Oleh : Kang Warsa
Tema besar peringatan Hari Pahlawan 10 November 2018 adalah Semangat Pahlawan di Dadaku. Pertanyaan yang keluar dari dalam diri kita yaitu mengapa semangat pahlawan perlu diendapkan kembali di dalam diri kita? Karena saat ini semangat pahlawan sesuai dengan asal kata pahlawan dari pahala- telah tergantikan oleh sikap pamrih sebagai pemicu atau motivator tindakan kita. Bukankah kita sering mendengar ucapan: ada amplopnya atau tidak? Keluar dari mulut orang-orang bahkan dari diri kita sendiri ketika akan mengikuti sebuah perhelatan. Bahkan untuk demonstrasi memperjuangkan nasib bangsa, memperjuangkan kepentingan kelompok, dan memperjuangkan ego golongan pun kita sering mendengar istilah pasukan nasi bungkus (panasbung).
Mengobarkan semangat para pahlawan yang telah berjuang, membawa negara ini ke alam kemerdekaan bukan sekadar wacana tanpa praktik nyata. Lebih dari itu harus diawali oleh apa yang harus diperbuat, bagaimana memperkenalkan dan membumikan semangat para pahlawan ke dalam jiwa generasi sekarang yang telah begitu dalam terjerembab ke dalam ingar-bingar popularitas tokoh-tokoh entertain/hiburan semisal para artis.
Atau bagaimana cara mengendapkan semangat para pahlawan kepada generasi yang kadung telah menghargamatikan pemujaan mereka kepada tokoh-tokoh luar yang telah terbalut emosi keagamaan. Kedua sikap tersebut memang tidak salah selama sikap mengidolakan para tokoh tersebut tidak disertai sikap fanatik yang berlebihan.
Hal paling mendesak sebagai upaya mengendapkan semangat para pahlawan di dalam dada ialah dengan mengenalkan para pahlawan, sikap, perjuangan, dan sejarah kehidupan mereka kepada anak-anak dari usia dini (TK dan PAUD) hingga sekolah lanjutan atas (SLTA). Di masa pemerintahan Orde Baru, uapaya ini diimplementasikan melalui kurikulum dan mata ajar khusus: Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), mata ajar IPS (Sejarah) juga banyak membahas perjuangan bangsa dan para pahlawan. Setiap kelas diharuskan memasang gambar para pahlawan berukuran poster.
Upaya ini dapat dikatakan berhasil, paling tidak para siswa mengenal potret diri para pahlawan. Para siswa mengenal bagaimana perjuangan secara bergerilya Panglima Besar Jendral Sudirman bersama para pahlawan lainnya. Para siswa juga mengenal dengan baik bagaimana sikap kukuh Pangeran Diponegoro menolak kebijakan Belanda saat akan menggerus tanah leluhurnya.
Saat ini anak-anak pra sekolah dasar, jika kita mau jujur, terlalu ditekan sekadar agar dapat membaca dan menulis. Bahkan buku cerita dan dongeng-dongeng yang disampaikan kepada anak-anak itu lebih didominasi oleh cerita yang tidak bersumber dari akar tradisi dan kebudayaan negara ini. Demi alasan keagamaan, anak-anak itu telah disuguhi cerita-cerita yang tidak memiliki akar apapun dengan sejarah tanah airnya, sejarah kampung halamannya.
Ketidakberimbangan ini meramaikan pikiran anak-anak sejak reformasi bergulir sampai saat ini. Para tutor berusaha membenamkan kecintaan mereka dalam bentuk devosi kepada tokoh-tokoh dalam keyakinan namun tidak diimbangi dengan ikhtiar membumikan devosi keyakinan mereka terhadap warisan luhur para pahlawan negara ini. Kelompok-kelompok puritan bahkan cenderung membenturkan antara kecintaan/pengidolaan mereka kepada tokoh-tokoh agama dengan para pahlawan menggunakan terminus: syirik. Bahasanya seperti ini; umat yang berlebihan mengidolakan para pahlawan karena alasan nasionalisme dan patriotisme akan dikatakan telah menyekutukan Tuhan. Beberapa tahun sebelum reformasi muncul pandangan kurang baik terhadap lagu Padamu Negeri, Jiwa Raga Kami sebagai kalimat atau bait yang dapat membawa umat kepada penyekutuan terhadap Tuhan.
Tentu saja sangat berbeda dengan dulu, saat kecil penulis sering mendapatkan informasi bagaimana semangat perjuangan para pahlawan di kampung halaman sendiri seperti KH. Sualeman, Ama Erpol, dll di era kolonial. Nenek dan kakek selalu menceritakan semangat juang para pahlawan tersebut melalui cerita bersambung dari satu malam ke malam berikutnya.
Guru ngaji tidak sekadar mengisahkan perjuangan Rosulullah dan para sahabat di tanah Arab, juga diselingi oleh pemaparan sejarah perjuangan para ulama, santri, dan gerakan-gerakan kaum sarungan di pesantren dalam memerdekaan negara ini. Maka, di dalam jiwa kita generasi 70-80an muncul kebanggaan kepada para ulama, santri, dan para pahlawan yang telah menjadi bagian penting membawa negara ini ke alam kemerdekaan. Proses internalisasi semangat juang para pahlawan yang dilakukan oleh para orangtua kita tidak berhenti sampai usia sekolah dasar, setelah duduk di bangku sekolah lanjutan pertama pun cerita-cerita heroik para pejuang secara telaten dikisahkan sebagai pengulangan dari kisah-kisah yang telah diceritakan.
Tidak hanya di sekolah, pengajian, dan melalui cerita dari orangtua, setiap Minggu malam Televisi Republik Indonesia (TVRI) menyiarkan acara perjuangan para pahlawan selesai magrib. Prolog dalam acara tersebut dilatari oleh lagu kebangsaan Maju Tak Gentar. Orangtua penulis langsung mengajak menonton acara itu. Acara tersebut secara terus-menerus ditonton setiap Minggu malam. Esoknya, para siswa satu kelas mengulas kembali acara yang mereka tonton. Anak yang tidak mengenal seorang Gatot Subroto tiba-tiba menjadi tahu tentang Jenderal berkumis dan berjanggut itu.
Kemeriahan dalam menceritakan kembali semangat juang para pahlawan semakin semarak pada hari kemerdekaan Republik Indonesia. Gambar-gambar pahlawan dalam kaca-kaca atau gapura dengan berbagai fose perjuangan membentuk diorama sederhana a la masyarakat perkampungan. Ada juga masyarakat yang membuat semacam story board perjuangan para pahlawan dilengkapi dengan pekikan Merdeka Atau Mati yang ditulis dan dibubuhi tanda seru sebanyak tiga buah.
Ya, merdeka atau mati merupakan pembuncah semangat di era revolusi. Kalangan pesantren dan masyarakat umum mulai memekikkan ungkapan ini saat Belanda benar-benar telah menguasai negeri ini secara administratif. Latar belakang penggunaan ungkapan Merdeka atau Mati tidak lahir dan muncul begitu saja, hal ini dipengaruhi oleh sejarah panjang perjalanan kehidupan bangsa Nusantara.
Salah satu kultur penduduk nusantara adalah tidak mengenal kosa kata kalah. Bagi penduduk nusantara, ketika mereka harus berhadapan dengan bangsa asing dalam kehidupan ini hanya ada dua pilihan: menang atau perlaya (pralaya), merdeka atau mati! Watak berani ini diwariskan secara genetik kepada generasi-generasi selanjutnya, maka sangat wajar jika kalangan kyai dan santri memandang Bangsa pendatang sebagai manusia yang berada di bawah mereka secara kelas sosial.
Penduduk Nusantara menempatkan penduduk asing, pendatang, dan orang-orang asing lainnya sebagai warga Mleccha, kelas sosial ke enam. Merupakan hal yang sangat terlarang jika ada orang Nusantara menjadi pelayan orang asing. Sejarah telah membuktikan, para pengabdi atau penghamba Belanda adalah penduduk Nusantara dari golongan Tuccha (kelas sosial ke-tujuh); para begal, pelaku onar, penjahat, dan pencuri yang disewa oleh Belanda sebagai centeng-centeng.
Penduduk Nusantara tidak mengenal kosa kata kalah, secara cognate kata kalah ini merupakan turunan dari kata ngallah kembali kepada Allah, artinya tawakal, dari pada bertarung dengan sesama satu bangsa lebih baik me-ngalah saja, menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. Kata ngalah ini diperkenalkan oleh wali songo untuk membentuk karakter lemah lembut. Bangsa kita tidak mengenal kosa kata kalah artinya bangsa ini dihuni oleh manusia-manusia luar biasa, memiliki semangat dalam hidup, para penakluk lautan. Semangat keberanian inilah yang telah menjadi pemantik para pahlawan di nusantara, di negeri ini rela berkalang tanah melawan penjajah hingga merdeka. Sebagai salah satu contoh adalah perang Puputan di Bali.
Dari paparan di atas sangat jelas, untuk mengendapkan semangat pahlawan di dalam dada tiada lain dengan menggali dan mengurai kembali sejarah perjuangan bangsa kita sendiri hingga ke akar-akarnya. Menanamkan sikap sebagai bangsa besar di dalam generasi kita yang dapat mengikis sikap inferior kita saat berhadapan dengan bangsa lain. Sebab secara kemanusiaan, siapapun mereka, bule atau hitam merupakan mahluk Tuhan yang sama kedudukannya secara kemanusiaan. Tetapi ketika mereka telah menginjakkan kaki di tanah nusantara ini pepatah di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Seperti kata seorang leluhur Nusantara abad ke 12 yang mengatakan: leuwih alus kulit lasun daripada bangsa sorangan tapi ngagul-ngagul budaya deungeun (masih lebih baik kulit musang daripada orang nusantara tapi merasa lebih bangga dengan budaya orang lain).
|[email protected]|Kang Warsa