Oleh: Wahyu Ginanjar, ([email protected]/netizen)
Lafadz Takbir menggema diseluruh dunia. Hari ini umat Islam merayakan Idul Adha dengan penuh sukacita walaupun sedikit berbeda dari tahun sebelumnya karena merayakan di tengah pandemi Covid-19. Momentum ini harus menjadi refleksi bagi umat Islam untuk merelakan sesuatu yang dicintainya dengan melaksanakan penyembelihan hewan qurban.
Dalam perspektif syariat (fiqh), qurban memiliki makna ritual, yakni menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan pada waktu tertentu, yaitu pada hari nahar (tanggal 10 Dzulhijah) dan hari tasyrik (tanggal 11-13 Dzulhijah). Menurut ulama ahli fiqh, ibadah qurban harus dengan hewan qurban, seperti kambing, sapi atau unta, dan tidak boleh diganti dengan lainnya, seperti uang atau beras.
Meski demikian, mereka sepakat bahwa hukum berqurban hanyalah sunnat alias tidak wajib.
Hanya saja kadang momentum ini hanya sebatas formalitas ritual yang dijalankan setiap tahunnya, padahal berqurban bukan hanya sekadar memenuhi panggilan syariat, tetapi harus menjadi komitmen sosial sesuai dengan interpretasi makna qurban yang tertuang dalam surat Al-Kautsar ayat 1-3.
Oleh karena itu, maka perlu direnungkan kembali, bahkan harus dicari makna dan nilai-nilai qurban yang haqiqi. Qurban berasal dari kata qaraba yang artinya dekat, seakar kata dengab karib dalam bahasa Indonesia.
Makna qurban hakikatnya adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan merelakan sesuatu tanpa pamrih sebagai bukti penghambaan dan syukur terhadap nikmat yang telah Allah berikan, dengan berqurban seharusnya menyadari bahwa seluruh limpahan karunia/nikmat yang dilimpahkan kepadanya hanya pemberian Allah SWT.
Disinilah manusia menyadari hakikat makna innalillahi wa inna ilaiho rajiun bahwa sesungguhnya semua dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
Akan tetapi manusia terkadang melupakan itu semua, seakan-akan yang dimilikinya merupakan hasil kerja atau jerih payah dari proses usahanya selama ini, sehingga menghilangkan Allah sebagai Sang Maha Pemberi Rizki. Sikap seperti ini menyebabkan manusia menjadi pecinta makhluk/dunia yang berlebihan, sehingga nafsu kejelekan menguasai dirinya dan melupakan Allah sebagai pemberi nikmat.
Oleh karena itu, qurban sebagai wahana memutuskan nafsu yang cenderung terhadap kejelekan. Hal ini dikisahkan pada Nabi Ibrahim yang diberikan wahyu untuk menyembelih anaknya (walaupun secara fisik tidak terjadi karena digantikan oleh gibas/hewan ternak sejenis domba).
Tetapi kisah ini merupaka kesiapan Nabi Ibrahim menjalankan perintah Allah SWT sebagai bentuk pemutusan cinta yang berlebihan terhadap makhluk.
Peristiwa ini juga mengandung pelajaran bagi para pemimpin. Berhati-hatilah terhadap godaan anak. Anak adalah simbol dan obyek kecintaan pada duniawi. Demi anak, orang tua mau berkorban apa saja untuk menggembirakannya. Namun jika tidak hati-hati, seorang pemimpin bisa jatuh karena kecintaan yang berlebihan pada anaknya, sehingga bisa mengalahkan cintanya pada Tuhan dan nasib rakyat.
Karena itu, egoisme atau nafsu yang berlebihan harus disembelih sebagai upaya pemutusan mencintai makhluk secara berlebihan. Maka inilah hakikat spirit dari Idul Adha, selain itu komitmen sosial dengan berbagi terhadap sesama menandakan hati telah merelakan karena semua yang dimiliki berasal dari Allah. Semoga di momentum ini kita sama-sama menyadari egoisme/nafsu yang berlebihan harus di hentikan karena menjadikan manusia lupa terhadap asalnya.
Penulis adalah anggota Reseach And Literacy (RLI) Institute