Oleh: Panji Pratama - [email protected] netizen
Munculnya pandemi besar Corona Viruses Deasease di akhir 2019 berdampak besar bagi manajemen pendidikan di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, alih-alih kegiatan pembelajaran dilakukan secara tatap muka, banyak sekolah yang berbondong-bondong memindahkan peserta didik ke lingkungan pembelajaran digital langsung.
Hal ini dilakukan untuk mencegah penularan dan pembentukan cluster virus baru di lingkungan sekolah. Sayangnya, proses perubahan yang mendadak ini ternyata tidak diiringi persiapan dan manajemen yang matang. Sekolah tidak cukup diberikan waktu untuk mengidentifikasi sumber daya populasi, kebutuhan desain instruksional guru, dan juga keterampilan literasi digital guru sendiri.
Tidak adanya fase yang jelas mengenai kesiapan kurikulum transisi, mengakibatkan tidak terbukanya jalan bagi semua orang untuk menavigasi pembelajaran digital dengan kondusif. Pada akhirnya, guru harus dengan cepat menyesuaikan dan merancah dirinya sendiri untuk kebutuhan pembelajaran online yang harus tetap dijalankan.
Terkait antisipasi penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menerbitkan dua surat edaran terkait pencegahan dan penanganan virus tersebut. Yang pertama, Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan COVID-19 di lingkungan Kemendikbud dan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan COVID-19 pada Satuan Pendidikan.
Salah satu hal yang disoroti dalam surat edaran ini, adalah prosedur menghindari kontak fisik langsung antara warga satuan pendidikan (bersalaman, cium tangan, berpelukan, dan sebagainya), yang pada akhirnya mengubah tata kelola kegiatan pembelajaran tatap muka menjadi digital.
Meski demikian, ketika pembelajaran dipaksa berganti ruang dan waktu, tidak sedikit peserta didik yang mengalami gangguan psikologis. Mereka seolah kehilangan motivasi belajar, ketika kegiatan belajar mengajar yang biasanya tatap muka dialihkan ke moda digital. Dalam sebuah penelitian di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, terdapat hasil survei yang menempatkan anak-anak muda usia 21 ke bawah di Indonesia yang mengalami kecenderungan tekanan psikis paling berat dibanding kelompok usia yang lebih tua (www.vivanews.com).
Hal ini menjadi sangat mungkin karena kecemasan dan kebosanan yang akut akibat berdiam terlalu lama di rumah. Terlebih, banyak informasi yang menjelaskan bahwa COVID-19 menyebabkan kematian membuat individu merasa cemas yang berlebih. Kecemasan terhadap kematian yang berlebih pun akan menimbulkan gangguan fungsi emosional seperti neurotisma, depresi, dan gangguan psikosomatis.
Selain gangguan kesehatan mental, peserta didik pun banyak mengeluhkan kesulitan belajar karena kebingungan dengan sistem belajar yang tidak terkoordinasi dengan baik di masa belajar di rumah. Kondisi ini menambah gangguan kepercayaan diri, rasa cemas, panik dan ketakutan pada peserta didik. Belum lagi, sugesti yang diterima dari lingkungan akan terbangun dalam pikiran mereka sehingga sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik dan psikis mereka di situasi seperti ini.
Bertolak dari kekhawatiran terhadap masa depan psikis peserta didik tersebut, peran guru sebagai agen perubahan harus menjadi pelindung paling depan. Guru dituntut lebih keras untuk memberikan sumbangsih kinerjanya untuk mengobati dampak pandemi COVID-19 di dunia pendidikan. Guru tidak hanya harus mampu meningkatkan keterampilan abad-21, tetapi juga menguasai kembali dasar-dasar falsafah pendidikan yang sejatinya pernah diutarakan Ki Hajar Dewantara. Adagium “pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak harus kembali direnungkan bersama. Tujuan pembelajaran di masa pandemi seperti COVID-19 harus diradikalisasi sehingga dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Hal ini juga sesuai kriteria guru profesional yang termaktub dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, yakni guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Nah, ciri utama output guru profesional tersebut tampak secara langsung dari kemampuan insan-insan pendidikan ini dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang sesuai nilai-nilai etika, agama, dan sosial budaya masyarakat di lingkungannya.
Maka dari itu, guru dituntut untuk bisa berkomunikasi dengan baik terhadap peserta didiknya, terlebih terhadap peserta didik yang terdampak pandemi COVID-19. Guru diharuskan mengenal konteks pembelajaran digital sekaligus menganalisis kesiapan peserta didiknya. Guru tidak hanya menyampaikan materi semata saat pembelajaran jarak jauh berbasis video vonfrence misalnya, tetapi juga mengajak untuk berkomunikasi tentang konteks pembelajaran di sekitarnya (problem based learning). Dengan demikian, guru tersebut telah menanamkan kebermaknaan dalam pembelajaran dengan memasukkan nilai kepedulian terhadap peserta didiknya.
Tentunya, hal ini bisa dilakukan dengan pengembangan strategi kesantunan berbahasa yang terarah dan terpadu. Dalam kaitannya dengan “berbahasa”, maka output pendidikan umum adalah manusia yang mampu mengadopsi nilai sosial budaya masyarakat. Bahasa yang santun adalah bahasa yang diungkapkan berdasarkan tatanan nilai budaya masyarakatnya. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi seseorang lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Dalam budaya Sunda misalnya, falsafah Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh dapat disampaikan dalam bentuk kepedulian terhadap sesama.
Selain budaya dan sosial, kesantunan berbahasa para guru bisa diambil dari prinsip Al-Quran dan Hadist. Ada enam prinsip berbahasa santun yang seyogianya dijadikan pegangan bagi para guru profesional saat berbicara dihadapan para peserta didiknya, antara lain (1) Qaulan sadida, (2) Qaulan marufa, (3) Qaulan baligha, (4) Qaulan maysura, (5) Qaulan layyina, dan (6) Qaulan karima.
Prinsip pertama tentang Qaulan Sadida, berkenaan dengan makna ucapan para guru yang bersifat lemah lembut, jelas, jujur, tepat, baik, dan adil. Terdapat sebuah strategi yang dilakukan dapat dilakukan oleh guru ketika melakukan pembelajaran digital di rumah. Guru dapat mengomunikasikan pesan dengan menggunakan frasa akan berusaha untuk mengusahakan agar dirinya tidak memuji diri sendiri. Diksi lain yang bisa dipakai guru adalah pernyataan Kita sama-sama belajar di sini yang digunakan dengan intonasi hati-hati. Para guru diharapkan mempunyai niatan untuk mengajarkan nilai karakter sederhana dan rendah hati terhadap segala keunggulan dirinya. Bahkan, kata hanya yang diucapkan guru pada saat menjelaskan jawaban dengan detail misalnya, dapat memotivasi peserta didik yang jarang berbicara atau belum muncul kepercayaan dirinya pada saat video confrencing.
Prinsip kedua tentang Qaulan marufa, bermakna ucapan yang bersifat sopan, halus, baik, indah, benar, penghargaan, menyenangkan, baku, dan logis. Guru dapat menerapkan strategi berkomunikasi dengan banyak-banyak menggunakan kata boleh atau frasa Setuju dengan atau kalimat Betul sekali anak-anakku. Hal ini dapat dilakukan guru dalam situasi diskusi yang menyenangkan. Dengan cara ini, guru-guru tersebut dapat memotivasi secara klasikal dengan tujuan memberikan semangat kepada para peserta didik untuk terus menggali potensi dirinya.
Prinsip ketiga tentang Qaulan baligha bermakna ucapan yang bersifat benar, komunikatif, menyentuh hati, dan mengesankan. Guru dapat menerapkan strategi menyampaikan pesan dengan menggunakan kata silakan dengan nada bicara yang tidak memerintah pada saat diskusi atau pemaparan materi, menggapi langsung, serta ketika memberikan kesempatan kepada peserta didiknya. Selain itu, guru berupaya menghargai peserta didik untuk menjawab atau berbicara lebih dahulu. Kalimat Coba siapa dulu yang bisa? juga menjadi niatan yang baik untuk memberikan kesempatan peserta didiknya terlebih dahulu untuk berekspresi dan diakhiri nada bicara tanda tanya yang halus. Bahkan, penggunaan frasa Biar Bapak/Ibu saja yang dengan maksud memberikan pertolongan kepada peserta didik yang kesulitan ketika menggunakan fasilitas video conference misalnya dapat mendekatkan secara intens hubungan guru dengan peserta didiknya.
Prinsip Qaulan masyura bermakna ucapan yang mudah difahami, lunak, indah, halus, bagus, dan optimis. Guru yang peduli akan mengomunikasikan pesan dengan coba memainkan diksi maaf. Hal ini dilakukan oleh guru tentunya dengan intonasi yang halus pada saat diskusi atau pemaparan materi, tuturan yang tidak langsung, serta ketika ingin membantah pernyataan peserta didiknya. Cara lainnya, misalnya dengan mengutarakan ungkapan Sepertinya soal ini, Ananda X bisa bantu jawab dapat memunculkan motivasi peserta didik untuk lebih berekspresi.
Prinsip Qaulan layyina bermakna ucapan yang lemah lembut, menyentuh hati, dan baik. Terdapat sebuah strategi yang dapat dilakukan guru untuk mengomunikasikan pesan dengan menggunakan frasa kut merasakan. Tentunya, diksi ini dilakukan guru dengan nada bicara yang mengisyaratkan kepedulian ketika peserta didik mengemukakan problematika atau konteks pembelajaran yang dikaitkan dengan keseharian peserta didik. Dengan cara ini, guru-guru tersebut telah mencoba memberi harapan dan doa terhadap keberhasilan peserta didiknya. Kalimat Semoga kita lebih baik lagi di kemudian hari, atau kata mari pun jika diucapkan dengan intonasi yang tulus, dapat digunakan guru untuk membantu peserta didik yang mengalami banyak cobaan dan kesulitan di masa pandemi COVID-19. Kata yang muncul di luar percakapan pembelajaran ini dapat dianggap sebagai cara guru dalam menananmkan nilai karakter kerja keras dan peduli.
Terakhir, prinsip Qaulan karima yang bermakna ucapan yang pemuliaan, penghormatan, pengagungan, penghargaan, dan lemah lembut menjadi sebuah strategi jitu dalam mengajarkan kesantunan berbahasa. Ketika guru mengulang-ulang kata bagus atau frasa Hebat sekali, maka guru tersebut telah meningkatkan kepercayaan diri peserta didik. Kalimat penghargaan seperti Yang penting mencoba dulu ya pun akan membuat peserta didik lebih terpacu untuk komunikatif pada saat pembelajaran digital berbasis video confrence.
Begitulah kesantunan berbahasa yang merupakan salah satu warisan pendidikan nilai yang tidak lekang oleh zaman dan tantangan. Ketika fenomena disrupsi teknologi dibarengi pandemi terjadi, guru dapat mengarahkan modal kesantunan berbahasa untuk menjadi strategi terapi. Sekali lagi, internalisasi nilai-nilai, penghayatan yang mendalam, dan penciptaan iklim pembelajaran yang kondusif menjadi kunci utama untuk menghadapi disrupsi pendidikan yang terjadi; baik yang dikarenakan perubahan zaman dan teknologi, maupun yang dikarenakan bencana yang mendadak seperti pandemi COVID-19.
Guru sebagai role-model pendidikan yang bertugas menginternalisasi nilai-nilai karakter kepada peserta didik, seyogyanya memberikan perhatian lebih besar pada pembinaan bahasa santun, karena sejatinya manusia berkarakter adalah tujuan pendidikan itu sendiri.
Panji Pratama, S.S., M.Pd.,(Mahasiswa Pascasarjana S-3 Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara). Mengajar di SMAN 1 Nagrak Kab. Sukabumi. Selain mengajar juga menjadi penulis lepas di media online maupun cetak baik lokal maupun nasional. Artikel ilmiahnya tentang Menggagas Flashfiction 100 Kata sebagai Pembelajaran Sastra di Kurikulum Nasional pernah disampaikan pada Seminar Internasional Riksa Bahasa tahun 2015 di Pascasarjana UPI. Kini tinggal di Jalan Gang Amil Syukron rt. 03 rw. 020 Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi 43351.