gol.
Reni Marlinawati menjelaskan, dengan golnya RUU Pesantren ini, pertama, pemerintah secara de fakto mengakui eksistensi pendidikan pesantren yang telah berjasa besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menegakkan NKRI. Kedua, dengan adanya RUU Pesantren, akan banyak pondok pesantren di desa-desa yang mendapat perhatian pemerintah, baik dari soal hardware infrastruktur pelayanan pendidikan (gedung, ruang belajar, dan pendanaan rutin), maupun software pendidikan pesantren (guru berkualitas dan konsep-konsep pendidikan yang kompatibel dengan zaman). Dampaknya, niscaya di masa datang, akan muncul banyak ulama dan kader bangsa dari desa-desa yang selama ini mengandalkan pendidikannya di pondok pesantren.
Selamat Jalan Teh Reni. Perjuanganmu di Senayan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan pengawalanmu terhadap RUU Pesantren sungguh sangat mengagumkan. Langit mencatan semua itu. Imbalannya, sorga untukmu di alam keabadian Teh Reni.