Oleh: Kang Warsa
Dua tahun lalu, saat peringatan Hari Guru tingkat Kota Sukabumi penulis dianugerahi penghargaan Guru Berprestasi di bidang literasi. Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Sukabumi saat itu sedang gencarnya mengampanyekan gerakan literasi yang bermuara pada satu simpulan Sukabumi Gemar Membaca (Sugema).
Gerakan literasi sejak saat itu mulai menggeliat dan menampakkan kiprahnya meskipun baru sampai tataran konvensional, artinya kegiatan literasi dan gerakannya baru menyentuh wilayah formal sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan.
Diterbitkannya Surat Keputusan Wali Kota pada tahun 2017 tentang Pegiat Literasi di Kota Sukabumi telah dikukuhkan orang-orang terutama yang memiliki minat dan konsern untuk menggerakkan kegiatan literasi di sekolah dan ruang publik merupakan babak baru sejarah literasi di Kota Sukabumi.
Awalnya kegiatan literasi dengan tagline Sugema (Sukabumi Gemar Membaca) ini menyentuh salah satu aspekter kecil dari literasi, membaca dan menulis. Selanjutnya pada medio tahun 2017 diselenggarakan seminar literasi di mana pemahaman terhadap literasi tidak hanya dibatasi oleh kegiatan membaca dan menulis, mendongeng, bercerita, keterampilan merupakan makna yang lebih luas dari kegiatan literasi ini.
Ukuran dan indikator keberhasilan kegiatan literasi di Kota Sukabumi sebetulnya belumbenar-benar dapat ditentukan kecuali melalui pengukuran kedatangan masyarakatke perpustakaan umum, jumlah buku yang dibaca, dan jumlah buku yang dipinjamoleh masyarakat Kota Sukabumi saat mobil perpustakaan keliling beroperasi kewilayah-wilayah (baca: Ruang Publik).
Penentuan keberhasilan sudah seberapakemajuan literasi di Kota Sukabumi bukan sulit dilakukan, hal tersebutdiakibatkan oleh perangkat dan instrumen pengukuran keberhasilan kegiatanliterasi di tingkat kota karena berbasis masyarakat memang masih belumsepenuhnya dibuat. Apalagi jika indikator literasi menyentuh ukuran yang lebihluas, salah satunya literasi digital.
Akan lebih sulit lagi menentukankeberhasilan literasi digital jika dibandingkan dengan fakta yang terjadisemakin maraknya warga Kota Sukabumi menggunakan media sosial. Bahkan mediasosial sebagai bagian dari literasi digital ini cenderung lebih banyakdisalahgunakan dari pada literasi menulis dan membaca di media cetak, koran,buku, dan majalah.
Di era disrupsi ini, meskipun pada awal kehadirannya hanya menyentuh bidang ekonomi tetapi lambat laun seluruh aspek terutama teknologi dan informasi mengalami ketidakpastian, ketidakjelasan, kaburnya nilai lama yang tergantikan oleh nilai baru secara sporadis. Ketidakpastian informasi yang diterima oleh manusia di era Revolusi Industri 4.0 telah menyulitkan kita untuk menyaring apalagi membedakan mana informasi faktawi danmanakah informasi yang nyata-nyata palsu atau hoaks?
Pada sasu sisi kita patut gembira karena jika tingkat penggunaan internet dan media sosial menjadi salah satu indikator keberhasilan literasi digital maka kelompok milenial merupakan orang-orang yang telah memasuki dunia literasi. Hanya saja, secara kualitas pemahaman terhadapliterasi digital masih minim dimiliki oleh generasi milenial ini.
Internet dan media sosial yang telah menjelma menjadi sosok monster menakutkan ini tidak hanya menggerogoti kaum muda juga anak-anak milenial. Harus serba cepat, yang pertama, dan harus eksis telah memotivasi warga media sosial mempublikasikan segala hal dari mulai hal remeh-temeh hingga hal yang mereka pandang hal sakral.
Penggunaan internet, memasuki dunia maya, dan berselancar di media sosial memiliki artisi apa pun para pengguna atau pemilik akun tersebut sedang memasuki belantara tanpa batas, rimba yang rimbun dan ditumbuhi oleh keabsurdan hingga hal-hal yang sama sekali tidak jelas kebenaran dan ketidakbenarannya.
Semakin tergiringnya orang-orang terutama anak-anak sekolah dari mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi, begitu juga masyarakat hal ini merupakan fakta menggembirakan di mana literasi digital dalam hal penggunaan internet sudah sangat meningkat. Tetapi pada sisi lain, tanpa adanya regulasi dan norma, dunia maya tetap merupakan sebuah jagat gaib yang dipenuhi oleh kebuasaan tanpa henti.
Beberapa ahli menyebutkan internet atau virtual reality ialah sebuah dunia baruyang mana segala batasan tradisional yang kita kenali tidak berlaku di sana, sebagaimana kita membayangkan batas dari imajinasi. Dia tanpa negara (stateless),tanpa hukum (lawless), dan seterusnya.
Yang harus kita hadapi di situ ialah sebuah rimba, lebih lebat dari yang paling purba karena tidak ada kemungkinan kita mengenali, memahami, apalagi menguasainya. Sebagaimana di masa purba, hukum yang berlaku ialah siapa kuat di berkuasa, survival of thefittest dalam bentuknya yang murni.
Sirkulasi berita hoaks dan kita memercayainya bahwa itu merupakan kebenaran telah menggambarkan merosotnya keadaban publik, merupakan fase dehumanisasi dan hilangnya era kemanusiaan. Hal tersebut dibuktikan oleh banyaknya publikasi gambar kekerasan, gelimang darah, hingga informasi intoleransi.
Kita dituntut bukan oleh siapa-siapa melainkan oleh diri kita sendiri agar menjadi orang paling terdepan dan terupdate memberitakan informasi-informasi nir-faktawi tersebut. Desainer berita dan informasi "abal-abal" tersebut tentu saja hanya tersenyum manis melihat rancangan dan penihilan keadaban tersebut telah hilang dari diri publik.
Edukasi literasi digital telah diawali dan dilakukan oleh pemerintah Kota Sukabumi beberapa tahun lalu melalui Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Sukabumi. Saat awal digagas, kegiatan ini baru menyentuh ranah penggunaan internet sehat dan merambah ke sekolah-sekolah di Kota Sukabumi dan disosialisasikan kepada masyarakat.
Meskipun dikatakan keberhasilannya tidak terlalu efektif paling tidak telah ada tekad dan ikhtiar baik dari pemerintah dalam mengantisipasi dan menjawab permasalahan mendasar dalam penggunaan internet. Ketidakefektifan tersebut tidak hanya disebabkan oleh program yang dirancang dengan kurang matang, juga dipengaruhi oleh semakin gencarnya sirkulasi berita dan informasi hoaks daripada informasi faktawi.
Karena ranah ini berada pada edukasi kepada generasi bangsa. Pendidikan merupakan upaya yang tepat untuk mengembalikan kembali keadaban dan sikap manusiawi generasi sekarang. Bagaimanapun juga pendidikan bertujuan membentuk sikap dan perilaku menuju manusia yang beradab. Keadaban dalam pendidikan ialah menciptakan manusia-manusia yang lebih berperhatian pada manusia sebagai makhluk sosial. Kolaborasi antara pemerintah dengan elemen penting dimasyarakat menjadi penentu berhasil atau tidaknya kita mengembalikan atau merebut era kemanusiaan di era disrupsi digital ini.
|[email protected]|Kang Warsa