Oleh: Inggit Octriani
Mentri perhubungan Budi Karya Sumadi meminta seluruh jajaran direksi maskapai nasional untuk menurunkan harga tiket pesawat.
"Saya memang prihatin dengan adanya tarif-tarif yang relatif mahal. Beberapa hari yang lalu, saya sudah minta kepada mereka (direksi maskapai) untuk menurunkan tarif itu," ujar Budi Karya Sumadi di Citra Gerden City Jakarta, Minggu (13/1/2019).
Diberitakan di sebuah harian nasional, bahwa Harga tiket domestik Banda aceh-Jakarta via Kuala lumpur tidak sampai Rp 1 juta.
Diharian yang lain, disampaikan bahwa Budi Karya menyadarai bahwa kenaikan harga tiket pesawat banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Namun disisi lain, Budi menyatakan bahwa pemerintah juga perlu memperhatikan keberlangsungan industri penerbangan, yaitu memastikan industri ini bisa bertahan.
"Saya fikir daya beli masyarakat masih masuk dalam harga pokok mereka. Jadi batas atas itu masih bisa menjangkau kebutuhan mereka" tandasnya.
Opini pun bergulir, masyarakat semakin resah terhadap kenaikan tiket pesawat yang melonjak. Bila dikatakan kenaikan masih wajar dan terjangkau. Pertanyaannya terjangkau untuk kalangan yang mana? Untuk masyarakat menengah, ini cukup memberatkan. Jangan tanya untuk kalangan bawah.
Sudah semakin jelas, neoliberalisme ikut menguasai area angkasa negri ini. Negara semakin didorong untuk menghasilkan keputusan yang lebih berpihak ke arah kepentingan korporat (perusahaan) baik domestik atau asing.
Sejak 2015 secara resmi ASEAN Open Sky telah berlaku seiring dimulainya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Maka derasnya liberalisasi dunia penerbangan komersial Indonesia tidak dapat dihindari.
Akhirnya peran negara untuk melayani rakyatnya semakin dihilangkan. Penerbangan yang jelas-jelas merupakan akses publik milik rakyat tak lebih hanya dijadikan sebagai lahan komersil. Sehingga harga diserahkan pada mekanisme pasar dan ujung-ujungnya rakyatlah yang jadi korban.
Kembalikan lagi bagaimana islam mengatur kewajiban negara sebagai pelayan rakyat dengan mengembalikan akses publik sepenuhnya untuk rakyat bukan seperti sekarang, dijadikan barang dagangan.