Oleh: Kang Warsa
Media sosial seolah telah menjelma menjadi belantara gelap dimana di dalamnya para dedemit melancarkan perang tanding tanpa mengusik ketenteraman binatang (penghuni hutan asli) yang tetap nyaman menikmati segarnya udara di belantara.
Beberapa teman sempat bertanya kepada saya, bagaimana nanti kondisi Indonesia atau dalam skala paling kecil yaitu Kota Sukabumi setelah Pemilu 2019 selesai ? Sebetulnya, jawaban terhadap pertanyaan seperti ini kita tidak perlu memerlukan berbagai pendekatan apalagi melalui telaah atau penelitian terlalu serius.
Fakta yang terjadi - beberapa bulan ke belakang saja- pascapilkada di beberapa daerah termasuk Jawa Barat dan Kota Sukabumi tidak jauh berbeda kondisinya dengan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada sebelum-sebelumnya.
Biasa saja. Masyarakat sebagai bagian dari mikro-politis negara dan kota ini sama sekali tidak terlalu terkena dampak apapun oleh siapa yang terpilih sebagai kepala daerah, presiden, dan anggota legislatif. Dalam kehidupan di masyarakat, pandangan yang berkembang adalah harapan-harapan kebaikan, siapapun yang menjabat nanti dapat memulihkan kondisi ke arah yang lebih baik. Titik.
Narasi-narasi dan wacana-wacana besar bahkan saya pikir terlalu dibesar-besarkan di media massa dan media sosial tidak terlalu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat secara umum. Satu hari setelah pemungutan dan penghitungan suara di TPS, saya menyaksikan para tukang tembok yang sedang merehabilitasi rumah saya toch bekerja seperti biasa, tertawa terpingkal, becanda bersama, bahkan cenderung riang saat menamparkan sendok tembok ke dinding bata merah.
Abah Kanta pun demikian, sehari setelah Pemilu, kembali melakukan aktivitas hariannya, pergi ke sawah, ada semangat dan rasa bahagia, mungkin musim panen kali ini menjanjikan keuntungan bagi lelaki tua itu.Kesenjangan justru terjadi antara dunia nyata (realitas) dengan dunia maya (media sosial).
Perang adu narasi, adu wacana, adu status, hingga adu kuat hoaks, sampai saat ini terus berlangsung secara sengit dilancarkan oleh dua kubu militan, terutama kubu-kubu yang berbeda pandangan dalam Pilpres.
Fenomena apakah ini? Gejala apa yang sedang terjadi di masyarakat kita? Perang yang sebenarnya antara dua kubu justru berpindah ke ranah dunia awang-uwung yang tidak tersentuh masyarakat secara umum? Apakah perang narasi dan wacana yang dilancarkan oleh dua kubu tersebut merupakan bentuk kepintaran virtual atau hanya hembusan dari sekelompok orang yang merasa dirinya telah tercerahkan oleh pemanfaatan teknologi dan informasi? Di Dunia nyata yang sebenarnya, padang rumput kehidupan itu justru sebaliknya, antara kubu 01 dan 02 malah duduk bersama sambil ngopi dan ngudud (ngopdud) bareng, tidak seberingas ketika saya mengintai langsung perdebatan di dunia maya.
Media sosial seolah telah menjelma menjadi belantara gelap dimana di dalamnya para dedemit melancarkan perang tanding tanpa mengusik ketentraman binatang penghuni hutan yang tetap nyaman menikmati segarnya udara di belantara.Secara terus-menerus, saya mengamati kaca spion untuk mengawasi beberapa kali pesta demokrasi diselenggarakan di negara ini.
Pemilu 2014, toch tetap saja dapat dilalui meskipun saat itu diramaikan oleh dugaan dan sangkaan serta perang narasi dan wacana di media sosial terhadap adanya kecurangan dilakukan oleh pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan penyelenggaraan Pemilu. Hanya saja, karena akses penggunaan media sosial tidak semeriah tahun ini, perang wacana dan saling cemooh antara satu kubu dengan kubu lainnya tidak lebih mengerikan seperti sekarang.
Saat ini, dengan hanya mengklik tombol berbagi atau sharing tulisan dari kubu yang mereka telah anggap benar, kemudian diberikan berbagai komentar, semua orang ikut larut di dalamnya, bukan hanya masyarakat pengguna media sosial dari kalangan biasa, orang-orang sekelas cerdik pandai pun tidak dapat menahan rasa gatal jemari mereka untuk mengomentari apa yang dibagikan, tanpa berpikir panjang bahwa dirinya merupakan bagian dari sebuah lembaga suci bernama sekolah, perguruan tinggi, dan berani mempertaruhkan profesinya sebagai kalangan cerdik pandai yang telah tercerahkan dirinya oleh logos atau penggunaan nalar yang bersih.
Narasi besar sejak proses penghitungan suara dari hulu ke hilir yang sering dibahas dan diwacanakan oleh para pengguna media sosial sama sekali memperlihatkan sikap-sikap sporadis, acak, sarawel-rawelna dalam term Sunda, kesana kesini, dari satu permasalahan ke permasalahan lain yang tidak memiliki pangkal ujung. Dari wacana memihaknya lembaga survey saat Quick Count, kesalahan input C1 ke website pemilu2019. kpu.go.id yang berujung pada tudingan curang penyelenggara (KPU), people power, hingga pernak-pernik lainnya seperti; mubahalah, kemenangan pasangan calon A didukung oleh wilayah-wilayah radikal, basis-basis masa lalu sebagai partai komunis, politik identitas berlandaskan kesukuan dan keagamaan, yang pada akhirnya secara tidak disengaja meruntuhkan asas utama berdirinya negara ini: Bhineka Tunggal Ika.
Saya pikir, wacana dan narasi yang diributkan itu hanya berlangsung di ranah awang-uwung, suatu tempat di mana para dedemit asik memainkan peran-peran mereka karena ketidaksanggupan mereka kembali ke dunia atau kembali pulang kepada Yang Maha Kuasa. Sebab, jika kita membalikkan tubuh kita ke bumi atau membumikan kembali ingatan kita yang telah melayang-layang seperti dedemit marakayangan, kesadaran itu tumbuh kembali, bahwa kita ini hidup bukan di dunia maya yang penuh dengan godaan akal bulus, nafsu mengomentari setiap gerik status. Dengan kembali menapaki tanah di bumi kita menjadi sadar, Pemilu dan Pilpres hanya merupakan bagian terkecil dari demokrasi di negara ini.
Orang dapat memerankan apa pun demi alasan mengabdi dan berbakti kepada negaranya, warga negara dapat berpartisipasi sebagai orang-orang baik untuk mengabdikan diri kepada tanah airnya. Untuk berbuat kebaikan bukankah kita tidak harus menunggu menjadi seorang presiden, artis ternama, atau tokoh yang dianggap penting? Pun jika nalar dan pikiran kita dikembalikan kepada sikap transenden, dimi'rajkan ke langit ketujuh, dikembalikan kepada kemahakuasaan-Nya, seberapa penting wacana dan narasi yang kita hembuskan jika dibandingkan dengan kemahaluasan dan kumpulan nektar takdir-Nya? Kaum beragama akan meyakini sepenuhnya, takdir Ilahi merupakan jawaban terhadap apa yang terjadi di dunia ini. Apa yang sedang kita ramaikan, kita wacanakan, kita perangkan, kita asumsikan, dan kita perdebatkan? Hanya merupakan noktah paling kecil dari kompleksitas semesta yang tidak berujung.
Apakah dengan klaim kemenangan dan merasa telah dapat menghempaskan pandangan orang lain dengan cara pandang kita akan melebihi besarnya Jupiter? Dapat menghentikan luapan air yang telah menjelma menjadi banjir? Apakah narasi-narasi tudingan dan keangkuhan kita dapat mengalahkan riak alam ini? Sangat tidak mungkin! Sadarilah, kita sedang hidup di sebuah planet, kaki kita masih menginjak tanah.
Kita bukan dedemit-dedemit penghuni belantara yang terus-menerus haus terhadap perkelahian. Kita masih tetap manusia yang akan mudah kembali ke titik tengah setelah kita berfantasi ria menduduki singgasana kepalsuan, seolah kita telah menjadi pemenang.