Oleh : Abu Bakar Abdul Hasan, Direktur Fitra Sukabumi
Barangsiapa yang memanfaatkan fasilitas negara demi perutnya sendiri saja, maka kualitas dirinya tak lebih baik atas apa yang dikeluarkan dari perutnya. (Tafsir bebas atas perkataan Syaidina ‘Ali bin Abu Thalib) Pendahuluan Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah pada perinsipnya adalah upaya mengalokasi keadilan kepada setiap warga negara. Untuk kepentingan perinsipil dimaksud, maka kewenangan mengalokasikan keadilan diberikan kepada pemerintah dengan segala perangkat aturan yang mendukung.
Implikasi dari aturan atau regulasi dimaksud pada prakteknya telah dilalui dengan berbagai varian serta metode pelaksanaan pemerintahan. Pemerintah daerah telah melahap varian tata kelola yang sangat elitis dan tertutup, sebut saja pada rezim ordel lama sampai rezim orde baru dan masuklah zaman reformasi yang membawa peluang serta angin segar keterbukaan informasi dan pelibatan warga negara dalam proses – proses pembangunan.
Angin segar keterbukaan infornasi dan partisipasi publik menghembus sampai merasuki ruang regulasi dengan lahirnya UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Psmbangunan Nasional dan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik beserta aturan – aturan pelaksana dibawahnya. Namun sayang, sampai saat ini masyarakat tak mendapatkan ruang yang cukup untuk menampung perintah dari kedua UU di atas. Betapa sulitnya masyarakat untuk terlibat secara masif dalam proses perencanaan pembangunan, karena informasinya tersebar pada kelompok tertentu.
Betapa sulitnya untuk mengetahui informasi dalam pelaksanaan pembangunan dan rasionalisasi mengapa pembangunan aspek tertentu harus dilakukan. Betapa sulitnya sulitnya mendapatkan informasi tentang akuntabelitas kinerja instansi dan laporan keuangan pemerintah daerah. Fonomena di atas terjadi karena penyelenggaran pemerintahan daerah belum mampu move on dari masa lalu yang serba tertutup dan tak partisipatif.
Percepatan proses sifting dari dzulumat (ketertutupan) ke an-nuur (keterbukaan) relatif gagal karena mainstream penyelenggara pemerintahan daerah masih memposisikan diri sebagai penguasa bukan sebagai pelayan publik. Sehingga meskipun pemerintah mengelola keuangan publik dan kekayaan publik lainnya tapi menganggap sedang mengelola keuangan pribadinya.
Belanja Urusan Perut, Haruskah? Biaya makan dan minuman adalah salah satu mata belanja daerah yang hampir dapat dipastikan menjadi kebutuhan yang tak dapat dihindarkan oleh setiap organisasi perangkat daerah (OPD). Setiap program yang dilaksanakan oleh OPD pasti ada komponen belanja makan dan minuman, hal yang demikian memang tak dapat dihidarkan namun dapat di efisienkan. Publik berhak untuk mengetahui standar harga satuan yang ditetapkan oleh kepala daerah dengan berbagai pertimbangan, salah satu diantaranya adalah inflasi ekonomi.
Sudahkah pemerintah daerah membukanya? Atau maukah pemerintah daerah membukanya? Lalu mari kita berlayar ke anggaran urusan perut. Pada setiap program OPD belanja makan minum secara garis besar dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu : 1). Belanja Makan dan Minuman Rapat; 2). Belanja Makan dan Minuman Tamu; dan 3).
Belanja Makan dan Minuman Peserta dan beberapa jenis belanja makan minum lainnya. Publik tentu ingin dan memiliki hak untuk mengetahui harga satuan belanja makan dan minuman untuk setiap orang/kegiatan. Apa jenis makan dan minumannya sehingga dapat ditemukan rasionalisasi harga. Hal ini akan terjawab bila setiap OPD mau memberikan informasi dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) yang merupakan dokumen publik bila merujuk pada Peraturan Komisi Informasi, namun bagi OPD akan menggeleng kepalanya sebagai tanda tidak setuju karena DPA bagi OPD adalah dokumen dapurnya. Kondisi ini membingungkan nalar sehat siapapun (tentu selain penyelenggara pemerintahan) karena rakyatlah pemegang saham mayoritas atas anggaran yang dikelola oleh pemerintah.
Kok Rakyat tak Dapat Mengakses? Semakin tertutup pengelolaan anggaran rakyat, maka di sanalah awal mula muncul potensi penyimpangan. Sebagaimana telah dibahas dalam paragraf – paragraf sebelumnya bahwa rakyat tidak punya saluran untuk mendapatkan informasi standar harga satuannya belanja urusan perut tersebut. Hal itu karena impotensinya pejabat pengelola informasi dan dokumentas (PPID) dilingkungan pemerintah daerah.
Sehingga dapat dibuat sebuah premis bahwa memang pemerintah daerah tidak berkeinginan untuk memenuhi salah satu hak warganya, yakni mengetahui anggaran daerah dan kinerjanya. Mengapa rakyat dibuat untuk tidak boleh mengetahui DPA OPD? Ditengah tata kelola pemerintahan yang dzulumàt maka akan menimbulkan sederet pertanyaan.
Jika ternyata standar harga satuan makan minum lebih besar dari harga sebenarnya maka bagaimana tata kekelo kelebihan anggarannya atau sebaliknya maka bagaimana mensiasati kekurangannya? Bagaimana jika anggaran makan minum tidak tersebap? Seberapa banyak tamu yang mengunjungi OPD sehingga dianggarkan secara khusus makan dan minumannya? Mungkin pertanyaan – pertanyaan ini bagi pelaku dan administrator kebijakan publik akan tersenyum dan sedikit mencibir karena beranggapan bahwa hal semacam itu saja kok tidak tahu.
Namun faktanya publik tidak banyak yang tahu, sehingga perlulah literasi anggaran karena rakyat berdaulat atas anggaran (APBD). Tidak bisanya masyarakat mengakses informasi anggaran menandakan bahwa pemerintah mengidap sindrom kuasa akut. Dimana sindrom ini menyerang sendi – sendi kepekaan dan kesadaran bahwa anggaran atau uang yang dikelolanya adalah uang rakyat sebagai pemegang saham mayoritas. Alokasi Anggaran Urusan Perut Nah, sekarang kita mulai berenang karena saya sulit mengajak untuk menyelami anggaran urusan perut. Bak film Dilan, pemerintah daerah akan berkata “anggaran itu terlalu berat, biarkan kami saja”.
Berenang memberi sensasi atas rasa fisik dan psikis. Belanja makan minum pada lingkungan OPD di Kabupaten Sukabumi tahun anggaran 2019 mencapai Rp. 56,5 Milyar dan OPD yang terbesar biaya makan minumnya adalah Dinas Kesehatan dengan nilai mencapai Rp. 14,5 Milyar atau 25,8