Oleh: Oksa Bachtiar Camsyah
Politik, satu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Apalagi beberapa tahun terakhir ini, topik politik memang tengah menjadi sesuatu yang sangat seksi untuk diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat negara kita.
Disatu sisi, saya cukup merasa bahagia karena tingkat kepekaan publik terhadap nasib negara ini sudah mulai bertumbuh, terlepas dari berbagai bumbu-bumbu yang turut menyertai proses pendewasaan tersebut. Disisi lain, saya masih belum terlalu yakin bahwa kesadaran masyarakat terhadap politik tersebut seiring sejalan dengan peningkatan kualitas demokratisasi negeri ini.
Dalam iklim seperti ini, rasanya sangat perlu bagi kita untuk kembali melakukan pendekatan purifikasi makna politik dengan sentuhan substansi dari makna politik itu sendiri. Jangan sampai, sisi pemuasan hasrat duniawi para politisi terus mendominasi aktivitas "suci" ini. Karena apabila itu terus terjadi, maka harapan untuk terciptanya peningkatan kualitas demokratisasi negeri ini hanya akan menjadi hal yang utopis.
Namun, kita pun tidak bisa menutup mata dengan realitas yang hari ini dan mungkin juga dari dulu kita temui di dalam aktivitas masyarakat kita. Momentum tahun politik selalu memberikan kesan yang menjanjikan bagi pendapatan sampingan sebagian masyarakat negeri ini. Ya, aktivitas _money politics_ seakan telah menjadi ritual wajib dalam mengisi pasar demokrasi kita.
Fenomena ini pun tidak akan pernah terlepas dari peran partai politik yang merupakan pilar utama dalam kehidupan berdemokrasi. Partai politik pada idealitanya harus mampu menjadi industri pemikiran terbesar dalam upaya peningkatan kualitas demokratisasi negeri sebesar Indonesia. Namun, hal tersebut belum cukup tanpa adanya aktor yang mendistribusikan nilai-nilai tersebut. Karena, tanpa menyiapkan aktor sebagai operator aksioma, ideologi secanggih apapun akan lumpuh, hanya akan menjadi hiasan dialektik. Oleh karenanya, tantangan terberat bagi partai politik sebagai pilar demokrasi adalah menyiapkan kader-kader dengan basis ideologi yang mengakar, begitulah seorang Tamsil Linrung mengatakan dalam bukunya yang berjudul "Politik untuk Kemanusiaan". Partai politik harus memiliki sistem kaderisasi yang mapan, bukan hanya mengandalkan figuritas seseorang hanya demi mendongkrak elektoral semata. Karena itu akan berakibat menjamurnya para politisi tahu bulat. Namun, itulah realitas hari ini.
Selain pembenahan dan penguatan di dalam tubuh partai politik, rasanya perlu juga bagi kita untuk kembali memperkuat dimensi moralitas pada setiap individu masyarakat kita, terutama para kaum politisi. Karena, tidak bisa kita pungkiri bahwa noktah immoralitas seringkali mendominasi demokratisasi Indonesia. Makna politik harus kembali kepada fitrahnya, bahwa politik bukanlah rimba belantara yang memberi kebebasan bagi yang diamanahi kuasa untuk bertindak membabi buta, politik juga bukanlah medan pertempuran yang kuat untuk menghardik yang lemah. Maka, pada proses pencapaian kekuasaan ini pun harus disucikan dari noda hitam yang pada realitas hari ini masih kita saksikan. Praktik jual-beli suara masih kerap dilakukan, bahkan sudah bergerak secara mapan.
Dalam kondisi tersebut, wacana politik nol rupiah rasanya akan terus mengalami stagnasi. Pragmatisme publik telah membawa iklim demokrasi kita pada kondisi dimana satu suara dapat ditaksir berapa besar nilai rupiahnya. Sehingga pendekatan dalam pengelolaan demokrasi negeri kita ini akan terus menggunakan pendekatan kuantitas semata, tanpa diiringi oleh pendekatan kualitas. Siapa yang paling banyak meraup suara dalam pemilihan, dialah pemenanganya, memang itu tidaklah salah. Namun alangkah lebih baik apabila kuantitas suara tersebut dihidupi pula oleh basis kualitasnya. Dan kita harus terus memiliki sebuah impian. Impian untuk bagaimana menggeser paradigma suara yang dipersepsi murni kuantitas menjadi suara berbasis kualitas. Kita haruslah memiliki asa bahwa yang bergemuruh adalah suara kebenaran.
Selain pragmatisme publik, politik nol rupiah pun seakan telah tersandera oleh ke-absurditasan sistem politik kita hari ini. Panggung-panggung konflik yang sengaja di rekayasa demi memuaskan hasrat publik, kamar-kamar gelap transaksi, serta aksi saling jegal antar partai politik telah menjadi pemandangan yang nyaris mustahil untuk dihilangkan. Semuanya telah berjalan secara mapan. Bahkan, politisi yang memiliki ideologi kuat pun akan memerlukan imunitas ekstra untuk melindungi diri dari ke-absurditasan tersebut. Dan pada akhirnya, politik nol rupiah hanya akan berhenti pada titik dialektis semata. Kecuali, kita segera berbenah.
Sukabumi, 2019.