SUKABUMIUPDATE.com - Sudah menjadi kebiasaan dalam peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia, dilakukan dengan pengibaran dan penurunan duplikat Sang Saka Merah Putih oleh Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Konon bendera pusaka asli Republik Indonesia yang berwarna merah putih dijahit oleh Ibu Negara Fatmawati dalam 9 sambungan pada tahun 1944. Bendera yang sarat dengan makna filosofis diantaranya secara umum menandakan Merah untuk keberanian dan putih untuk kesucian, dikibarkan pertamakali saat Proklamasi oleh Latief dan Soehoed. Sukabumi yang sudah sejak masa penjajahan turut andil dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, tidak lepas perannya dalam pengibaran sang saka merah putih di wilayah Kota dan Kabupaten. Hal ini tidak hanya berlangsung sejak proklamasi kemerdekaan, namun sejak masuknya penjajah Jepang.
Pada masa akhir kekuasaan Hindia Belanda, Sukabumi dipengaruhi banyak pejuang pergerakan baik pituin asli Sukabumi seperti Didi Sukardi dan Mr Sjamsoedin, maupun para pejuang pergerakan yang bermukim dan yang dibuang ke Sukabumi seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Mr. Amir Sjarifudin. Bahkan saat Jepang masuk, Hatta mengkonfirmasikan kesediaan Jendral Nakayama melalui Kolonel Ogura untuk menjanjikan kemerdekaan Indonesia sebagai syarat bekerjasama, yang berlangsung di Pendopo Sukabumi dan disaksikan oleh Bupati Soeria Danoeningrat pada tanggal 21 Maret 1942 pukul 5.00 sore. Janji inilah yang kemudian hari memunculkan Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tak heran semangat kemerdekaan sudah merasuk dalam segenap sanubari masyarakat Sukabumi sejak lama.
Momen pengibaran bendera merah putih pertamakali di Sukabumi terjadi saat Pasukan Hindia Belanda kalah oleh Balatentara Jepang. Kekalahan yang dipicu oleh kegagalan perundingan di Selabintana tanggal 24 September 1940 antara Kobajashi dan Van Mook, menyebabkan Jepang menyerang Pearl Harbor dan berlanjut menghancurkan Hindia Belanda. Tulisan seorang pegawai kantor pos Sukabumi (saat itu disebut PTT) bernama Sutan Iskandar yang menjadi pemimpin PTT de facto karena semua pejabat Belanda melarikan diri dari Sukabumi, menegaskan pengibaran bendera ini. Iskandar menyebutkan bahwa saat Belanda kalah, suasana Sukabumi masih tenang, bendera Merah Putih telah berkibar diseantero kota. Akan tetapi di suatu minggu, terjadi kerusuhan dan penggarongan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu. Kekacauan berlangsung selama 3 hari, kemudian datanglah tentara Jepang dengan berbagai peralatan militernya. Kota Sukabumi dalam waktu relatif singkat menjadi aman kembali, akan tetapi kini semua kantor pemerintah di kuasai orang Jepang, Bendera Merah Putih tidak boleh dikibarkan di kantor-kantor pemerintah, yang boleh dikibarkan adalah bendera Hinomaru.
Senada dengan kesaksian tersebut, Dari buku Doea poeloeh lima taoen sebagi wartawan-Kweek Kek Beng, terbitan Kuo Batavia 1948, menyebutkan bahwa saat tentara Jepang memasuki Sukabumi, bendera Merah Putih boleh dikibarkan, bahkan awalnya orang Tionghoapun dipaksa mengibarkan merah putih oleh tentara Jepang. namun karena pemerintahan Jepang bersifat fasisme, maka kebudayaan Jepang dipaksakan untuk dilebur, misalnya pada hari-hari besar wajib mengibarkan bendera Jepang dengan lagu kebangsaan Kimigayo. Kalender yang digunakan adalah kalender Jepang yang bernama Sumera ditetapkan mulai 29 April 1942 yang sama dengan tahun 2602 kalender Sumera. Masyarakat Sukabumi juga diwajibkan untuk merayakan Hari Raya Tencosetsu, yaitu hari lahirnya Kaisar Hirohito. Dari fakta ini bisa diketahui bahwa bendera merah putih sebagai bendera nasional Indonesia sudah berkibar di Sukabumi sebelum negeri ini merdeka.
Bendera Merah putih di Sukabumi mempunyai makna filosofis yang unik karena menggambarkan Gula Aren (Merah) dan Nasi (putih) sebagai hasil perkebunan dan pertanian masyarakat Sukabumi sejak lama. Gula Aren menjadi komoditas yang diminati oleh pebisnis kolonial selain menjadi konsumsi masyarakat. Aren ini pula yang yang menyebabkan Jan Jacobz menjalankan bisnis tuak/anggur nira di pelabuhanratu pada tahun 1626 sehingga disebutlah pegunungan disekitar pelabuhan ratu sebagai Wijncoops Mountain. Wijn yang berarti anggur/tuak juga disematkan kepada pantainya yang disebut Wijncoopsbaai (Buys:1891). Sementara beras dihasilkan dari budaya pertanian asli Sukabumi yang disebut Tipar atau huma atau gaga, yaitu ladang/sawah kering. Meskipun budaya sawah berair dari mataram masuk, tetapi budaya huma masih terus bertahan diwilayah selatan dan menghasilkan jenis nasi yang special rasanya. Nama Tipar sendiri masih tersemat pada toponimi beberapa tempat, termasuk Tipar di Kota Sukabumi.
Saat Jepang menyerah kepada Sekutu, Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia atas desakan kaum muda pada tanggal 17 Agustus 1945. Angin Proklamasi berhembus ke seluruh wilayah Nusantara tak terkecuali Sukabumi baik melalui media cetak maupun radio. Para pemuda yang sudah terlatih dengan pergerakan dan perkumpulan di jaman Jepang, mulai resah dan merasa wajib melakukan perjuangan untuk mengambil alih kekuasan dari Jepang. Masyarakat Sukabumi kemudian mengirimkan utusan ke Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk mengkonfirmasi berita kemerdekaan ini melalui Edeng Abdullah dan Djakaria. Mereka kemudian mendapat perintah khusus dari Maruto Bitimiharja untuk melaksanakan proses pengambilalihan pemerintahan di Sukabumi dari balatentara Jepang.
Edeng dan Djakaria kemudian menyebarluaskan informasi itu kepada para pejuang Sukabumi yang berkumpul di Jalan Cikiray no.10B. Informasi Pada tanggal 20 Agustus 1945 para tokoh lainnya mengadakan rapat yang lebih luas bertempat di asrama NAGAKO (Sekolah Pertanian) yang dihadiri oleh Dr. Abu Hanifah, Suradiraja, Mr. Syamsudin, Gatot Mangkupraja, Suriana, A. Gani, Setiaatmaja, Sasmita, Iskandar, Sukatma, M. Barnas dll. Keesokan harinya para pejuang beserta tokoh tentara PETA bergerak mengambil alih gedung pertemuan umum Societeit Soekamanah (Sekarang gedung Juang). Seorang Tionghoa bernama Lay Tin Yung (julukannya si Godeg) yang bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan, menyiapkan gulungan kain berwarna merah putih yang diberikan kepada para pejuang. Kain tersebut kemudian dibuat menjadi beberapa bendera baik yang dijahit maupun yang langsung tanpa jahitan.
Selanjutnya Gedung Balai Pertemuan Umum yang sekarang menjadi Gedung Joeang 1945 itu dijadikan Markas Barisan Keamanan Rakyat (BKR) serta menjadi Markas Perjuangan Rakyat Sukabumi, sebagai tempat berkumpulnya para pejuang dalam mengatur strategi mempertahankan kemerdekaan. Mereka mencetuskan kebulatan tekad untuk merebut kekuasaan. Tak berapa lama setelah berhasil merebut Balai Pertemuan Umum para pejuang pun berhasil mengibarkan bendera Merah Putih yang sudah dijahit para pejuang di alun-alun Kota Sukabumi persis di depan Mesjid Agung Sukabumi menyambut proklamasi yang dikumandangkan oleh Sukarno-Hatta. Pengibarannya dilakukan oleh pejuang bernama Iskandar, yang kemudian dibarengi oleh terikan “Pekik Merdeka”.
Sementara itu momen heroik juga terjadi di Sekolah polisi yang masih dikuasai pasukan Jepang. Senjata dari sekolah kepolisian Sukabumi dibawa ke Markas tentara Jepang untuk menghindari perlawanan bersenjata. Inspektur Sekolah Polisi Raden Said Soekanto kemudian memaksa Jepang untuk mengibarkan bendera merah putih dan mengembalikan senjata serta menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah Indonesia. Sesudah pembicaraan yang alot dan panas, Jepang akhirnya memberikan 25 pucuk senjata untuk pengamanan namun meminta pengalihan kekuasaan terjadi sesudah munculnya pasukan sekutu, sementara merah putih boleh dikibarkan bersebelahan dengan bendera jepang. Said Soekanto kemudian berangkat dari Sukabumi menuju Jakarta dan menemui Bung Karno meminta pengambilalihan Sekolah Polisi, Bung Karno belum memberikan jawaban malahan mengangkat dia menjadi Kepala Polisi negara pertama Republik Indonesia. Said Soekanto kemudian menginstruksikan untuk segera mengambilalih Sekolah polisi paling lambat 1 Oktober 1945 (Madjalah Pantja Warna 1956-perayaan ulang tahun Sekolah Polisi X 15 Desember 1955).
Sayangnya kedatangan pasukan sekutu di Jakarta menyebabkan pemerintah Jepang melucuti senjata para mantan PETA dan HEIHO di Sukabumi, hal ini menimbulkan ketegangan yang tajam. Untuk mengurangi ketegangan itu Jepang mencoba bersikap lunak dengan membebaskan tahanan politik seperti A.M Sipahutar, Adang Trenggana dan Bainun. Untuk menindak lanjuti pendirian Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jakarta, maka di Kabupaten Sukabumi dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) dengan ketua Mr. Haroen, sementara anggotanya adalah MO. Zaenudin, S. Waluyo, Ali Basri dan R. Oetom Soemaatmadja Mr. Samsoedin, dr. Abu Hanifah. Mr. Haroen serta para pejuang kemerdekaan dan kelompok Cikiray 10B mengadakan musyawarah dan memberi rekomendasi antara lain: mengutus delegasi ke Keresidenan Bogor untuk mendesak Syucokan melaksanakan serah terima kekuasaan dari tangan Jepang kepada Pemerintah Republik Indonesia dan mengadakan aksi gerakan penyerangan yang ditetapkan pada tanggal 1 Oktober 1945 pagi hari. Didi Sukardi, Emo Raharja dan Acun Basyuni kemudian bernegosiasi dengan penguasa Jepang dari Syuchokan tentang permintaan untuk transfer kekuasaan kepada republik baru. Jepang merespon permintaan dengan kebijakan mempertahankan status quo, mereka hanya mengikuti perintah setelah kekalahan. Panitia akhirnya kembali tanpa hasil apapun.
Pada hari Senin tanggal 1 Oktober 1945, ba’da Sholat Subuh, rakyat membanjiri Gedung Pertemuan Umum hingga lapang Victoria (Lapang Merdeka sekarang) dan alun-alun. Rakyat mendengarkan pidato Acun Basyuni, sebagai delegasi yang diutus ke Bogor, yang menegaskan bahwa perundingan antara tim R. Emohardja dengan Syucokan di Bogor hasilnya gagal karena pengambilalihan ditingkat Kota dan Kabupaten ditangguhka. Hasil dialog antara K. Acun Basuni, S. Waluyo, dan Ali basri dilanjutkan dengan pertemuan Ali Waluyo dan Basri dengan pimpinan KNID dan BKR dan menghasilkan penetapan untuk melakukan perebutan kekuasaan yang dilanjutkan dengan pembentukan panitia lima. Panitia ini terdiri dari Suryana dari unsur eks PETA, Kukoyo dari unsur Kepolisian, S. Waluyo dari unsur KNID, K. Abdurohim dari unsur Alim Ulama dan Ali Basuri dari unsur Daerah (kecamatan-kecamatan).
Rencana Panitia Lima diantaranya:
Membebaskan para tahanan
Mengibarkan bendera merah putih (yang telah disiapkan) diseluruh jawatan dan instansi, serta di pelosok Kota Sukabumi.
Mengganti kepala-kepala Jawatan yang dipegang oleh Jepang dan diganti oleh Orang Indonesia
Maka bergeraklah massa menguasai instansi-instansi dan mengibarkan bendera merah putih. Sasaran pertama adalah kantor Kempetai (sekarang Kantor BPN dan Kantor Dirjen Pajak) dan berhasil membebaskan 9 (sembilan) orang yang menjadi tahanan politik Jepang di dalamnya diantaranya RA Kosasih, pejuang yang sempat menjadi Pangdam Siliwangi dan menjadi nama jalan di sekitar Ciaul. Kemudian berlanjut ke Kantor pemerintahan beserta instansi lainnya seperti Denki (PLN) dan kantor tambang Mas Cikotok, kantor Si (Kotamadya) dan Kantor Ken (Kabupaten), Kantor Telpon, Pabrik Mesin Osamu Dai 10360 Butai Dai Jon Bun Kojo (NV Braat) dll. Semua instansi yang direbut dikibarkan bendera-bendera merah putih yang sudah disiapkan.
Bendera merah putih tersebut tetap berkibar hingga agresi Belanda Juli 1947. Para pejuang kemudian membawa bendera-bendera tersebut secara tersebar, diantaranya dibawa oleh Oting Afghani (Ayahanda Bupati Sukabumi Marwan Hamami dan Wakil Walikota Andri Hamami) dan Lay Tin Yung (Si Godeg) yang turut mundur ke Nyalindung hingga akhirnya ikut hijrah ke Yogyakarta. Sesudah kembali ke Sukabumi tidak diketahui pasti keberadaan bendera-bendera tersebut. Menurut keterangan keluarga Si Godeg (wawancara Acung, pemilik toko dan percetakan sinar kota, putra si Godeg) sebagian bendera-bendera tersebut disimpan di rumah H. Oting, namun bendera yang pertamakali dikibarkan di alun-alun disimpan oleh Si Godeg di rumahnya di Jalan Baros (Otista). Bendera tersebut sempat dilihat oleh Jendral Kosasih saat berkunjung ke rumahnya dan diminta dipasang, sayangnya bendera tersebut kemudian hilang dan tak diketahui keberadaannya.
Bendera tersebut bisa dikategorikan sebagai bendera pusakanya Sukabumi karena pertamakali dikibarkan di Alun-alun Sukabumi pasca proklamasi, di tempat berkumpulnya masyarakat saat melakukan pengambilalihan kekuasaan secara heroik. Bendera tersebut dipertahankan oleh para pejuang dengan darah, karena jika ketahuan mengibarkan bendera merah putih maka pasukan Belanda tak segan-segan untuk menembak. Bendera merah putih adalah simbol kedaulatan dan kehormatan bangsa. Seharusnyalah diperlakukan secara terhormat sebagai pengakuan terhadap rasa memiliki atas Republik yang kita cintai ini. Sangat disayangkan bendera pusaka sukabumi ini raib, jikalau pemerintah sejak awal mengetahui hal ini tentu benda pusaka ini bisa diselamatkan.
Oleh: Irman "Sufi" Firmansyah
Ketua Yayasan Dapuran Kipahare
Kepala Riset dan Kesejarahan Soekaboemi Heritages
Email: [email protected]