Oleh Ikral Panutan
Mantan Presiden Mahasiswa BEM UIKA BOGOR (Aktifis Pergerakan ‘98)
“Apakah pemilu bisa merubah nasib? nasib sang pemegang kedaulatan negeri ini, Rakyat Indonesia?”
Pertanyaan ini acap kali terlontar dan mengemuka ketika pesta demokrasi akan dimulai. Hal yang wajar pertanyaan itu muncul karena masyarakat merasa hanya dijadikan objek dari syahwat politik guna mencapai kekuasaan, setelah kekuasaan itu digenggam, tak ada perubahan signifikan yang dirasakan sang pemegang kedaulatan itu. Sejatinya, ketika rakyat memilih, harapan besarnya adalah perubahan nyata perbaikan kehidupan mereka yang tertuang dalam kebijakan-kebijakan penguasa yang dipilihnya. Wajarlah bila masyarakat lebih memilih untuk beraktifitas mencari nafkah seperti hari hari biasa dibanding harus pergi ke TPS yang tidak ngefek itu.
Kecenderungan apatisme semacam ini selayaknya bisa bergeser pada mekanisme daya nalar yang kokoh, jaman sudah berubah dan SDM partai sudah berbenah, mekanisme kepemiluan terus diperbaiki. Keterlibatan masyarakat mutlak diperlukan sebagai bentuk legitimasi atas sebuah pemerintahan.
Pemilu merupakan pilar demokrasi sebagai wahana mendapatkan legitimasi sebuah pemerintahan, sehingga pemerintah yang dihasilkan pemilu menjadi pemerintahan yang kuat. Parameter mendasar pemilu berjalan baik adalah aktifnya peran serta masyarakat dalam proses tahapan pemilu. Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan berkepentingan mengawal jalannya pesta demokrasi sesuai aturan perundang-undangan dan aturan main yang free dan fair, tentunya kesadaran masyarakat untuk datang ke TPS merupakan hal terpenting dan bersifat mutlak, karena penambahan jumlah pemilih yang melaksanakan pemungutan suara adalah salah satu barometer kesuksesan pemilu, ini akan berbanding lurus dengan legitimasi masyarakat terhadap jalannya suatu pemerintahan, ujungnya berdampak pada kehidupan sang pemilik kedaulatan itu.
Herbet McClosky dalam bukunya, Etos Amerika; Sikap Masyarakat Terhadap Kapitalisme dan Demokrasi, menyimpulkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat untuk mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Bahkan Max Weber membagi masyarakat melakukan aktivitas politik karena 4 alasan, pertama alasan rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok. Kedua, alasan emosional afektif, yaitu alasan didasarkan atas kebencian atau sukarela terhadap suatu ide, organisasi, partai atau individu. Ketiga, alasan tradisional, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. Keempat, alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi.
Kesimpulan
Peran aktif masyarakat dalam proses pemilu adalah mutlak adanya, karena pemilu merupakan implementasi dari sistem demokrasi, dan sang pemegang kedaulatan negara ini adalah rakyat. Rakyat harus merasakan dampak dari “pesta” itu. Karenanya, pemilu harus berdasarkan keikhlasan hati, niat yang tulus pengabdian (dari calon legislatif dan eksekutif) dan kemurnian perjuangan kontribusi dari individu masyarakat yang mempunyai hak suara. Demokrasi yang diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat, maka konsep untuk rakyat ini seharusnya diterjemahkan dengan pengertian sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Mutualisme simbiosis, semua senang dan saling diuntungkan. Masyarakat senang karena ada perubahan perbaikan hidup yang signifikan, para penguasa menjalankan amanahnya dengan nyaman dan legitimasi penuh. Jelaslah, kontribusi dan partisipasi masyarakat dalam pemilu saling terkait dan saling menguntungkan. Seharusnya.