Oleh: Damar Rizki
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, politik tidak pernah absen dalam ruang kehidupan kita, dari obrolan di dunia maya, warung kopi hingga obrolan di lobby dan kadang berujung pada bui, atas dugaan delik pidana. entah itu dugaan hate speech, berita hoax dan bahkan pasal 310 KUHP atau pencemaran nama baik bisa dikenakan, oleh politisi baperan, saya rasa terlalu lebay jika dibawa ke ranah pidana walaupun itu hak konstitusional individu masing - masing dan tergantung dari sisi mana serta kewarasan akal sehat kita untuk menyikapinya.
Politik bukan serta merta untuk meraih kekuasaan saja, tapi harus lebih difokuskan bagaimana mengatur societas manusia. saya rasa terlalu barbar dan terlalu prematur jika subtansi dari politik adalah kekuasaan, walapun hal politik tidak lepas dari namanya kekuasaan. padahal ranah dari subtansi politik ini luas, tapi apa yang terjadi, kalangan politisi 'manja' ini selalu fokus pada ranah tahtanya saja serta sibuk memikirkan hidup yang lebih layak bagi dirinya sendiri dan golongannya. Seolah - olah politik ini dijadikan ladang pendapatan ekonomi mereka. Sedangkan nilai humanisme untuk rakyatnya, selalu di reduksifasi. apakah ini yang disebut sebagai Homo Homini Lupus? atau machiavelisme? hanya hukum alam yang mampu menjawabnya.
Namun jika melihat fenomenologis untuk hari ini, kekuasaan selalu dibungkus oleh narasi "atas nama rakyat". karenanya tak heran, para politisi ini berlomba lomba membuat semacam sertifikasi/pengakuan dari rakyatnya. dan setelah mendapat semacam sertifikasi dari rakyatnya, maka hanya salam perpisahan yang diberikannya, mirip semacam seni muslihat memang. tapi sulit untuk dipungkiri inilah wajah paradoksal dari politik kita dan mereka yang “tersinari cahaya tuhan” dihari pengukuhannya, tidak menutup kemungkinan akan jadi orang - orang murtad esok hari.
Politisi adalah seorang negarawan, tapi bila negarawan tersebut tidak bisa dikenang atas karya kemanusiannya, biarlah mereka dikenang atas karya kriminalnya (Sub Marcos). mengingat ruang koridor demokrasi kita masih berdesakan dengan ego sentris para pemangku kepentingan, saya menyebutnya bukan lagi kebijakan melainkan kepentingan, terlalu barbar memang, disatu sisi ini refleksi yang harus kita ketahui, terlepas dari itu yang namanya rahasia umum. tidak sejalannya atau tidak pro rakyatnya aturan yang mereka buat adalah bukti bahwa hari ini lokomotif sosial kita masih belum berada di jalur atau rel kesejahteraan rakyatnya, masalahnya adalah kita tidak memiliki Masinis yang cakap dan handal.
Lalu, apakah hari ini demokrasi kita sudah sampai pada tujuannya yakni, mensejahterakan rakyat atau hanya sebatas lips service saja?
nyatanya tidak, melihat gelagat para elit seperti ini rasanya pesimis dalam mensejahterahkan rakyatnya.
bukankah demokrasi dibangun atas musyawarah dan mufakat ?
iya betul, terlepas itu dari si miskin dan si kaya.
tapi, saya tegaskan si miskin dan si kaya, hari ini masih mempunyai "perut".
dan yang di khawatirkan wakil rakyatnya makin kaya, rakyatnya makin melarat.
Rasa penasaran saya sebagai rakyat yang berburuk sangka kepada wakil rakyatnya, belum sampai disini saja. Masih banyak kegundahan/keresahan yang perlu saya tuangkan dalam naskah yang lain. Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada sukabumiupdate.com yang telah memberikan halamannya untuk saya bernarasi.