Oleh: Mochamad Popon
(Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia - PP FSP TSK SPSI)
Peringatan May Day 2020 tidak seperti biasanya, jauh dari hingar bingar dan teriakan semangat tuntutan perubahan. Tahun ini berlangsung sepi dan sunyi bahkan sangat mengerikan.
Sepi, karena tanpa perayaan dan aksi jalanan sebagaimana menjadi ritual rutin pada tahun-tahun sebelumnya. Mengerikan, karena buruh bukan hanya dibayangi ancaman penularan wabah Covid-19 yang menakutkan, tapi juga dihadapkan pada ancaman di rumahkan, di PHK, kehilangan pekerjaan dan tidak ada kepastian masa depan.
Pandemi Covid-19 telah meruntuhkan keangkuhan para negara adi daya, menghancurkan tatanan ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat bangsa2 di dunia. Tapi dari serentet kerugian dan kehancuran akibat pandemik covid-19, BURUH LAH PIHAK YANG PALING DIKORBANKAN.
Pandemik Covid-19 seolah menjadi aji mumpung bagi sebagian pengusaha untuk menghindar dari kewajiban untuk membayar upah dan hak nornatif lainnya kepada buruh (walaupun ada juga pengusaha yang benar-benar mengalami kesulitan).
PHK, di rumahkan, diputus kontrak, THR dicicil dan ditunda seolah menjadi bahasa harian yang dikeluarkan tanpa beban oleh pengusaha. Alasan pengusaha sederhana dan masuk akal kalau hanya ditelan tanpa dipertimbangkan lebih matang. Ya, alasannya rugi, perusahaan sulit, order sudah tidak ada dan sebagainya. Mungkin ada benarnya juga kalau pengusaha bicaranya hari-hari terakhir ini.
Tapi, masalahnya Covid-19 baru mewabah di Indonesia dua atau tiga bulan terakhir. Lalu, untung mereka selama bertahun-tahun, bahkan puluhan dan belasan tahun kemana? Kok pengusaha teriak baru sekarang, gak bayar ini dan itu, minta keringanan ini dan itu sama buruh.
Lalu saat untung pengusaha kemana saja? Kok gak pernah bilang untung sama buruh, dan mintanya upah murah terus. Jelas ini ketidak-adilan bagi buruh. Saat perusahaan untung buruh tidak pernah "di bagi" untungnya oleh pengusaha, bahkan saat buruh minta kenaikan upah lebih saja perusahaan selalu bilangnya rugi dan rugi. Tapi di saat bener-benar rugi dan susah dikit pengusaha langsung teriak dan melakukan sesukanya untuk mempreteli hak-hak normatif buruh.
Tragisnya lagi, seolah rengekan dan kepura-puraan pengusaha tersebut di tanggapi dan dalam petik mendapat dukungan dari pemerintah.
Coba aja lihat, Menteri Tenaga Kerja RI langsung membolehkan THR dicicil dan ditunda, banyak buruh dirumahkan dan di PHK tanpa dibayar upahnya dan pemerintah hanya terdiam tanpa memberikan perlindungan sedikitpun kepada buruh.
Buruh jadi korban, disaat kelas sosial atau kelompok masyarakat lain disaat pandemi Covid-19 ini mendapat bantuan sosial, buruh malah tidak dapat dan dibiarkan tanpa perlindungan. Dibiarkan menerjang maut bekerja tanpa perlindungan walaupun ditengah ancaman pandemik Covid-19.
Disaat pemerintah berteriak social distancing dan phsycal distancing, buruh justru dibiarkan masuk dalam kerumunan dan ancaman penularan. Disaat buruh dirumahkan dan di PHK dengan ketidakjelasan dan tidak bayar upah dan hak lainnya, pemerintah datang dengan MENG-IMING-IMING KARTU PRA KERJA YANG KEDENGARANNYA HEBAT DAN SEOLAH MEMBANTU MEREKA YANG KEHILANGAN PEKERJAAN.
Tapi faktanya buruh tetap saja hanya jadi komoditas, karena kartu pra kerja yg digembar-gemborkan itu tidak lebih dari sederet proses rumit dan anggaran triliunan rupiah yang dialokasikan itu hanya bancakan para cukong dan para pemain besar start up dengan dalih pelatihan, pelatihan.
Ke depan semua stakeholders buruh harus mulai memikirkan protokol perlindungan upah bagi buruh disaat terjadi bencana dan pandemi wabah seperti yang terjadi seperti saat ini. Ketidakadilan struktural, sosial dan global harus segera dihentikan.
Negara tidak boleh abai terhadap rakyat sendiri sementara meninabobokan investor asing yang setiap saat datang disaat kondisi menguntungkan dan pergi disaat kondisi tidak menguntungkan, dan rakyatlah yang selalu dikorbankan.
Selamat Hari Buruh
Semoga Asa itu masih ada.