Oleh: Alvi Hadi Saputra | Koordinator Aksi Kamisan Sukabumi
Amir: "Hari ini berapa yang mati?"
Nyoto: "400 orang, mas"
Percakapan seperti si Amir dan si Nyoto ini mungkin cukup lumrah kita dengar dalam waktu beberapa pekan terakhir ini, Amir tentu saja bukan sedang menanyakan jumlah ayam yang mati di kandang pada hari itu, atau berapa ikan yang mati di kolam nyoto hari itu. Sejak virus Covid-19 ini muncul ke wajah peradaban awal tahun ini dan terus menerus berkembang hingga hari bisa mencapai titik pandemi dengan sebaran hampir menjangkiti seluruh luas benua yang ada di bumi, tak ada satu tempat pun yang bisa merasa selamat dari Covid-19 hari ini.
Nyoto benar, angka kematian akibat Covid-19 di indonesia pada khususnya sudah hampir mencapai angka 400 nyawa yang harus melayang. Tak menutup kemungkinan akan terus bertambah jika warga Indonesia tidak terlalu mengindahkan anjuran pemerintahan republik, atau malah republik yang tak becus mengurus wabah, atau bahkan sistem kesehatan kita yang sedari dulu tidak memungkinkan untuk menghadapi situasi seperti ini. Entah alasan mana yang kelak akan menjadi faktor utama membengkaknya jumlah korban dari Covid-19 di negeri ini.
Tapi mari kita cukupkan dahulu pembicaraan soal berapa jumlah korban, sedikit membuat kita menarik nafas dalam-dalam rupanya membaca data tersebut. Mari kita bicara sisi lain dari dampak yang dihasilkan selama masa pandemi dan sedikit visioner untuk melihat apa yang akan terjadi setelah pandemi.
Siapa yang sadar bahwa pandemi yang hari ini kita hadapi bersama adalah sebuah peringatan yang cukup keras bagi warga dunia, terutama bagi eksistensi kapitalisme global yang dengan congkak terus menerus melakukan eksploitasi terhadap bumi serta manusianya tanpa mengenal henti. Darimana keyakinan bahwa pandemi ini adalah peringatan dari bumi terhadap manusi-manusia serakah dan senang berbuat kerusakan? Tentu saja bumi sendiri yang memberikan tanda bahwa bumi sedang memperbaiki dirinya sendiri dan sedang menuju pada arah keseimbangan selama masa pandemi ini berlangsung.
Lagipula selama pandemi ini berlangsung, setengah dari populasi manusia di bumi melakukan isolasi di tempat tinggalnya masing-masing, sehingga getaran bumi yang diakibatkan aktivitas produksi manusia sangat berkurang. Kita pun bisa menyaksikan melalui satelit bahwa lapisan ozon yang melindungi manusia selama ini dari kepunahan kembali membaik dan mengalami keadaan terbaik selama 200 tahun ke belakang. Kita bisa sedikit tersenyum ketika mendengar kabar sangat baik mengenai bagaimana kutub es di utara kembali membentuk dirinya untuk lebih kokoh, lalu kita akan riang ketika mendengar di italia lumba-lumba kembali hidup di sungai karena aktivitas manusia yang sangat berkurang disana.
Cukup indah kita membayangkan kenyataan tersebut, alam tersenyum pada kita.
Sedikit berandai-andai sedang menjadi elit kapitalis global hari ini tentu bukan kriminal, saya kira mereka sedang mengalami ke khawatiran yang teramat sangat. Melihat kondisi sektor utama produksi yang mati suri di berbagai negara sekutu, runtuhnya sistem ekonomi yang mengarah pada resesi besar-besaran, jatuhnya harga minyak dunia, memburuknya iklim wallstreet bahkan terburuk dalam dekade ini menurut beberapa sumber, dan yang terburuk adalah munculnya kesadaran akan berbahayanya kapitalisme bagi keselamatan ekologi di benak warga dunia hari ini.
Ini adalah sebuah peringatan nyata yang coba ditutup-tutupi oleh elit kapital, berupaya menenangkan pasar yang mungkin sudah dulu lebih tahu mengenai kehancuran yang ada didepan mata mereka. Bumi selalu memiliki jalan dalam menemukan keseimbangan, termasuk dengan menghasilkan pandemi seperti sekarang ini. Sekarang semua sedang muak dengan keegoisan bangsa-bangsa pemilik kekuatan ekonomi yang masih saja memikirkan bagaimana cara untuk terus mengekploitasi bumi, padahal bumi lewat Covid-19 ini sedang memberikan peringatan amat keras kepada elit kapitalisme dan umat manusia untuk sedikit saja mengurangi intensitas eksploitasi.
Warga dunia dan mungkin saja itu kita, tentu sedang muak dengan keegoisan bangsa-bangsa besar dunia yang masih saja terus menerus menafikan peringatan yang bumi berikan pada mereka, kita tentu sedang merindukan dunia dengan dilandasi solidaritas internasional dalam menangani wabah global seperti ini, bukan dengan landasan persaingan dagang yang terus menerus mewarnai penangan pandemi ini. Menjelang kejatuhannya, elit kapitalisme masih meneriakkan teriakan kosong tentang sistem yang akan tetap bertahan setelah pandemi ini, padahal kita sudah mulai tersadar bahwa hari ini kita sedang merindukan internasionalisme. Kebersamaan bangsa-bangsa yang lama tak terjadi setelah perang dingin berakhir, mungkin akan hadir seiring dengan kepergian Covid-19 ke asalnya.
Rasa-rasanya ini saat yang tepat untuk kita semua untuk membangkitkan rasa solidaritas atau bangsa kita lebih akrab dengan istilah gotong royong tanpa memandang suku agama atau apapun yang jadi latar belakang dalam menyelesaikan pandemi. Setelah pandemi ini selesai, kita harus mulai tersadar dan berfikir ribuan kali ketika para elit negara ingin melakukan atau membiarkan ekploitasi terhadap bumi kita yang mulai renta ini dilakukan secara tak terkendali.
Atau jika kita tak mau tersadar, mungkin bumi akan memberikan peringatan yang jauh lebih keras agar kita sedikit bersahabat pada alam. Tak ada salahnya bukan kita bersikap ramah kepada alam, sebagai langkah preventif kita kedepan untuk mencegah bencana ekologis seperti pandemi Covid-19 hari ini kembali pada kita di kemudian hari? Tentu tidak.
Dan tak ada salahnya untuk berbaik sangka pada siapapun, termasuk pada pandemi ini. Jangan rusak bumi, lalu bumi akan membiarkan kita hidup berdampingan dengan alam.