Oleh Hilda Herawati, S.Kom
(Guru SMK Swasta Sukabumi)
Maraknya aksi mogok mengajar di beberapa daerah dan tak terkecuali di Sukabumi beberapa waktu yang lalu adalah bukti perlakuan kurang baik terhadap guru honorer. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kebijakan perekrutan CPNS 2018. Nasib para honorer kategori II (K-II) di Kota Sukabumi untuk bisa mengikuti seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2018 terhalang oleh persyaratan yang membatasi usia pendaftar maksimal berusia 35 tahun.
Kuota CPNS 2018 Kota Sukabumi sebanyak 110 orang, 45 diantaranya Formasi CPNS guru. "Data terakhir sejak 2016 lalu jumlah guru honorer sebanyak 2.226 orang," ujar Ketua Forum Honorer Indonesia (FHI) Kota Sukabumi, Heriyanto. Dari jumlah tersebut hanya sebagian kecil yang diangkat menjadi tenaga harian lepas (THL) pemkot sebanyak 198 orang. Bisa dihitung berapa persentasenya?.
Peminat CPNS guru di Kota Sukabumi meningkat. Mengapa? Bagaimana tidak, gaji guru honorer rata-rata sekitar 200 - 300 ribu/bulan, bahkan biasanya pihak sekolah menyesuaikan banyaknya siswa yang masuk di sekolah tersebut. Apabila jumlah siswanya sedikit, maka bayaran guru pun sedikit. Belum lagi, untuk membayar gaji guru, sebagian besar mengandalkan dana BOS. Lain halnya dengan guru yang berstatus PNS, yang berpenghasilan di atas 2 juta lebih belum ditambah tunjangan yang lain.
Padahal, baik PNS atau honorer sama-sama berstatus sebagai guru yang dituntut bekerja profesional. Kinerja guru honorerpun tetap dituntut secara profesional juga. Namun, gajinya tak wajar, padahal kebutuhan guru PNS dengan guru honor sama. Dapatkah pemerintah segera menjawab semua keluhan guru honorer?.
Tingginya jumlah guru honorer yang terus berharap pengakuan sebagai ASN, -atau minimal kesetaraan tunjangan- masih belum berhasil menjadikan guru bebas dari beban persoalan. Sulitnya kehidupan ekonomi karena minimnya honor dan beratnya menghadapi tantangan mendidik siswa di jaman now yang tidak mudah.
Jika pendidikan masih menghadapi masalah guru, kualitas pendidikan taruhannya. Memang benar, kesejahteraan guru tidak lepas dari masalah anggaran. Baik pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan yang telah mengalokasikan 20% nyatanya jumlah tersebut masih kurang. Bahkan, pemerintah pusat meminta agar daerah melalui APBD juga menganggarkan 20%. Bagaimana dengan kondisi daerah yang tidak memiliki pendapatan cukup?.
Faktanya, kesejahteraan guru dikembalikan kepada kebijakan lembaga masing-masing. Kurangnya pemerataan kesejahteraan guru kerap menimbukan kecemburuan sosial. Tidak adanya pengaturan yang jelas hingga kontra produktif. Harapan tercukupinya guru dalam waktu singkat pun tak bisa dipastikan. Problem guru honorer ini hakikatnya adalah problem sistemik.
Betapa beratnya menata pendidikan dalam sistem sekuler kapitalis saat ini. Baru persoalan kesejahteraan guru, belum lagi kurikulum, pengelolaan lembaga pendidikan, serta output pendidikan yang diharapkan. Sesak sepertinya nafas ini. Oleh karena itu, tak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah pendidikan ini melainkan harus mengganti sistem yang rusak dan merusak ini dengan sistem yang terjamin ketangguhannya dalam mengelola pendidikan.
Sistem Islam sudah terbukti melahirkan generasi yang cemerlang. Selain itu, dengannya nasib guru terjamin. Bayangkan saja, guru PAUD jamannya digaji puluhan juta. Sangatlah wajar, jika generasi yang dilahirkan peradaban Islam menjadi generasi tangguh dan brilian. Saatnya kita melirik sistem Islam, yakni Khilafah untuk menjadi solusi alternatif dari permasalahan pendidikan saat ini.