Oleh: Anisah Melania
(Mahasiswa Prodi Manajemen Universitas Nusa Putra Sukabumi)
Penyebaran virus Corona atau Covid-19 di seluruh dunia mempengaruhi nilai tukar rupiah yang semakin melemah terhadap dolar Amerika Serikat (US Dollar). Nilai tukar perdagangan semakin melemah dan telah melampaui Rp.15.000 per US Dollar akibat dampak Covid-19 ini.
Tidak hanya di Indonesia yang nilai tukarnya mata uangnya melemah, ternyata di negara lainpun seperti dolar Hong Kong turun 0,01 persen bersama dolar Singapura 0,52 pesen, dolar Taiwan 0,51 persen, won Korea Selatan 2,66 persen, peso Filipina 0,55 persen, rupee India 0,28 persen, ringgit Malaysia 0,88 persen, dan baht Thailand 0,61 persen dan yen Jepang dan yuan Tiongkok yang naik masing-masing 0,62 persen dan 0,11 persen tetapi rupiah lah sangat lemah karena naiknya US Dollar.
Sebelum naiknya dolar karena dampak Covid-19, nilai tukar rupiah per dolar AS Rp.14.000per dolar dan sekarang melonjak naik menjadi Rp.16.000 per US Dollah. Kurs rupiah akan terus berada pada posisi rentan selama penyebaran wabah Covid-19, yang menyebabkan kepanikan di pasar global yang membuat dana asing kabur serta tekanan likuiditas dan desakan untuk mendapatkan dolar membuat dolar lebih unggul dari segalanya.
Pelemahan rupiah menurut sejumlah ekonom dan pemerintah didorong dari sejumlah faktor baik eksternal dan internal. Pertama, ada kekhawatiran kerisis keuangan yang terjadi di Argentina dan Turki menular ke negara berkembang yang di alami defisit transaksi yang melebar, salah satunya Indonesia.
Kedua, sentimen kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral Amerika Serikat (Fed). Ketiga, risiko perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta negara lainnya. Sedangkan faktor internal, Indonesia hadapi masalah defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan (CAD). Tercatat defisit transaksi berjalan sudah berjalan mencapai 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Tembusnya nilai tukar rupiah Rp.16.000 per dolar AS, membuat Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta BI fokus jaga Rupiah. Dan bahkan, kabarnya rupiah mengalamai skenario terburuk sebesar Rp.20.000 per dolar karena Covid-19.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mengungkapkan skenario terburuk nilai tukar rupiah bisa menyentuh kisaran Rp.17.500 sampai Rp.20.000 per dolar AS pada tahun ini. Skenario ini muncul akibat tekanan ekonomi yang berat di tengah penyebaran pandemi Covid-19.
Akan tetapi KSSK akan berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah rupiah jatuh ke dalam level tersebut. Rupiah berada di kisaran Rp.16.400 per dolar AS di perdagangan spot. Bank Indonesia (BI) juga menambah likuiditas yang di perbankan melalaui pelonggaran batas cadangan kas bank di bank sentral nasional atau yang di kenal Giro Wajib Minimum (GWM).
BI menambah likuiditas ke bank sebanyak Rp.74 triliun dalam denominasi rupiah dan US$ 3,2 miliar dalam denominasi valuta asing. Berbagai upaya ini dilakukan guna menstabilkan nilai tukar rupiah yang kemungkinan masih bergerak fluktuatif karena besarnya aliran modal asing yang keluar (capital outflow) dari Indonesia. BI mencatat dana asing yang keluar mencapai Rp.167,9 triliun pada periode 20 Januari sampai 30 Maret 2020.
Sebagian besar di Surat Berharga Negara (SBN) Rp.153,4 triliun dan saham Rp.13,4 triliun. Pembalikan modal ini terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia sehingga rupiah melemah.
Secara total, BI sudah membeli SBN dengan nilai mencapai Rp.166 triliun. Sedangkan bila digabung dengan intervensi penambahan likuiditas ke bank, intervensi sudah hampir Rp.300 triliun.
Di sisi lain, KSSK turut memaparkan beberapa asumsi makro dalam skenario terburuk, seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 0,4 persen sampai 2,3 persen. Harga minyak mentah Indonesia ICP (plasma gandeng induktif) US$31 sampai US$38 per barel dan inflasi 3,9 persen sampai 5,1 persen pada tahun ini.
Seluruhnya turun jauh dari asumsi makro di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020, di mana asumsi rupiah sebesar Rp.14.400 per dolar AS dan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Sementara ICP US$63 per barel dan inflasi 3,1 persen.
Langkah BI dan Pemerintah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, BI mengeluarkan sejumlah kebijakan salah satunya menyesuaikan suku bunga acuan atau BI 7-day reverse repo rate.
BI sudah menaikan suku bunga acuan 125 basis point dalam 3 bulan. Suku bunga acuan BI kini di posisi 5,5 persen. Langkah lain yang dilakukan BI meningkatkan volume interpensi di pasar valuta asing (valas), membeli surat negara di pasar sekunder, membuka lelang FX swap, dan membuka windows swap hadging.
BI juga senantiasa meningkatkan koordinasi dengan pemerintah termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI pun sudah intervensi di pasar surat SBN dengan melakukan pembelian kembali mencapai Rp.11,9 triliun. Hal itu di sampaikan gubernur BI, Ferry warjiyo saat rapat dengan DPR. OJK pun mulai intensif kan pengawasan penggunaan valas di seluruh industri jasa keuangan.