Oleh: Farida Nur Rahma, M. Pd
Dosen Ilmu Komunikasi STIBA Ar Raayah
Dalam sambutan forum ASEAN-Republic of Korea (RoK) CEO Summit di Busan Exhibition and Convention Center (BEXCO), Senin (25/11), Presiden Jokowi mengingatkan negara ASEAN bahwa saat ini kita hidup dalam era disrupsi.
Masa dimana teknologi mulai mengubah proses bisnis secara menyeluruh dan menghadirkan cara-cara baru yang lebih efisien, personal, dan terukur. Transformasi ini membawa tren digitalisasi dengan berbagai penerapan aplikasi dan perubahan kultur bisnis. Indonesia adalah salah satu negara yang mengadopsi era disrupsi.
Sudah bisa diprediksi adopsi era disrupsi ini membawa perusahaan pada efisiensi tenaga manusia melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Prediksi ini ternyata tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah. Terbukti dengan tutupnya lima retailer ternama di Indonesia, bahkan PT Hero Supermarket Tbk memutuskan menutup 26 gerai dan PHK massal terhadap 532 karyawan selama tahun 2018.
Bukti terbaru, rencana PT Krakatau Steel Tbk mem-PHK sejumlah karyawannya dalam rangka restrukturisasi, seperti yang diberitakan detikfinance (17/02/2020). PT Indosat Tbk mengakui telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 677 karyawannya pada Jumat (14/2). Perusahaan menyebut PHK tersebut merupakan langkah dari upaya transformasi perusahaan untuk bertahan di era disrupsi. Begitu juga PHK massal yang dilakukan salah satu pabrik rokok merk Apache atas nama kebijakan efisiensi.
Pada dasarnya, mengadopsi era disrupsi dan tren digital atau tidak adalah pilihan. Siap adopsi, tidak siap cari alternatif lain. Jika mengadopsi maka harus siap dengan sumber daya manusia dengan kompetensi teknologi yang memadai. Dibutuhkan limpahan insinyur untuk menggerakan dan maju di era disrupsi ini. Sedangkan faktanya, jumlah insinyur di Indonesia masih sangat minim dibandingkan negara lain di dunia, bahkan masih lebih rendah dari Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Ini menunjukkan ketidaksiapan Indonesia mengadopsi era disrupsi. Latahnya rezim mengadopsi tren global menegaskan lemahnya kedaulatan politik dan ekonomi Negara. Tren digital dalam tataran syariah adalah bagian dari perkembangan sarana (wasilah) aktifitas ekonomi. Ini sesuatu yang alami seiring dengan kemajuan teknologi.
Maka, wasilah yang menghantarkan pada kemudahan atau kemaslahatan umat menjadi sesuatu yang wajar diadopsi. Maka negara dengan sistem Islam akan mempersiapkan kekuatan apapun untuk menghadapi tren ini. Salah satunya mempersiapkan SDM canggih. Menjadi sesuatu yang mudah dalam tataran syariat Islam karena pendidikan bukan sesuatu yang mahal karena ia bukanlah komoditas dagang.
Pendidikan dalam tataran syariat Islam adalah bagian pelayanan pemerintah terhadap ummat. Maka bisa dipastikan akan terjadi kelimpahan insinyur seperti yang dibutuhkan dalam tren global. Bagi negara dengan sistem Islam, era disrupsi dengan pemakaian aplikasi digital hanya diadopsi untuk mempermudah aktifitas produksi, distribusi dan konsumsi. Tidak lantas mengubah fokus sektor ekonomi menjadi non riil. Karena sektor non riil hanya akan menghantarkan pada bubble-economic yang pada akhirnya akan pecah dan menimbulkan krisis ekonomi yang meluas.
Sistem ekonomi Islam akan menjaga dan mengembangkan sektor riil dengan pemberian modal cuma-cuma atau pinjaman tanpa riba. Membangun tata niaga yang adil dengan memberikan kesempatan semua orang turut serta dalam bisnis tanpa monopoli, tanpa pajak, dan tanpa intervensi asing.
Teladanilah Rasulullah yang telah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshor sehingga terjadi aliran modal dan mengurangi kesenjangan ekonomi. Memastikan setiap tanah selalu produktif dengan menyerahkan tanah kepada orang yang bisa menghidupkannya.
Memberikan makanan dan kapak (modal) kepada seseorang yang mengemis kerumahnya. Dengan sistem ekonomi Islam yang Rasulullah contohkan mampu menjadikan Abdurahman bin Auf yang datang ke Madinah sebagai si miskin menjadi si kaya yang dermawan yang siap membiayai penaklukan Daulah Islam pada saat itu. Wallahu alam bishawab.