Oleh : Irman "Sufi" Firmansyah
Sebagai pemerhati Sejarah Sukabumi saya sangat menyayangkan renovasi bangunan Pendopo Cicurug yang tidak memperhatkan originalitas bentuk bangunannya. Selain merusak estetika juga menghancurkan nilai kesejarahannya mengingat bangunan ini dari ciri-cirinya sebenarnya sudah bisa dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya. Dari arsitekturnya terlihat bangunan ini masih bergaya Indische empire style sekitar abad ke-18 dan ke-19. Gaya arsitektur ini merupakan gaya arsitektur percampuran antara barat (Eropa) dan Timur (Jawa/Sunda) yang dipopulerkan Daendels dengan menggunakan material lokal.
Bisa jadi pendopo ini mungkin satu-satunya pendopo kecamatan paling tua yang masih tersisa. Dari perjalanannya jelas distrik Pagadungan sebagai cikal bakal kecamatan Cicurug adalah distrik yang pertamakali dibentuk oleh VOC diwilayah Sukabumi pada tahun 1776 pada masa Raden Enoh (Wiratanudatar VI) bersamaan dengan distrik Gunung Parang (Kota Sukabumi dan Sukaraja), Ciheulang (Cibadak), Cimahi (Cisaat dan Cikembar), dan Jampang (termasuk Basisir Kidul). Pada masa Raffles (1813) wilayah ini masuk dalam wilayah Partikelir Wilde karena dikelola oleh Andrie De Wilde yang mulai dikelola dari perkebunan Cimelati.
Peran pendopo distrik ini menjadi sentral karena sejak tahun 1816 perekonomian wilayah ini meningkat sehingga banyak dikunjungi orang-orang Eropa yang melakukan Survey. Distrik Pagadungan kemudian dirubah namanya menjadi Disctrik Cicurug pada tahun 1819 dan berperan dalam sejarah perkebunan di Priangan. Misalnya pada tanggal 2 juli 1831 seorang botanist Belanda bernama Pieter Willem Korthals melakukan Survey di Cicurug selama 6 hari, hasilnya menjadi pertimbangan pembukaan lahan perkebunan di Cicurug.
Dari pendopo inilah landclearing lereng gunung salak dilakukan pertamakali oleh Cutak/Wedana Cicurug pada tahun 1841. Kemudian wilayah ini semakin berkembang sejak Guillame Lois Jacques van der Hucht menyewa lahan tersebut (yang kemudian disebut Parakansalak) dan mengembangkannya pada Tahun 1844. Di pendopo itulah raja teh Van Der Hucht dan Holle sering bertemu dengan Wedana Cicurug Natadilaga memperbincangkan tentang perkembangan perkebunan.
Pendopo ini menjadi tujuan para traveller dimasa lalu, misalnya Mr. A.E Crockewitt yang mengunjunginya pada tahun 1864. Dengan kereta yang ditarik enam ekor kuda, dia mengunjungi Wedana Cicurug dan terpesona dengan pendopo ini. Dia berangkat dari bogor pukul 05.30 pagi dan tiba di Pendopo Cicurug pukul pukul 11 siang. Rombongannya dijamu buah-buahan seperti anggur, teh, dan kue-kue oleh Wedana yang menurut dia sangat sopan dan beradab. Dia menggambarkan pendopo tersebut sebagian bergaya Eropa atau percampurannya. Kekagumannya bertambah karena dia lihat ada ada ruang tempat bermain billyard didalamnya.
Seiring perkembangannya, pendopo ini menjadi saksi perubahan administratif wilayah ini dimana pada tanggal 8 September 1882 Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perubahan terhadap bentuk struktur pemerintahan yaitu berupa pembentukan onder distrik dibawah distrik yang dipimpin Camat atau Asisten Wedana. Distrik Cicurug yang berkedudukan di Cicurug dibagi dengan onder distrik Cicurug, Cibodas, Benda dan Kalapanunggal. Hal ini kemudian dirubah lagi pada tanggal 17 Mei 1913 Distrik Cicurug dengan Onder Distrik Cicurug, Parungkuda, Benda dan Kalapanunggal. Pembangunan jalan kereta api Batavia-Bandung tahap pertama yaitu jalur Buitenzorg-Cicurug sepanjang 27 kilometer, dibuka pertamakali pada tanggal 5 Oktober 1881 sehingga semakin ramailah wilayah ini.
Pasca keluarnya UU Agraria mulai bermunculan perkebunan-perkebunan baru diantaranya Perkebunan Tenjo Ayu Cicurug yang didirikan oleh BBJ Crone pada tanggal 27 Februari 1882, kemudian Perkebunan Pandan Arum, yang didirikan oleh WKE Huygen 17 April 1882. Hal tersebut terjadi seiring pembangunan Jalur selanjutnya Cicurug-Sukabumi sepanjang 30 kilometer dibuka pada tanggal 21 Maret 1882.
Patut kita sadari, perubahan orisinalitas bangunan bersejarah ini juga adalah akibat belum adanya Perda cagar Budaya baik di Kota maupun Kabupaten Sukabumi. Ketentuan Undang-Undang RI No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebenarnya sudah jelas megenai kewajiban melestarikan bangunan cagar budaya. Dalam pasal 77 jelas disebutkan bahwa pemugaran Cagar Bangunan Cagar Budaya harus memperhatikan keaslian, tata letak, gaya dan sebagainya sehingga perubahannya seminimal mungkin.
Namun tanpa Perda sepertinya masyarakat hanya mengacu pada Bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Sehingga selain bangunan itu, dianggap bangunan yang bebas untuk dirubah atau dihancurkan jika tidak memenuhi kebutuhan dan selera masa kini. Hal ini berbahaya karena bisa meninggalkan nilai sejarah dan budaya yang terkadung didalamnya. Sebaiknya Pemerintah serius untuk segera mengeluarkan Perda tentang cagar budaya.
Email: [email protected]