Oleh: Oksa Bachtiar Camsyah
Indonesia telah mengalami beberapa gelombang besar dalam proses perjalanannya sebagai suatu negara bangsa. Setidaknya, ada tiga gelombang besar yang telah dialami oleh bangsa ini, dimulai dari orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Ketiga gelombang tersebut merepresentasikan suatu ikhtiar pencarian jawaban dari satu pertanyaan yang sama, melalui jalan manakah masa depan Indonesia yang dicita-citakan ini akan terwujud.
Maka, tahun 1998 menjadi gerbang dari ikhtiar terbaru bangsa ini dengan menjadikan demokrasi sebagai jembatan yang diharapkan mampu mewujudkan itu. Namun, apakah betul demokrasi telah mengantarkan kita semua pada muara tersebut? Rasanya perlu waktu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk menyelesaikan diskursus tersebut. Yang jelas, hingga hari ini masih banyak sekali masyarakat yang merasa belum diberikan manfaat dari sistem yang dijalankan ini, selain euforia lima tahunan yang orang-orang menamainya pesta demokrasi. Namun, saya lebih sepakat menggunakan istilah "pasar demokrasi".
Demokrasi, pada idealitanya adalah sebuah sistem yang akan menghimpun seluruh nilai yang dilegitimasi oleh masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, yang kemudian nilai tersebut akan diartikulasikan kedalam sebuah paket kebijakan yang bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan rasa aman bagi masyarakat itu sendiri. Dan disinilah seharusnya politik dijadikan sebagai istrumen untuk melahirkan keteraturan tersebut.
Dengan demokrasi pula, pemerintahan yang bersih (clean governance) diharapkan bisa terwujud, karena demokrasi menghendaki adanya kontrol dari masyarakat terhadap penguasa melalui lembaga perwakilannya. Karena, melalui pemerintahan yang bersihlah distribusi keadilan itu akan bisa terwujud di tengah-tengah masyarakat.
Namun, apabila kita berkenan untuk membuka mata lebih luas dan hati lebih dalam lagi, maka kita akan menemukan suatu disparitas yang sangat tinggi antara idealita dan realita bagaimana demokrasi ini dipergunakan.
Demokrasi telah digunakan oleh para elit untuk mengatur ritme kehidupan berbangsa dan bernegara kita kepada suatu alunan transaksional yang seakan telah membudaya di masyarakat menjelang pasar demokrasi tersebut berlangsung. Jual-beli suara telah seakan menjadi ritual wajib dalam mengamankan posisi yang katanya dengan posisi tersebutlah kesejahteraan itu akan diwujudkan. Namun, rasa-rasanya kita mesti sedikit belajar kepada King Martin Luther bagaimana berhasil mendapatkan dukungan publik melalui gagasan yang ia tawarkan, sehingga publik merasa yakin untuk ikut terlibat dalam perjuangannya.
Namun, menyalahkan para elit dalam kondisi ini pun hanyalah setengah benar. Karena, tingkat pengetahuan dan moralitas masyarakat dalam mengisi atmosfer demokrasi ini pun sangatlah menentukan. Mengapa demikian? Karena apabila sikap pragmatisme sudah menggurita di masyarakat, maka tidak ada pilihan cara yang paling tepat bagi para elit untuk meningkatkan margin elektoral selain menawarkan solusi transaksional tersebut.
Oleh karena itu, persoalan demi persoalan yang kita temui pada fenomena demokratisasi negeri kita ini, tidak akan pernah terlepas dari kualitas manusia yang mengisi dan mengelola proses tersebut. Demokrasi hanyalah sebuah sistem, dimana sistem ini akan berjalan baik dan menghasilkan sesuatu yang baik apabila diisi dan dikelola oleh manusia-manusia yang baik pula.
Maka, sebagai salah satu instrumen legal demokrasi, partai politik harus memiliki sistem pengkaderan yang matang sesuai platform yang ditawarkan guna melahirkan para politisi yang berkualitas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana negara ini harus dikelola. Mungkin di era hari ini, partai politik bukanlah satu-satunya elemen yang menentukan nasib demokrasi negeri kita, namun partai politik tetap menjadi elemen yang paling penting karena partai politik menjadi entitas legal dalam mendistribusikan para kadernya untuk mengelola negara ini.
Maka dari itu, budaya transaksional harus mulai dihentikan dari dalam partai politiknya sendiri. Istilah mahar politik itu harus segera dihilangkan dalam iklim demokrasi negeri kita. Karena, apabila praktik tersebut terus berlangsung, potensi immoralitas dalam badan penyelanggara negara pun akan sangatlah tinggi. Disinilah gunanya sistem pengkaderan suatu partai. Yaitu untuk menyiapkan dan membekali para kadernya pemahaman yang baik bagaimana seharusnya negara ini dikelola. Partai harus menjadi industri terbaik dalam memproduksi para pemimpin Indonesia.
Karena, negara ini tidak dapat dikelola dengan hanya mengandalkan power kekuasaan, namun juga memerlukan pengetahuan yang baik dalam pengelolaannya. Karena, dengan pengetahuanlah negara ini akan mampu membawa masyarakatnya kepada peradaban manusia yang lebih baik lagi.
Maka, didalam negara multipartai seperti sekarang ini, peran partai politik sangatlah penting dalam menjaga dan menyelamatkan demokrasi negeri kita. Jangan sampai, partai politik hanya mampu melahirkan kadernya yang menjadikan politik sebagai ajang pemuas birahi kekuasaan semata, namun partai politik harus mampu melahirkan kader yang menjadikan politik sebaga alat untuk melahirkan keteraturan hidup di masyarakat yang dengan itulah distribusi keadilan akan terwujud. Jadi, marilah selamatkan demokrasi negeri kita.
Sukabumi, 2019.