Oleh: Heni Andriani (Member Akademi Menulis Kreatif)
Pendaftaran siswa baru sudah mulai dibuka, baik dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas disambut dengan gembira, terutama bagi mereka yang memiliki prestasi yang bagus. Namun apa jadinya, ketika kebijakan zonasi dalam memilih sekolah ditetapkan, hanya bisa mengelus dada. Berbagai impian tentang sekolah favorit ini seakan buyar dengan adanya kebijakan zonasi. Apabila sekolah yang diidamkan di luar wilayah atau daerah tempat tinggal, hancurlah impian bersekolah di sekolah favorit. Jikalau dulu anak-anak bebas sekolah dimana saja sesuai impian dan harapannya, namun tidak kali ini.
Semenjak ada kebijakan sistem zonasi terasa sulit untuk meraih impian sekolah favorit. Kebijakan zonasi ini diterapkan sejak tahun 2016.
Ada yang rela pindah rumah dekat dengan sekolah impiannya, ada juga yang menyuap demi bisa masuk sekolah yang diidamkan. Sebenarnya, sistem zonasi ini diterapkan agar terjadi pemerataan dan keadilan sekolah. Jadi tidak ada lagi istilah sekolah favorit dan non favorit. Sistem zonasi, sebagaimana di tuturkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, kebijakan zonasi yang diterapkan sejak 2016 menjadi pendekatan untuk mewujudkan pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan. Mendikbud meminta Pemerintah Daerah dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat, bahwa kebijakan zonasi tidak hanya digunakan untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Namun, ternyata Kebijakan zonasi ini mendapatkan kritik dari Ketua komisi X DPR RI dari Fraksi Demokrat, Djoko Udjianto. Menurut beliau, Kemendikbud harusnya realistis dalam menentukan persentase kuota dengan cara melihat di lapangan. Presentase prestasi ini, yang terpenting harus pas dalam menerapkan kebijakan sesuai kemampuan daerah-daerah."
Berbagai fakta menunjukkan bahwa sistem zonasi ini belumlah layak diterapkan mengingat sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia belumlah layak. Apalagi jika membandingkan negara-negara maju seperti Jepang dan negara lainnya. Karena di Indonesia masih banyak sekolah - sekolah yang rusak, guru - guru yang masih harus ditingkatkan kualitasnya, sistem gaji untuk para guru terutama guru honorer yang belum sejahtera dan berbagai hal yang menghambat dunia pendidikan. Belum lagi persoalan out put pendidikan yang tidak berkualitas. Sebuah media online menyebutkan, daerah semisal Sukabumi masih banyak bangunan sekolah yang rusak. Ada sekitar 800 bangunan SD dari mulai rusak sedang, ringan hingga berat. Bahkan untuk kabupaten Sukabumi kekurangan guru sekitar 12000 orang.
Dengan kondisi seperti ini sistem zonasi sekolah tentunya tidak akan berhasil bahkan akan terjadi masalah baru semisal ada sekolah yang penuh dengan murid adapula yang kekurangan murid, mengingat sarana dan prasarana yang tidak menunjang bahkan ditambah dengan infrastruktur sekolah yang tidak memadai semisal jalan raya menuju sekolah. Masih banyak guru, murid yang terhambat ke sekolah karena berurusan dengan kondisi jalan. Dari sinilah perlu pengkajian ulang terhadap sistem zonasi jangan karena ingin meniru negara lain tetapi berbagai hal menunjang pendidikan oleh negara tidak diperbaiki dan dipersiapkan secara sempurna.
Memang saat ini sistem pendidikan yang digunakan menggunakan sistem kapitalisme. Pendidikan yang selayaknya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia secara gratis dan sempurna.Pada kenyataannya malah banyak yang tidak bisa menikmati pendidikan.
Cobalah tengok, akibat diterapkan pendidikan yang bersandar kapitalis menghasilkan out put yang nihil akhlak mulia dan ujung-ujungnya hanya jadi buruh bahkan ketika pun jadi pejabat malah banyak yang korupsi, Sungguh hal ini sangat menyedihkan.
Berbeda dengan islam pendidikan merupakan kebutuhan pokok. Pendidikan diberikan secara gratis dengan dilengkapi fasilitas yang lengkap dan bisa dinikmati semua kalangan tanpa ada perbedaan. Kurikulum dibuat berdasarkn akidah Islam sehingga siswa memiliki kekuatan akidah yang kokoh. Di dalam Kurikulum Islam dibedakan antara ilmu terapan dan tsaqofah sehingga mampu membedakan mana yang boleh diambil mana yang tidak boleh diambil.
Negara bertanggungjawab penuh terhadap penyelenggaraan pendidikan. Karena memahami bahwa setiap pemimpin laksana penggembala yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sistem ekonomi sebagai penyokong pendidikan diselenggarakan dengan sistem non ribawi. Kalangan pekerjaan disediakan untuk menunjang kemajuan perekonomian rakyat. Pada akhirnya sistem pendidikan akan terwujud menuju generasi yang unggulan kuat secara akidah cerdas ilmu pengetahuannya sain dan teknologi mulia akhlaknya.
Hal ini bisa kita temukan pada masa Dinasti Abassiyah yang melahirkan ahli ilmu sekaligus ilmuwan yang tidak pandai dalam satu bidang ilmu agama tetapi pandai dalam bidang kedokteran, fisika, matematika, kimia dan lain - lain. Sungguh mendambakan generasi ini hanya bisa tercapai dalam sistem yang berasal dari Alloh (Khilafah) mustahil hal ini didapatkan dalam sistem demokrasi.
Wallohu a'lam bish ashowab.