Oleh : Oksa Bachtiar Camsyah
Akhir-akhir ini, negeri kita terasa semakin gaduh. Riuh rendah suara-suara yang dijiwai hasrat emosional terasa semakin pekat dalam rongga kehidupan keseharian kita. Dari persoalan tagar di media sosial, hingga tentang pengelolaan negara yang bertugas menghadirkan keadilan sosial.
Tidak ada yang salah dengan itu, setiap orang berhak untuk memberikan kepuasan pada hasrat emosionalnya. Walaupun seorang Green mengatakan bahwa sesuatu apapun yang didasarkan pada dorongan emosional, itu tidak akan berakhir baik.
Kegaduhan hari ini merupakan efek akumulatif dari berbagai dorongan-dorongan emosional yang semakin hari semakin berlipat ganda. Dan suatu hasrat akan menghilang apabila telah ada kepuasan yang didapatkan untuk memenuhi hasrat tersebut, dan hari ini ada sebagian orang yang sedang melakukan itu.
Patron yang dibangun atas dasar figuritas dan dorongan emosional, hanya akan bermuara pada ketidakmampuan kita untuk menilai sesuatu secara objektif terhadap patron tersebut. Apapun yang kita lihat dan juga kita dengar, akan disimpulkan setelah semuanya terwarnai oleh warna-warni hati kita. Semua menjadi tidak genuine. Kita tidak murni lagi dalam bersikap.
Hari ini, bisa kita saksikan fenomena demikian. Manusia yang sudah memiliki dasar cinta atau benci pada suatu hal, ia akan sangat sulit untuk berpikir secara objektif tentang hal tersebut. Yang dasarnya cinta, seburuk apapun hal itu, dimatanya akan sangat terlihat indah. Begitupun sebaliknya. Dan itulah bagaimana hasrat emosional akan sangat mempengaruhi kita dalam menyikapi setiap persoalan. Kita tidak akan "waras" dalam bersikap.
Dukungan yang berbasis emosional, hanya akan bermuara pada segmentasi kelompok yang terpecah belah dan sulit sekali untuk menerima sesuatu yang dianggap berbeda dengan patron utamanya. Seperti salah satu karakter bangsa Arab sebelum islam hadir, bahwa mereka dikenal sebagai bangsa yang tidak pernah bersatu, tersegmentasi ke dalam kelompok-kelompok kabilah, tempramental, dan mudah terprovokasi. Gemar berperang dan menemukan kebanggaan-kebanggaan dalam gemuruh peperangan. Dan itu tidak menutup kemungkinan akan terjadi di negeri kita, apabila kita tidak memiliki kemampuan untuk menghadirkan kesadaran pikiran kita, sebelum emosional kita mendominasi tindakan yang kita lakukan.
Muara paling berbahaya akibat lemahnya kita dalam menjaga pertahanan emosional kita adalah, kita sudah tidak mampu lagi untuk berpikir rasional dan enggan menerima sesuatu yang dianggap berbeda dengan keyakinan kita, walaupun sesuatu tersebut benar adanya. Itulah yang sedang kita saksikan hari ini. Semua merasa bahwa pihaknya yang paling baik, yang lain selalu salah. Dan semuanya adalah akibat hasrat emosional yang terus terpelihara yang pada titik tertentu akan menagih untuk dipuaskan. Bentuk aktualisasi dalam memuaskannya itulah yang tak jarang menimbulkan perpecahan dan disintegrasi.
Sukabumi, April 2019.