Oleh : Oksa Bachtiar Camsyah
Membaca iklim demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir rasanya memberikan satu kesimpulan bahwa kita sedang berada pada tahap transisi, dari masyarakat konservatif menuju masyarakat terbuka. Ya, preferensi tersebut dapat kita lihat dari berbagai aktivitas pengelolaan negara yang hari ini sering kita jumpai adanya keterlibatan publik di dalamnya. Entah itu melalui _social movement_ atau kanalisasi lainnya. Yang jelas, opini publik sedikit banyaknya telah mencoba masuk dan berusaha mendominasi ruang-ruang pengambilan keputusan.
Tentu itu menjadi suatu tren yang positif untuk sebuah negara demokratis seperti Indonesia. Walaupun pada tulisan sebelumnya saya mengatakan bahwa, kondisi tersebut tidak serta merta menjamin adanya peningkatan kualitas demokratisasi negeri ini. Namun minimal, publik telah menyadari bahwa perlu sekali masyarakat turut serta dalam penyelenggaraan negara. Karena itu adalah upaya untuk menjaga stabilisasi keadilan yang harus selalu dirasakan oleh segenap masyarakat kita, tentunya melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan.
Berangkat dari hal tersebut, kita dapat membaca bahwa ada satu arus besar yang sedang terjadi pada masyarakat Indonesia, dimana masyarakat kita mulai bisa mengedapankan rasionalitas untuk melahirkan keadilan bersama, ketimbang memelihara pragmatisme untuk memuaskan birahi pribadi. Walaupun ini belum terjadi secara merata, kaum urban masih cenderung mendominasi pergeseran tersebut.
Namun, hal tersebut akan coba kita dalami dengan sebuah fenomena politik uang dalam pasar demokrasi kita. Betulkah politik uang ini lahir dari "ketidakcerdasan" masyarakat dalam mengelola demokrasi, atau mungkin politik uang ini justru terus terpelihara akibat "ketidakmampuannya" para calon pemimpin kita untuk merumuskan metode kampanye yang tepat dan membawa semangat pencerdasan politik bagi masyarakat kita ?
Dalam konteks tersebut, saya ingin menyoroti kualitas sumber daya manusia yang ikut terlibat dalam kontestasi politik sekarang ini. Banyak sekali orang-orang yang dahulunya sama sekali tidak dikenal oleh publik atas kontribusinya terhadap perbaikan masyarakat, tiba-tiba muncul di setiap sudut jalan dalam baligho yang begitu besar dengan membawa jargon bahwa ia hadir untuk membela rakyat. Tentu publik akan sukar percaya untuk memberikan mandatnya kapada orang tersebut, karena belum ada bukti seperti apakah bentuk komitmen ia terhadap kepentingan masyarakat itu. Belum ada akumulasi _social capital_ yang bisa ia tawarkan kepada masyarakat.
Akibatnya, ilusi politik uang menjadi suatu hal yang pertama kali muncul dan mendominasi pikiran para calon untuk digunakan dalam upaya meraup elektoral. Dengan menjustifikasi pernyataan bahwa dengan beberapa lembar rupiah suara masyarakat tersebut akan berhasil didapat kan. Dan akhirnya, calon pemimpin tersebut bergerak secara sporadis dan tidak memiliki konsep yang baik bagaimana metode pemenangannya. Padahal, _demand_ akan politik uang itu belum tentu lahir di masyarakat. Itu akibat dari miskinnya konsep yang dimiliki para kontestan bagaimana mengelola proses demokrasi dengan semangat pencerdasan terhadap masyarakat. Ditambah, minimnya modal soial yang dimiliki para calon wakil rakyat tersebut, sehingga uang menjadi jalan pintas dalam meraup suara.
Maka, politik uang hanyalah sebuah ilusi yang pada kenyataannya bisa tidak benar-benar ada di masyarakat, ketika ada semangat pencerdasan politik yang didistribusikan oleh para calon kepada masyarakat. Di luar ongkos operasional, mitos politik uang dapat benar-benar dilenyapkan dari persepsi publik tentang politik, ketika ada gairah perbaikan yang di lakukan oleh para calon melalui metode kampanye yang dilakukannya. Dan politik uang hanya akan menjadi bunga demokrasi ketika seluruh calon memiliki akumulasi modal sosial yang mumpuni yang bisa di tawarkan kepada masyarakat. Maka, menjadi abdi masyarakat bukanlah program lima tahunan, karena gairah pengabdian itu harus sudah tertanam semenjak kita sadar bahwa ada sesuatu yang harus di perbaiki dan di selesaikan. Sehingga, uang tidak akan menjadi penentu nasib bangsa ini ke depan, dan masyarakat akan terbiasakan untuk berpikir secara rasional, siapakah yang pantas untuk ia pilih.
Sukabumi, 2019.