Oleh: Alvi Hadi Saputra | Koordinator Aksi Kamisan Sukabumi
SEPERANGKAT aturan yang disusun oleh satgas beranggotakan 63 orang pengusaha besar nasional di bawah kendali langsung presiden ke-7 Ir H Joko Widodo ini kemudian dinamai Omnibus Law atau RUU CIPTA KERJA. Detik ini telah menjadi bola liar selanjutnya di kalangan masyarakat secara luas serta para intelektual dan pakar hukum secara khusus.
Setelah di akhir tahun 2019 lalu terjadi gelombang aksi massa terbesar pasca gerakan reformasi 22 tahun silam, yang menentang berbagai RUU yang dikerjakan bersama oleh DPR RI bersama pemerintah pusat diantaranya RUU AGRARIA, RUU PERTANAHAN, RUU KETENAGAKERJAAN, dan tak lupa RUU KPK sebagai sorotan utama massa pada saat itu.
Bicara mengenai kondisi anak bangsa dalam menyikapi Omnibus Law tentu saja terjadi pro dan kontra yang runcing, antara banyak pihak yang terdampak. Mulai dari proses penyusunan hingga tahap penyebaran naskah akademik yang beredar luas di masyarakat kontroversi terus berhembus tanpa henti.
Tentu saja ada pihak yang sangat diuntungkan apabila RUU ini disahkan dalam waktu dekat ini karena segala macam kepentingan dari para investor akan sangat terakomodasi. Di sisi lain pihak seperti buruh dan nelayan tradisional yang secara gamblang hajat hidupnya lewat seperangkat aturan ini mulai menampakkan semangat perlawanan yang hebat. Dibantu dengan kalangan mahasiswa yang mulai bangun kembali, serta para aktivis lingkungan hidup yang menyadari betapa berbahayanya RUU ini kepada kelestarian ekologi. Bahkan semakin bertambah runcing jika ditambahi penolakan secara keras dari pihak pers beserta para jurnalis dan organisasi yang menaungi mereka terhadap RUU cipta kerja ini.
Sebenarnya apa yang membuat organisasi jurnalis secara tegas menolak RUU ini? Menarik jadi pembahasan sebab jelas jika dibaca lebih cermat lagi, ada tambahan beberapa pasal dalam Omnibus Law yang bersinggungan bahkan mengatur ulang tentang pers ini. Menjadi persoalan besar ketika upaya pemerintah dalam mengatur ulang mengenai pers ini justru diindikasi kuat sebagai satu langkah mundur dari cita-cita reformasi, sebab memiliki potensi besar dalam membumihanguskan kebebasan pers yang bersama-sama diperjuangkan puluhan tahun silam pada masa orde baru.
Contoh kecil saja, salah satu pasal yang menyebut bahwa negara melalui peraturan pemerintah bisa memerintahkan lembaga negara yang bersangkutan untuk memberikan hukuman atau sanksi sewenang wenang terhadap perusahaan pers.
Namun entah lembaga mana yang akan pemerintah berikan mandat untuk melaksanakan hukuman terhadap perusahaan pers nanti ketika dianggap melanggar regulasi. Yang jelas ini tidak pernah diatur dalam UU Pers yang sebelumnya sudah ada.
Dan apabila kita cermati peraturan pengganti tersebut sangat mirip dan sangat berpotensi untuk melahirkan kembali departemen penerangan gaya baru yang telah menjadi musuh dari kebebasan pers di masa orde baru sebab memang sangat tidak sesuai dengan prinsip kebebasan yang jadi nyawa dari pers dan jurnalistik itu sendiri.
Belum lagi ada poin selanjutnya yang bermasalah, dalam Omnibus Law disebutkan dengan gamblang nominal penambahan denda sebagai sanksi dari pelanggaran terhadap UU Pers pasal 5 ayat 1 dan 2 yang pada awalnya maksimal jumlah denda hanya Rp 500 juta saja menjadi maksimal Rp 2 milyar dalam RUU CIPTA KERJA ini.
Maka setelah itu kita layak untuk berfikir ini bukan lagi soal nominal denda, mari kita berpikir sedikit mendalam mengenai apa yang jadi orientasi terselubung dari negara melalui wacana penambahan sanksi yang signifikan ini. Tentu saja akan memberikan dampak yang besar berupa berkurangnya daya kritis sebagai manifestasi kontrol sosial yang jelas jadi salah satu fungsi pers itu sendiri. Perusahaan pers akan berfikir berulang kali ketika akan mengangkat sebuah topik berita yang mendekatkan perusahaannya dengan potensi pelanggaran dari pasal 5 ayat 1 dan 2 walaupun informasi tersebut sangat dibutuhkan oleh rakyat secara luas.
Maka kata kuncinya adalah bagaimana negara sedang meneror pers lewat banyak sekali aturan yang bisa kita lihat bersama hari ini pada naskah akademik Omnibus Law.
Dan kemudian kita tahu betul, bagaimana pola-pola memberikan teror dan intimidasi lewat regulasi terhadap lembaga pers ini adalah cara yang sangat usang serta sering kita lihat dan dengar pada masa orde baru yang lalu. Ini baru perihal pers, dan diluar itu banyak sekali indikasi yang sangat kuat bahwa pemerintah hari ini sedang merindukan dan sangat ingin melakukan reuni dengan orde baru.
Maka, kita sebagai buah dari reformasi haruslah mulai menyalakan alarm waspada terhadap kembalinya mereka.