Oleh: Kang Warsa
Memperbincangkanatau membicarakan Sukabumi memang selalu tidak akan pernah ada habisnya. Halitu mungkin saja disebabkan oleh dua hal; pertama, ada sisi-sisi keunikan dariKota Sukabumi yang belum terjamah bahkan sama sekali belum tergali oleh kita. Kedua, bisa jadi obrolan dan diskusi panjang tentang Sukabumi ini hanya sebatasobrolan warung kopi, di mana saja, jenis obrolan ini memang tidak akan pernahkering, terus-menerus dilakukan dan diwariskan dari generasi ke generasi,masalah tempat tidak menjadi soal.
Pembicaraanseputar Sukabumi, konten obrolan biasanya mengupas persoalan mendasar tentangkeberadaan Sukabumi. Tentang Sukabumi dan perjalanan panjang yang menyertaisejarah asal-usul dan dinamika yang berkembang di wilayah ini. Warga Sukabumi,baik yang berada di Kota atau Kabupaten setelah reformasi digulirkan telahtergugah untuk menggali kembali aspek-aspek lokal yang menyertai kehidupanmereka setelah sekian lama dikungkung (baca: diborgol) oleh sistem yangdiciptakan oleh Orde Baru di mana segala hal yang berbau kewilayahan telahdibiaskan oleh rezim tersebut dengan ungkapan sentralisasi dan alasan-alasan kebhinekaan. Harus diketahui,kebhinekaan versi Orde Baru bukan keragaman melainkan keseragaman.
Beberapatahun paska reformasi, entitas-entitas kedaerahan dalam bingkai kearifan lokalmulai ramai diperbincangkan, didiskusikan, bahkan diperdebatkan. Di Jawa Barat,membicarakan Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi merupakan hal tabu di masakeajayaan era Orde Baru. Masyarakat sangat alergi dengan kata Pajajaran sebab Orde Baru telah mengubah paradigma Pajajaran sebagai sebuah kerajaan di Tatar Pasundan dengan cerita-cerita sage hingga mitos. Pajajaran sering dibahasakandengan konotasi negatif, misalnya jika seseorang bekerja di malam hari masyarakatsering mengatakan: Kamu seperti Pajajaran saja, kerja sampai larut malam!
Ungkapandengan konotasi negatif ini muncul sebagai respon dari sikap Javacenstris OrdeBaru, diakui atai tidak, era ini selain telah melahirkan sentralisasi jugatelah mencitrakan seorang Sunda pun merupakan bagian dari Jawa. Di luar Jawa (Pulau Jawa), orang-orang biasa menyebut orang Sunda atau siapapun yangberdomisili di Pulau Jawa dengan sebutan orang Jawa, disamarakatan.Absurditas di era Orde Baru yang muncul adalah: pemerintah dan masyarakat begitu asyik dalam membenci ideologi Komunis, tetapi sangat nyamanbermanja-manja dengan aplikasi keseragaman dan sama-rata. Tapi sudahlah, harussaya akhiri membicarakan soal-soal politis di masa lalu, membosankan.
Orang-orang Sukabumi baik pemerintah (baca: Pegawai Pemerintah) dan masyarakat terutamaberbagai komunitas yang menggandrungi ka-Sukabumi-an baik secara sukarela ataukarena desakan program dari pemerintah telah ramai membicarakan kearifan lokal tentang kotanya sendiri saat dunia telah membuka diri terhadap entitas-entitaspaling kecil dalam kehidupan. Artinya begini, lahirnya kepedulian manusiasebetulnya dilahirkan oleh keterbukaan, blak-blakan, dan sikap menelanjangidiri sendiri. Orang Sukabumi telah mulai mempublikasikan diri dan lingkungansekitarnya melalui media sosial, daerah-daerah terpencil bahkan Pantai Ciletuhpun menjadi terbuka dan dikenal secara luas akibat dari sikap menelanjangi diriorang-orang Sukabumi ini.
Identitas-identitas lokal seperti bahasa, pakaian, dan makanan telah menjadi lebih popular darihal-hal yang berbau internasional. Ungkapan ini bisa jadi terlalu hiperbolik karena bagaimana juga Hamburger dan Pizza tetap akan lebih popular dari gegetukdan comro. Namun kesadaran orang-orang Sukabumi terhadap unsur-unsur kebudayaan menjadi lebih kentara keberpihakannya dibanding beberapa dekade sebelumnya.Orang Sukabumi sudah tidak merasa segan lagi membicarakan peuyeum, oncom ,bajigur, dan gegetuk. Cafe-cafe pun telah berani membuka diri dengan menyajikanmenu makanan tradisional khas Sunda kepada pengunjung. Terus terang, fakta yang terjadi seperti ini merupakan embrio kelahiran kembali budaya dan kearifanlokal.
Sejaktahun 2008 beberapa bulan paska penyelenggaraan Pilkada Kota Sukabumi, arah dankebijakan Pemerintah Kota Sukabumi di bidang kebudayaan mulai ditargetkan untuk memenuhi harapan-harapan masyarakat dalam penggalian jati diri Sukabumi. Program kebudayaan yang digagas oleh Pemkot Sukabumi menampilkan keberpihakan bukan sekadar kepada proyek saja, namun telah mengarah ke program yang lebih memihak kepada penggalian kebudayaan lokal. Komunitas-komunitas sudah tentu pada tahap awal ini baru lahir dan tumbuh atau bermunculan. Masih meraba-rabaterhadap budaya dan identitas khas Sukabumi. Karena begitu banyak sektor-sektor garapan terkait kebudayaan maka komunitas-komunitas yang lahir di masa awal pencarian jati diri ini pun dapat disebut mekar di sana-sini.
Empat hari lalu, saya berbincang-bincang dengan Kang Punjul, salah seorang Pegawai yangbekerja di Bagian Tata Pemerintahan Kota Sukabumi. Kang Punjul megatakan, Kotadan Kabupaten Sukabumi harus benar-benar memiliki kejelasan tentang fungsi danperannya sebagai sebuah daerah. Kabupaten Sukabumi secara cakupan areal dan kondisi umum kewilayahan sebenarnya merupakan daerah produsen hasil perkebunandan perkebunan. Hal ini masih tampak terlihat hingga tahun 80-an. Saat ini, ada kekhawatiran dari sebagian besar pemerhati di mana, Kabupaten yang seharusnya sebagai daerah produsen hasil pertanian dan perkebunan tampak telah beralih fungsi menjadi daerah pabrik. Meskipun tidak terlalu besar namun lambat launakan menggerus wilayah-wilayah perkebunan dan pertanian. Hal tersebut mengindikasikan pengakajian akan diapakan dan dibagaimanakan Sukabumi melalui tata kelola kewilayahan harus menjadi prioritas pembagasan kedua wilayah.
Pandangan saya sederhanakan saja dengan melihat Kota Sukabumi. Orang-orang terdahulu sudah tentu tidak sembarang memberikan nama daerah ini dengan kata Sukabumi. Mereka juga tidak asal-asalan membagi daerah ini atas beberapa tempat: di mana daerah perkantoran, di mana pasar, di mana pusat pendidikan, dan di mana tempat berkontemplasi. Dalam tradisi Sunda, penentuan peran dan fungsi tempat tidak terlepas dari tri-tangtu; karatuan, karesian, dan karamaan. Orang Sukabumi kontemporer tentu saja memiliki tanggung jawab besar dalam menentukan kembali tempat, bangunan, monumen, dan daerahnya berdasarkan konsep tritangtu ini agar frekuensi antara satu tempat dengan fungsinya benar-benar terhubung. Kunci utama darinya: tidak asal-asalan.
Tritangtu dalam Kehidupan Manusia Sunda
Tritangtu dalam Budaya Sunda merupakan sebuah konklusi-meditatif yang telah dicetuskan oleh para leluhur atau karuhun Sunda. Totalitas dalam kehidupan merupakan ciri utama konsep ini. Pembagian masyarakat menjadi tiga kelompok dilakukan bukan untuk membedakan melainkan untuk meneguhkan posisi dan jati diri setiap individu. Resi, Rama/Sepuh, dan Ratu menjadi tiga lembaga, berperan dalam mensejahterakan masyarakat; Ngaping, Ngajaring, Ngaheuyeuk. Ngasah, Ngasuh, dan Ngaasih.
Polabudaya seperti ini lahir sebagai pengejawantahan kebersamaan dan persamaan manusia dengan kosmos (alam raya). Manusia Sunda bisa dikatakan sebagai kelompok tradisional, dikatakan seperti itu memang wajar karena secara historis, akar kebudayaan dan peradaban dunia ini berasal dari satu sumber danajaran, sebagai software di alamsemesta ini. Software atau perangkat lunak akan dikatakan sebagai perangkat lunak terpercaya ketika adakesinambungan antara hardware (Kosmos) dengan software-nya (Mikro-kosmos). Jika terjadi benturan atau konflik,maka sudah bisa dipastikan keharmonian semesta akan berubah menjadi anomik.
Durkheim menyebutkan dalam teori Bunuh Diri atau Suicide, penyebab utama lahirnya masyarakat anomi adalah hilangnya atau berubahnya nilai-nilai harmoni antara diri manusia dengan semesta dan lingungan sekitar. Bisa dipastikan, masyarakat anomi atau masyarakat menyimpang terlahir karenapaksaaan yang berada di luar dirinya ketika manusia ingin menjadi dirinya sendiri. Ciri utama masyarakat anomi adalah adanya kesenjangan antara kapasitas dirinya dengan paksaan yang ada di luar dirinya sendiri.
Masyarakat modern dipersatukan oleh sebuah solidaritas karena dipaksa oleh apa yang ada diluar kapasitas dirinya. Misalkan, lahirnya kelompok-kelompok atau geng-gengdalam kehidupan tidak ditentukan secara alamiah bahwa manusia menyukaikelompok-kelompok tersebut melainkan dipaksa untuk mengikuti dan menjadi bagiandari mereka. Maka, jika paksaan dari luar ini lebih kuat dari moralitasindividu, cara sederhana akan dilakukan, bunuh diri atau membangun klandestinyang siap memerangi bahkan menghancurkan diri sendiri sebagai bentuk protesterhadap kelompok lain.
Pemikiran Durkheim berbanding lurus dengan Marx yang menyebutkan, sejarah dan kehidupanmanusia dibentuk oleh pertentangan kelas. Diferensiasi dan stratifikasi sosialyang terjadi di masyarakat secara alamiah akan terus bertolak-belakang satusama lain, lahir in-harmony, chaos, keonaran (meminjam istilah yangsedang ngtrend akhir-akhir ini), perang, pertikaian, dan puncaknya adalah Survival for the fittest sebagaimana dalamteori Darwin, di mana dalam teori ini disebutkan hanya kelompok unggul yangakan tetap bertahan. Secara umum, tiga pemikiran tokoh-tokoh tersebut; Durkheimdalam Division of Labour, Marx dalam Social Conflict, dan Darwin dalam Struggle for Life mengukuhkan bahwakehidupan lahir karena adanya pertentangan. Tidak salah, kehidupan modern akanterus dihinggapi oleh landasan berpijak seperti ini.
Sementara pandangan utama dalam konsep tritangtu adalah lahirnya keharmonian karena padadasarnya manusia berasal dari satu sumber yang sama. Adanya totalitas dankesinambungan manusia yang dengan yang lain, hilangnya diferensiasi berdasarkan subyektivitas diri, dan lahirnya kemanunggalan kehidupan dalam masyarakat.Kesadaran bahwa manusia tidak berbeda dengan semesta mengharuskan manusia punmenghormati alam dan manusia lainnya. Rakean Dharmasiksa, dalam Naskah Amanat Galunggung menyebutkan, pentingnya manusia Sunda menghargai nilai-nilaihistoris atau masa lalu sebagai pijakan untuk melangkah saat ini. Hana ngunihana mangke, ada dahulu dan ada sekarang. Jika dielaborasi lebih jauh, masakini tidak terlepas dari masa lalu.
Akarhistoris semesta dan kehidupan ini berjalan secara harmoni sesuai dengankehendak Sang Maha Pencipta. Maka, dalam naskah Amanat Galunggung tersebut, Dharmasiksa begitu kuat menyebutkan bagaimana semestinya manusia hidup dalamkehidupan ini agar tetap selaras dan harmoni. Konflik dan peperangan merupakanhal tabu dalam masyarakat yang memegang teguh tritangtu sebab kepastian yang lahir dalam kehidupan masyarakat seperti itu adalah kesejajaran yangdipersatukan oleh fakta subyektif bahwa manusia membutuhkan orang lain bukandengan cara paksaan namun memang sudah alamiah.
Struggle for life, perjuangan dalam tritangtu tidak hanya berhenti pada hal homogen dan tunggal.Tidak sekadar melampiaskan hasrat penguasaan atau dominasi, sebab dominasiterhadap apa pun akan menghilangkan keharmonian dan kesejajaran antara-manusia-alam. Tritangtu , tiga adegan dalam hidup ini menyebar secara sporadispada beberapa milyar tahun lalu. Proses turbulensi sosial yang terjadi selamakurun waktu tersebut mengakibatkan konsep atau software orisinal dari tritangtu berubah, berganti nama hinggamembentuk menjadi ajaran dalam bingkai teologis; trinitas Mesir Kuno (Ra,Osiris, Isis), trinitas Arab Kuno (Latta, Uzza, Manaat), trinitas Hebrew(Yahweh, Jahbulon, Elohim), trimurti Hindu (Brahma, Wisnu, Shiwa).
Hasilobrolan saya dengan beberapa teman, akhir-akhir ini memang sungguh sulit untukmengupas apalagi menentukan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Sukabumi jikamerujuk kepada konsep tritangtu dalam kasundaan. Permasalahan yang tampak dipermukaan, tata ruang dan pemungsian lahan di dalam kehidupan modern sudahtidak lagi memerdulikan aturan yang dikehendaki oleh alam hingga skala kecilsekalipun. Hal tersebut terjadi sebagai akibat bukan tidak tahu menahunyamasyarakat Sukabumi terhadap konsep tritangtu kecuali semakin cairnyamasyarakat dalam memanfaatkan lahan dan tanah yang ada di sekitarnya.
Bagaimanapun juga, jika cara pandang kita difokuskan secara utuh, pada dasarnya perencanaanbaik tata ruang, pemungsian lahan-lahan, dan pemanfaatan kewilayahan tetapdilakukan oleh manusia di zaman sekarang. Saat ini, pembagian pemanfaatan lahansesuai dengan fungsinya masih tetap dijaga, areal pemakaman biasanyaditempatkan di pinggir perkampungan, tempat ibadah ditempatkan di tengah perkampunga,dan pemukiman pendidik ditempatkan mengikuti pola jalan.
Yangbelum kita lakukan adalah perencanaan dan permenungan untuk memahami di manaseharusnya penempatan tempat ibadah, pusat pendidikan, dan pusat pemerintahan.Konsep seperti ini sebetulnya jauh-jauh hari telah dipraktikkan oleh AmerikaSerikat saat awal berdirinya negara ini. Tiga komponen tempat benar-benardibangun berdasarkan pola yang telah disepakati oleh para leluhur mereka.Artinya, perlu dan penting sekali adanya semacam gempungan setiap unsur dalam kehidupan: pemimpin, pemuka agama, dan akademisi untuk menghasilkan consensusterhadap sebuah tata ruang dan wilayah agar mengharsilkan satu harmoni antaramanusia dan alam.
|[email protected]|Kang Warsa