Oleh: M Tahsin Roy, Ketua PLP Sukabumi.
Poltik abad 21 kiranya mengalami perubahan dari segi mediumnya. Dalam politik apapun harus dipolitisasi, termasuk perkembangan teknologi yang akhirnya menciptalan dunia virtual dalam wujud media sosial.
Kutub-kutub opini terus berkembang menyasar pusat moral, intelektual dan ideologi. Sekuwensinya dua arah, yakni pintar bareng atau goblok berjemaah.
Watak Anarki Digitalisme
Tumbuh dalam watak digitalisme adalah sebuah keharusan, namun tangkas dalam mengelola media sosial tak semua individu mampu. Singkat kata, kekuatan internet adalah watak anarkinya. Berikut ulasan sekilasnya.
Dalam takaran wajar penggunaan medium virtual ini memang cukup bermanfaat, karena dapat menyentak semua proses untuk menyuburkan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, jika watak anarki menggerus pungsi filterisasi akal, maka bisa merangsang kalenjar adrenalin kita melampaui titik moralitas
Singkatnya, kehangatan berwarganegara pudar. Pilsafat publik kita merosot, caci maki merajai dinding kebersamaan, fitnah meruntuhkan persatuan kita sesama anak bangsa.
Wacana elite
Mobilisasi opini dan wacana politik kebangsaan kita menjadi sesuatu yang sulit kiranya untuk diwujudkan, para elite menyalahgunakan pungsi demokrasi ala media sosial demi untuk berebut elektabilitas.
Akibatnya, kemarahan menjadi alat uatama untuk memperdalam jurang pemisah. Dengan begitu keramahan elite hanya berlabuh pada mereka yang seide. Yang tidak, ya didelik kan.
Saudara, jika kita mau berkaca pada sejarah kontemporer, bahwa pertarungan politik di media sosial sudah menjadi suatu kewajaran. Antara masyarakat dengan masyarakat misalnya, masyarakat dengan elite, dan elite dengan elite tentunya. Dengan cara itu iklim demokrasi bisa berputar sebagaimana mestinya.
Tapi faktanya, seni itu telah dihijab oleh kepentingan elitis individual. Sekejap iklim demokrasi berubah menjadi kaku. Menjadi momok yang setiap saat mengintai mereka yang tak sependapat.
Politik layar lokal
Hal yang serupa juga terjadi pada kondisi etalase politik regional kita. Pertarungan gagasan pemikirian tidak tumbuh dalam tradisi intelektual, melainkan memperlihatkan sikap arogansi yang berlebihan.
Medium virtual kita, disesaki oleh kepentingan satu kelompok, sementara kelompok yang lain dianggap pengganggu. Saling tuduh, saling tuding. Padahal kedua-duanya adalah penikmat sorak kegaduhan.
Waktu memang tidak terulang lagi, namun energi yang tersisa ini jika digunakan secara baik, tentu akan mampu memberikan hasil yang baik pula. Kepada para kandidat, pegiat dan pengamat, pergunakanlah sebaik mungkin medium publik ini sebagai ladang subur untuk mendulang simpati.
Jangan lagi menjual amarah, menyekat kebebasan dengan kepentingan yang kesemua itu hanya akan menambah sinisme publik.
Gnerasi muda cenderung tidak suka dimobilisasi. Mereka justru lebih senang jika diberi ruang untuk menyumbangkan pemikiran, berdialog terbuka dari hati ke hati, sehingga semua persoalan dan keresahan masyarakat bisa ditampung dan dicarikan formula solusinya.
Sebagai penutup
Bahwa media sosial berawal dari pikiran, lalu jari-jari adalah penentu paling akhir. Kita tidak sedang berinterkasi pada ruang maya, melainkan berada di ruang nyata.