Oleh: Kang warsa
Vox Populi, Vox Dei, suara rakyat, suara Tuhan. Sederhana dalam menafsirkan frasa ini barangkali akan mengarah kepada pandangan segala suara: dari sarkastik hingga ke rintihan paling sayup diartikan sebagai suara Tuhan. Adalah Alcuin di abad keenam mengirim surat kepada Charlemagne berisi tidak selalu, ketika banyak kegaduhan yang menjurus kepada kegilaan, suara rakyat disamakan dengan suara Tuhan. Dan menjadi jelas, pembedanya adalah kegaduhan dan kegilaan.
Saat ini, tawaran kebaikan dari orang per-orang, dari ujung Barat sampai ujung Timur negeri ini disesaki oleh kalimat demi kesejahteraan rakyat. Sangat tidak adil jika tawaran itu disalahtafsirkan karena sikap apriori. Diterjemahkan sebagai jebakan sederhana untuk meraih keuntungan besar (suara rakyat). Sebab, ada dari tawaran kebaikan itu yang telah dirasakan oleh sebagian kecil rakyat di negeri ini.
Mayoritas dari tawaran kebaikan itu merupakan hal yang memang sudah jarang dijumpai dalam kehidupan. Spanduk dan baligo begitu popular manawarkannya. Namun, rakyat sudah merasa banyak tersakiti. Tawaran kebaikan itu pun dicibiri sebagai retorika usang. Hanya penegasan dari cara berpolitik. Sehingga, retorika dan memberi janji seolah menjadi tugas penting para politisi di sudut-sudut negeri ini hingga ke pusat negara.
Alasan apa pun, retorika apa pun hanya akan menjadi sampah yang tidak akan dilirik oleh rakyat jika tanpa dibuktikan oleh kerja nyata. Nalar manusia -rakyat Indonesia- berperan sudah sangat efektif sejak reformasi, pragmatisme politik sudah dikenal oleh masyarakat tidak sekadar oleh elit-elit saja. Ini harus menjadi pelajaran.
Pragmatisme bukan melulu berujung pada sebuah transaksi, kecuali harus menjadi awal dari sebuah kontrak kebaikan antara elit-elit politik dengan rakyat. Jika hal ini telah dimaknai dengan cerdas bahwa hubungan pragmatis politik ini bersifat dua arah, simbiosis mutualisma. Rakyat menginginkan kepastian terhadap apa yang telah ditawarkan oleh para elit, elit pun membutuhkan kepastian dukungan dari rakyat.
Memang ada hal penting, kehidupan ini selalu memiliki dua kantung. Tafsir kebaikan dan tafsir keburukan. Amphiteater raksasa kehidupan ini selalu diisi oleh dua jenis peran; protagonist dan antagonist. Skenarionya diisi oleh dua babak; happy ending dan tragedy. Dan jawaban terhadap dua kantung kehidupan ini adalah; kebaikan akan selalu diakui sebagai kebaikan, ukurannya adalah kebersihan cara pandang, kecerdasan pola pikir, dalam menilai apa yang diperankan oleh siapa pun dalam kehidupan ini.
Sejak zaman nabi Adam hingga zaman akhir nanti, manusia akan lebih menyukai puisi dari kegaduhan tidak beraturan. Karena keindahan akan dipandang sebagai sebuah keindahan ketika dicerna bukan oleh sebuah kegilaan. Terlalu seringnya memuat baligo tanpa bukti nyata, merupakan bentuk lain dari sebuah kegaduhan. Saya yakin, rakyat tidak akan menyebut ini sebagai tantangan untuk berperang, paling tidak mereka akan merasa lebih bosan dengan kegaduhan-kegaduhan bentuk lain itu.
Apalagi, jika telah mengarah kepada kegilaan, seperti; sudah tahu pembangunan di negeri ini masih belum maksimal, masih juga disebut sukses dalam billboard-billboard berukuran raksasa. sudah tahu manusia itu lebih mencintai kebersihan, masih juga dikotori dan disesaki oleh baligo-baligo berukuran raksasa, sudah tahu suara-suara yang tertulis pada baligo-baligo itu klise masih juga dikatakan sebagai suara Tuhan.
Rakyat tidak akan jenuh dengan tawaran kebaikan, sama halnya dengan Tuhan yang tidak akan jenuh mendengarkan doa hamba-hambaNya, jika tawaran dan doa tersebut disertai sikap rendah hati yang bermuara pada pembuktian. Jika tidak, sudah dipastikan para pemilik baligo itu sedang membuat sebuah scenario dan akan berujung pada sebuah tragedi.
Maka, amatilah oleh Anda, di sepanjang jalan yang Anda lalui, baligo-baligo dan spanduk mana yang pantas ditafsirkan sebagai suara Tuhan? Yang jelas Tuhan tidak pernah berbohong.
|[email protected]|Kang Warsa