Oleh: Kang Warsa
*|MC:SUBJECT|*
Diyakini atau tidak, istilah program 100 (seratus) hari kerja mencuat pascareformasi saat penyelenggaraan Pemilihan Presiden hingga Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung oleh pemilih. Hal ini merupakan dua sisi mata uang, bagi para calon presiden dan kepala daerah merupakan janji-janji politik selama tahapan sosialisasi dan kampanye dan bagi pemilih merupakan harapan bahwa program seratus hari kerja presiden atau kepala daerah dapat menuntaskan permasalahan krusial yang dihadapi oleh sebuah negara, provinsi, kota, dan kabupaten.
Dapat disebutkan melalui jejak digital dan media yang pernah mempublikasikan pemberitaan yang menyoal seratus hari kerja presiden dan para kepala daerah terpilih benar-benar dipenuhi oleh program-program signifikan dan seperti telah menghipnotis siapapun. Secara politis, pendekatan lahirnya istilah seratus hari kerja merupakan sinyal bagi kelompok oposisi untuk membuat statement sikap meragukan kepemimpinan presiden dan kepala daerah terpilih.
Penilaian ini tentu saja bersifat politis sebab atas pertimbangan dan dasar logika sehat, jarang pernah terjadi sebuah perubahan baik secara total dapat dilakukan dalam waktu sangat singkat. Bagaimana mungkin seorang presiden atau kepala daerah terpilih dapat menuntaskan dan menjawab segudang persoalan dengan beragam variannya yang dihadapi oleh negara dan daerah?
Pascapilpres 2009, Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan lima belas program seratus hari kerja antara lain; pemberantasan mafia hukum, revitalisasi industri pertahanan, penanggulangan terorisme, peningkatan produksi dan ketahanan pangan, penataan tanah dan tata ruang, peningkatan pinjaman usaha mikro dan menengah, reformasi pendididikan, dan program seratus hari kerja lainnya.
Program-program yang disebutkan oleh presiden terpilih dalam perhelatan pemilu 2009 memang merupakan permasalahan serius yang sedang dihadapi oleh negara ini. Imbas penting kepada daerah khususnya Kota Sukabumi- pada masa kepemimpinan Muslikh Abdusysukur (alm) dikeluarkan beberapa kebijakan tentang pertanahan, ruang terbuka hijau, dan penentuan arah serta kebijakan kota menuju kota pelayanan terpadu di bidang jasa, perdagangan, pendidikan, dan kesehatan.
Lantas, apakah dengan program-program tersebut di atas setiap persoalan dari krusial hingga remeh temeh dapat diselesaikan secara paripurna baik oleh pemerintah pusat atau pemerintah di setiap daerah? Tentu saja tidak, apalagi jika hanya menggunakan ukuran seratus hari kerja. Tidak tercapainya program seratus hari kerja secara utuh di masa SBY disebabkan oleh beberapa hal antara lain: program yang dijanjikan saat tahapan kampanye merupakan program-program gradual dengan cakupan yang besar tentu saja indikator-indikator pencapaiannya memerlukan waktu yang cukup lama agar dapat diturunkan menjadi program yang bersifat teknis.
Karena skala kebijakan tersebut bersifat umum, beberapa daerah sudah dipastikan akan mengalami kesulitan menerjemahkan program-program gradual agar dapat menyentuh ranah nyata di masyarakat. Secara politis, partai-partai yang menempatkan diri sebagai oposan pemerintah selalu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tampak membangun namun syarat dengan cibiran pedas. Ketidaksadaran secara politis ini merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah dan partai politik pentingnya meningkatkan kualitas pendidikan politik bagi masyarakat agar kader, simpatisan, hingga partai yang tidak sejalan dengan pemerintah menyalurkan kritik dan pandangannya secara lebih arif dan bijak.
Pemerintah setelahnya, Joko Widodo (Jokowi) pascapilpres 2014 bersama Jusuf Kalla lebih menyederhanakan lagi program seratus hari kerja presiden dan wakil presiden terpilih, antara lain dengan menyasar program-program kesejahteraan, infrastruktur vital seperti pasar tradisional yang berkaitan dengan rakyat, kerampingan bisnis kelembagaan pemerintahan, dan revolusi mental.
Gaung program yang sampai saaat ini masih menjadi trend dilakukan oleh Presiden Jokowi antara lain; infrastruktur dan revolusi mental. Revolusi mental ini sendiri sebenarnya merupakan semacam echo- yang pernah dicetuskan oleh Bung Karno setelah masa revolusi fisik. Dan sekali lagi, sampai seratus hari setelah pelantikannya, program seratus hari kerja Presiden Jokowi tersebut harus diakui secara jujur masih belum sepenuhnya dapat dicapai.
Sampai saat ini, lawan politik Presiden Jokowi tetap menggemakan ketidakberhasilan ini mencerminkan kegagalan selama lima tahun. Penialain ini tentu saja mencuat di saat sekarang, masa-masa disrupsi menjelang pemilihan presiden. Penilaian yang diciptakan oleh mesin politik apalagi oleh mesin-mesin sewaan di setiap era kepemimpinan baik di era Susilo Bambang Yudhoyono hingga era Jokowi selalu mencerminkan sikap tidak obyektif dan terkesan menampilkan pseudo logica fantastica (hal-hal fiktif yang dilogiskan) tanpa mengenal hal baik yang telah dilakukan.
Secara khusus, penulis menyebutkan gagasan revolusi mental yang digemakan di awal kepemimpinan Jokowi sudah cukup baik, antara lain; merubah paradigma pemerintah dari pusat hingga daerah di mana setiap kegiatan tidak harus selalu dilakukan di hotel-hotel mewah atau gedung-gedung megah, penganan dan makanan yang disediakan juga harus mengidentitaskan kedaerahan atau lokal, dan yang paling kentara adalah mencuatnya istilah kearifan lokal dalam program-program pemerintah dari pusat hingga daerah. Sudah tentu hal ini merupakan kabar baik bagi siapapun, geliat wacana pengembangan kearifan lokal gayung bersambut dengan tumbuhnya embrio komunitas di berbagai daerah, termasuk Sukabumi.
Sayang sekali, jika kita mencermati dengan arif, wacana-wacana yang pernah menjadi trend tiga hingga lima tahun sebelumnya seperti: local wisdom (kearifan lokal) sudah jarang lagi dibicarakan. Dapat saja dikatakan, fenomena ini merupakan sebuah ciri era disrupsi ketika ide, gagasan, wacana, hingga program yang baik dapat dengan mudah hilang seketika ditelan oleh wacana dan gagasan lain yang mencirikan kebaruan, kekinian, hingga kontemporer. Di era revolusi industry 4.0 orang lebih nyaman membicarakan smart-city, smart-village, dan smart-phone. Seorang teman pernah berkata kepada penulis, yang penting tidak hilang saja semangat kearifan lokal itu dalam dada. Orang Sunda seperti di Kota Sukabumi ini memang memiliki pandangan: pindah cai pindah tampian dan miindung ka waktu mibapa ka jaman meskipun sering terlihat diterapkan tidak tepat.
Bagi daerah seperti Jawa Barat dan Kota Sukabumi, program seratus hari kerja kepala daerah terpilih tetap masih menjadi trend dan pembicaraan yang sering dipertanyakan baik secara politis atau di dalam obrolan warung kopi. Meskipun setiap kepala daerah tidak pernah mengucapkan janti politik seratus hari kerja di masa kampanye tetap saja program seratus hari kerja yang telah menjadi familiar itu sering diucapkan pasca-pelantikan kepala daerah. Bahkan jika tidak pernah diucapkan pun, masyarakat akan mempertanyakannya. Wacana seratus hari kerja ini mencuat sebetulnya bukan ukuran mampu atau tidak mampunya kepala daerah terpilih membumikan program yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat melainkan satu adaptasi dari kebiasaan masyarakat nusantara terhadap peristiwa yang mereka alami, dari isitilah tujuhna, ngatus, nyewu, hingga haul.
Yang jelas, tidak akan pernah siapapun baik dilakukan oleh individu atau kelompok sosial masyarakat, dapat menyelesaikan persoalan dan permasalahan komplek serta multi dimensi yang dihadapi oleh negara dan daerah dalam waktu sangat singkat. Seorang Rasul seperti Nabi Muhammad SAW saja memerlukan waktu hampir 23 tahun untuk menyelesaikan persoalan di Arab. Penyelesaian persoalan dan permasalahan negara, provinsi, kota, dan kabupaten memerlukan keterlibatan semua pihak. Negara, provinsi, kota, dan kabupaten bukan milik sekelompok orang. Toch kita sedang hidup di era koneksi (keterhubungan) kan?
|[email protected]|Kang Warsa