Menjadi Tuhan-tuhan Kecil
Oleh: Didim Dimyati
Fenomena yang menarik untuk dibahas saat ini adalah berkembang begitu keras tentang perilaku keberagamaan di Indonesia. Dalam hal ini penulis Bukan sok tahu yaa gaes, cuman mencoba untuk menganalisis permasalahan saat ini.
Pendapat dari John Naisbitt & Patricia Aburdene dia mengatakan "Spirituality YES, Organized Religion No" atau menurut Nurcholish Madjid "Islam YES: Partai Islam No". Dua pendapat ini yang menggambarkan perilaku keberagamaan yang ada di Indonesia saat ini gaes, mengapa demikian?
Agama merupakan sumber nilai tertinggi yang dianut oleh setiap manusia yang beragama, sumbernya menjadi rujukan dalam tiap langkahnya menjalani kehidupan. Karena nilai-nilai yang dibawakan oleh Agama bersumber dari Tuhan yang merupakan Kebenaran yang Absolut. Sehingga nilai-nilai itu menghasilkan kebaikan bagi siapapun. Gitu gaes..
Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan manusia sebagai makhluk sosial yang harus bersosialiasi dengan makhluk yang lainnya sehingga membuat aturan untuk keberlangsungan hidup dalam bermasyarakat. Salah satunya membuat komunitas/organisasi supaya membantu dalam hal bersosialiasi. Namun bagaimana yaa gaes apabila organisasi tersebut dibuat dalam sebuah Agama?
Menurut pendapat yang tadi diatas John John Naisbitt, Patricia Aburdene dan Nurcholish Madjid, bahwa Organisasi dalam sebuah agama tidak begitu diperlukan, karena akan menghasilkan dua konsekuensi apabila dibuat.
Pertama, Gejala Kultus, apa itu gaes? Yaitu tingkah seseorang yang sudah masuk organisasi cenderung mengkultuskan organisasinya, bahwa tidak ada organisasi /kelompok yang paling benar selain organisasi /kelompok dirinya, segala bentuk fatwa dalam organisasinya menjadi nilai kebenaran, simbol organisasi menjadi nilai luhur yang harus dijnjung tinggi. Kiyai, Ustadz, Pastur, biksu, dalam kelompoknya/organisasinya menjadi tuhan-tuhan kecil yang harus dipatuhi tanpa kecuali. Wahhh ko gitu.?? Maka para pengikutnya mematuhi segala perintah junjungannya tanpa menolak... Yaa salam..
Kedua, Gejala Fundamentalisme, ini bersifat psikis kepada setiap anggota kelompoknya, yaitu pemikiran yang tertutup terhadap organisasi lain. Bahwa Organisasinya paling benar, paling suci, paling bersih dll. Sehingga mempunyai anggapan diluar Organisasinya salah dan kotor. Parah gak tuh gaes... Bahkan darahnya halal.. Busyettt dah..
Lalu bagaimana gaes dengan organisasi keagamaan yang ada di Indonesia saat ini??
Yaa gak beda jauhlah, dengan hal diatas, khususnya Ormas Islam saat ini, kita lagi berkonflik dalam bingkai Agama. Dengan saudara se-Iman kita. Anggota/kader organisasinya sudah patsun pada junjungan-junjungannya. Sehingga apapun yang dikatakan oleh junjungannya akan dipatuhi. Padahal nihh yaa gaes anggota /kadernya hanya dimanfaatkan aja untuk para petinggi-petinggi diatas. Karena yang berkonflik adalah orang-orang yang dibawah yang tidak pernah berfikir secara jernih terhadap permasalahan yang terjadi. Paarahh juga yaa...
Anggota dibawahnya hanya menjadi alas, (kekesed welcome) untuk dimanfaatkan kekuatannya semata, anggota hanya menjadi Buih yang tak berarti apapun selain kebodohan yang dipertontonkan. Mereka hanya menjadi boneka yang digerakan. (bisikan ini berlaku bagi mereka yang tidak masuk dalam organisasi manapun). Wwkwkwkw
Lalu apa yang mestinya dilakukan sebagai manusia yang beragama?
Bahwa yang perlu dijunjung tinggi adalah perilaku yang mencerminkan manusia yang beragama. Yaitu menghadirkan nilai-nilai Agama bukan Organisasi yang salah, yaitu nilai kedamaian, kebaikan, kejujuran, kasih sayang dsbg. Ini harus tertanam dalam perilaku bersosialiasi dengan makhluk lainnya. Tidak merasa paling benar, paling suci, paling tinggi dsbg.
Bahwa tak ada manusia yang mempunyai otoritas tertinggi selain Tuhan. Bahwa Kebenaran paling Absolut hanya berasal dari Alloh, bukan kiyainya, Ustadznya, pasturnya, biksunya sekaligus Organisasinya.
Pemikiran yang terbuka merupakan ciri manusia yang Suka ngopi dan Ngaroko, hayu aahhh ngopi.
Salam literasi.
|[email protected]|DKMR Raudhatul Irfan