Oleh: Helmi Hidayat
(Intelektual Islam)
Setiap menjelang pergantian tahun Masehi, Khalifah Harun Al-Rasyid selalu uring-uringan. Sejak awal Desember dan berlanjut hingga akhir bulan, dia selalu berhadapan dengan ceramah beberapa ustaz yang rajin mengingatkan umat Islam untuk tidak memeriahkan pergantian tahun dengan meniup terompet. Mereka tak segan menyatakan siapa saja Muslim yang meniup terompet di malam pergantian tahun Masehi berarti dia telah keluar dari Islam dan karena itu harus mengulang baca dua kalimat syahadat.
Ceramah-ceramah serupa ini tentu saja merisaukan sang khalifah. Pertama, akibat ceramah serupa itu banyak masyarakat awam menjadi gamang lalu datang kepadanya menanyakan kebenaran ceramah tadi. Kedua, jika benar gara-gara meniup terompet kaum Muslim jadi keluar dari Islam, ini sungguh mengerikan; sejarah akan mencatat bahwa di masa Khalifah Harun Al-Rasyid, jumlah umat Islam di Baghdad punah gara-gara terompet. Ketiga, sebagai kepala negara yang mengayomi rakyat dengan beraneka suku dan beragam agama, Khalifah Harun tentu ingin bergabung bersama rakyatnya, baik Muslim maupun Nonmuslim, untuk berdoa bersama sambil merayakan pergantian tahun tanpa tudingan ‘’khalifah kafir gara-gara meniup terompet’’.
Jika uring-uringan seperti itu, seperti biasa, sang khalifah memerintah pengawalnya memanggil Abu Nuwas ke istana. Biasanya khalifah menerima sang pujangga di ruang tengah lantai dasar, tempat ia dan para menterinya berdiskusi. Tapi, malam itu ia sengaja menerimanya di balkon lantai dua yang berhadapan langsung dengan alun-alun istana. Ia sengaja ingin mengajak Abu Nuwas duduk bersamanya melihat rakyat Baghdad yang multikultural merayakan pergantian tahun baru Masehi. Sambil menunjukkan terompet di tangannya, Harun mengawali obrolan:
"Menurut Saudara, apakah di detik-detik pergantian tahun nanti saya boleh meniup terompet?’’
"Silakan paduka yang mulia, tiup saja yang keras?’’ jawab Abu Nuwas spontan.
"Apakah saya tidak jadi kafir gara-gara meniup terompet ini?’’
"Paduka, seseorang masuk kategori kafir atau tidak kafir, itu hanya Allah yang berhak menentukan, bukan manusia yang tidak memiliki surga atau neraka,’’ jawab Abu Nuwas berapi-api. ‘’Saya juga tidak yakin, masa iya sih Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim itu memasukkan paduka yang mulia ke dalam golongan orang-orang kafir yang hanya gara-gara terompet? Buat apa kalau begitu tindakan membela kemanusiaan yang sudah paduka kerjakan untuk rakyat selama ini kalau hanya gara-gara terompet paduka masuk neraka?’’
Khalifah Harun sama sekali tidak membantah argumentasi pujangga yang diseganinya ini. Ia membenarkan bahwa hanya Allah di Gurun Mahsyar nanti yang paling berhak menentukan seseorang kafir atau tidak, masuk surga atau neraka, tapi persoalannya adalah kini mereka masih hidup di dunia. ‘’Saya sangat memahami argumentasi Saudara, tapi masyarakat awam sedikit banyak terpengaruh oleh ceramah beberapa ustaz yang lebih banyak mengandung ancaman neraka ketimbang kabar gembira surga itu. Ancaman dicap kafir gara-gara meniup terompet itulah yang membuat masyarakat awam resah dan membuat saya gamang meniup terompet ini di depan rakyat.’’
"Mengapa paduka jadi gamang? Tadi paduka khalifah sudah menyatakan memahami argumentasi saya?’’
"Saya bukan gamang akibat dimasukkan dalam kategori keluar dari Islam oleh para ustaz itu. Saya kafir atau tidak, saya lebih tahu diri saya ketimbang ustaz-ustaz itu, lha wong di tahun-tahun lalu setelah meniup terompet saya tetap shalat kok."
"Lalu mengapa masih gamang?"
"Saya gamang karena usai saya meniup terompet, para ustaz itu akan berceramah di mana-mana sambil menyebut khalifah telah kafir gara-gara meniup terompet. Ceramah mereka masif, didengar oleh jutaan orang awam, itu yang membuat saya gamang. Kapan saya leluasa membangun negara jika setiap hari saya disibukkan oleh tudingan kafir?"
Khalifah Harun kemudian mengeluarkan catatan kepada Abu Nuwas. Isinya dalil-dalil yang selalu disampaikan para ustaz itu untuk menyatakan bahwa meniup terompet adalah haram dan bisa menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Pertama, meniup terompet adalah tradisi Nashrani. Kedua, pergantian tahun Masehi sesungguhnya adalah pergantian tahun Nashrani karena kelendernya dimulai dari kelahiran Yesus Al-Masih. Karena itu, ini dalil ketiga, jika ada seorang Muslim meniup terompet di awal pergantian tahun Masehi, dia bisa dianggap keluar dari Islam berdasarkan hadis Nabi SAW: "Barangsiapa menyerupai satu kaum maka sesungguhnya ia telah menjadi bagian dari kaum itu."
Mendengar penjelasan itu, Abu Nuwas tertawa terbahak-bahak. Sang pujangga sampai lupa bahwa dia sedang berada di balkon istana bersama khalifah paling populer di dinasti Abbasiyah.
"Paduka yang mulia, jika persoalannya seperti itu, mudah sekali jalan keluarnya. Jika nanti paduka diserang gara-gara terompet ini, sampaikan pada mereka sejak kapan terompet ini masuk agama Nashrani. Tradisi meniup terompet justru dimulai oleh kaum Yahudi. Mereka meniup Shofar, terompet yang terbuat dari tanduk binatang, untuk memberi tanda dimulainya shalat di sinagoge mereka."
Khalifah menyimak.
"Jadi, kalau terompet ini dengan logika mereka bisa masuk Kristen, sekarang mengapa tidak kita biarkan saja terompet ini masuk Islam?"
"Abu Nuwas, saudara belum gila kan?"
"Tidak. Mari kita bimbing terompet ini masuk Islam. Pertama-tama, bukankah paduka percaya ajaran Islam bahwa kita harus selalu membaca bismillahirrahmaanirrahim setiapkali mengerjakan sesuatu agar Allah merindhoi pekerjaan kita? Nah, sekarang bacalah bismillah, maka sejak sekarang tindakan paduka memegang terompet ini menjadi islami dan terompet ini resmi masuk Islam."
Khalifah tertawa, hatinya senang bukan main. "Bismillaahirrahmaanirrahiim ….," ujar Khalifah Harun Al-Rasyid sambil mengelus-elus terompetnya yang baru masuk Islam.
"Nah, sekarang, agar apa yang paduka lakukan diridhoi Allah SWT, mengapa paduka tidak berzikir pada Allah saja sebelum meniup terompet? Dengan begitu, jika nanti paduka diserang para ustaz itu, paduka bisa bersumpah demi Allah di depan seluruh rakyat bahwa apa yang paduka kerjakan jauh dari tuduhan para ustaz. Paduka justru sedang berdakwah dengan meniup terompet itu, mengajak seluruh rakyat berzikir di malam pergantian tahun, bukan sedang melakukan kesia-siaan. Di depan kaum Muslim, paduka mengajak mereka melakukan kebaikan, di depan kaum Nonmuslim, sebagai kepala negara, paduka tetap menganyomi mereka sambil menunjukkan karakter Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin … "
Khalifah terharu mendengar argumentasi Abu Nuwas lalu memeluk pujangga ini dengan erat. Jam di tangannya menunjukkan angka 23:57 Waktu Baghdad. Dia berdiri menghadap rakyatnya yang sejak pukul 21:00 sudah berduyun-duyun memadati halaman istana.
Sebagian masyarakat yang sudah terprovokasi oleh ceramah-ceramah penuh ancaman itu menunggu berdebar-debar apakah khalifah berani meniup terompet. Awas, jika khalifah berani menipu makhluk kecil itu, mereka sudah bersiap-siap menyampaikan ceramah penuh kecaman. Mereka tak mau punya pemimpin kafir. Sedangkan umat Islam yang lebih adaptif dengan multikulturalisme yang mengepung Baghdad juga berdebar-debar, apakah Khalifah Harun akan meniup makhuk mungil yang bikin geger itu. Jika khalifah berani meniupnya, sebuah harapan agar Harun menjadi khalifah yang mengayomi semua anak bangsa, terlepas apa suku dan agama mereka, akan mekar di hati mereka.
Baghdad pukul 23:59. Khalifah Harun Al-Rasyid berdiri di balkon menghadap rakyatnya, sementara terompet di tangannya masih ia sembunyikan. Maka, ketika jarum jam menunjukkan angka 00:00, Khalifah mengangkat terompetnya tinggi, lalu di depan pengeras suara ia berucap dengan khusyuk kepada Allah:
"Subhaanallaah …. " -- Toeeeeeet …toeeeeeeet
Rakyat Baghdad bergemuruh.
"Alhamdulillaaaah …." --- Toeeeeeet …toeeeeeeet
Rakyat Baghdad sujud ke Bumi tanda bersyukur.
"Allaaaaahu Akbar …" --- Toeeeeeet …toeeeeeeet
Selamat Tahun Baru, semoga Allah selalu menggelontorkan nikmat, rahmat, dan berkah-Nya pada kita semua …