Sejarah Sukabumi baik kabupaten maupun kota tak lepas dari keberadaan islam sebagai agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Sukabumi. Tanpa menafikan peran agama lainnya, Islam secara kepercayaan maupun peradaban mewarnai sejarah Sukabumi secara lintas jaman, bahkan bercampur aduk dengan kepercayaan masa purba dalam beberapa prakteknya.
Berbicara tentang agama islam dalam bingkai sejarah Sukabumi tentu tidak terlepas dari kepercayaan yang ada baik sebelum maupun sesudah masuknya islam. Sebelum islam masuk maka bukti-bukti kepercayaan awal bisa dilihat dari situs-situs megalitikum yang bertebaran di Sukabumi.
Misalnya di kadudampit ada Situs Batu Kabayan berupa menhir batu, di kampung tugu Sukaraja da juga Batu nangtung, di Cengkuk Pelabuhanratu ada tugu nangtung dan batu-batu ritual lainnya, di cicurug ada batu bergores, batu kujang. Media batu menjadi ciri kuat dalam ritual peribadatan masa lalu di Sukabumi. Batu dipilih sebagai media karena batu sifatnya kuat tahan segala cuaca hingga ribuan tahun, batu juga dianggap tak berharga, tidak seperti emas atau perak yang mudah dicuri orang. Batu aman dari kejahilan meski tergeletak dipinggir jalan.
Selain itu tempat peribadatan masa lalu di Sukabumi mempunyai ciri tempat yang tinggi dari pemukiman, mereka biasanya menempatkannya di bukit yang dilintas sungai, selokan atau mata air untuk bersuci sebelum naik ke tempat ibadah.
Ketika masuknya pengaruh India berupa munculnya kerajan-kerajaan bercorak Hindu Buddha seperti Salakanagara, Tarumanegara dan Sunda Pajajaran, banyak yang mengira bahwa masyarakat sunda mempunyai kepercayaan Hindu.
Nyatanya ketika ada rombongan Fa Hien yang terdampar di pantai selatan tahun 414 m dan akhirnya tinggal selama lima bulan di kerajaan Tolomo (Tarumanegara), dia menyebutkan bahwa agama orang sunda itu adalah agama yang kotor dan berbeda dengan agama Hindu dan Buddha. Hal ini menegaskan bahwa agama sunda bukan Hindu atau Buddha tapi ageman sendiri.
Namun secara budaya memang ada pengaruh dari India seperti bahasa sunda kuno dan jawa kuno yang berakar dari bahasa sansekerta, misalnya pada prasasti Cibadak bertahun 1030 masehi sangat kental pengaruh kerajaan Hindu Jawa Timur.
Pertanyaan yang sering menggelitik banyak orang Sukabumi adalah kapan Islam masuk ke Sukabumi? wacana yang berkembang kuat adalah pendapat yang menyebutkan bahwa islam masuk ke Sukabumi pada masa Sunan Gunung Jati dan Syekh Makhdum sekitar tahun 1480 hingga pertengahan 1500an.
Namun ada fakta lain yang menarik yaitu temuan Batu Giok, Mushaf Quran dan Kujang berangka arab 740 di sekitar Pesantren Panjalu Selabintana saat penggalian fondasi sebuah bangunan. Jika kita asumsikan angka 740 arab sebagai Hijriyah maka dalam masehi sekitar tahun 1340.
Yang lebih menarik lagi dalam salah satu versi sejarah Sunda (Naskah Carita Puwaka Caruban Nagari) disebutkan bahwa Nyi Subang Larang, istri Kedua Prabu Siiwangi yang sudah muslim mempunyai tiga orang anak yaitu: Walasungsang, Lara Santang dan Raja Sengara. Konon Raja Sengara ini dikenal Masyarakat sebagai Kian Santang.
Sesudah beliau menunaikan ibadah haji Raja Sangara merubah namanya menjadi Haji Mansyur dan melakukan perjalanan dakwah ke wilayah Pajajaran Tengah yaitu sekitar Sukabumi Bogor Cianjur. Sementara Sunan Gunung Jati adalah anaknya Lara Santang, jadi dalam versi ini Sebelum Sunan Gunung Jati berdakwah ke Priangan, Pamannya sudah duluan berdakwah.
Jika melihat angka 1340 masehi di kujang tersebut apakah yang dimaksud adalah Haji mansyur? Wallahu a'lam bissawab, silahkan ahli sejarah meneliti temuan ini
Metode yang digunakan dalam penyebaran islam ke Sukabumi diantaranya melalui perkawinan, perdagangan, pendidikan, seni budaya dan tassawuf. Menurut Edy S. Ekadjati penyebaran yang masuk ke Sukabumi pada masa itu terutama dari 2 titik yaitu Cirebon dan Banten.
Para pendakwah tersebut memasuki kampung-kampung sekitaran Sukabumi dengan prinsip “Alladzina yandzurunal ummah bi’ainirrahmah”, mereka memandang umat dengan pandangan penuh kasih dan sayang sehingga masyarakat yang awalnya menentang keras kemudian menjadi tertarik untuk belajar islam.
Maka tak jarang para pendakwah menjadi kokolot kampung dan pembuka kampung awal yang sangat dihormati. Misalnya Eyang Dalem Fatra Santana di pekuburan Nyangkowek Cisaat dan Syekh Tubagus Tanjung Gunung Guruh.
Kuburan para pendakwah seringkali diletakan ditempat tinggi seperti bukit bahkan ditempatkan pada situs megalitikum kuno seperti kuburan Eyang Gentar bumi seorang penyebar islam dari Banten yang konon memiliki kesaktian tinggi, dikuburkan diatas punden berundak di Pangguyangan.
Masyarakat juga seringkali membumbui kisah mistis dengan tujuan melindungi kuburan dari tangan-tangan jahil sehingga orang akan berfikir puluhan kali jika hendak merusak kuburan karena takut akan kejadian buruk. Begitulah cara menghormati para pendakwah di masa lalu.
Pasca runtuhnya Pajajaran oleh Kerajaan banten menyebabkan Penyebaran Islam semakin pesat karena Sukabumi ibarat tanah tak bertuan, Banten sempat merangsek sampai Gunung Walat dan Kutawesi (Kota Sukabumi) sehingga masyarakat saat itu mengungsi ke Gunung Guruh. Namun pasca serangan, Pasukan Banten meninggalkannya begitu saja seperti juga Kota Pakuan.
Sesudah itu muncul kekuatan baru bernama Mataram yang menguasai Priangan dan mengklaim wilayah Sukabumi sebagai bagiannya dengan simbol kekuasaan Cianjur, namun lagi-lagi wilayah selatan terutama Jampang masih independen yang dipimpin seorang Umbul/Cutak. Para pendakwah dengan leluasa memasuki wilayah Sukabumi dari arah barat (Banten), utara (sagaraherang) maupun timur (Banten dan mataram).
Bahkan menurut sebuah kisah, Aria Wangsagoparana yang menurunkan para bupati Cianjur, sudah berdakwah ke wilayah Sukabumi sejak tahun 1530. Mereka datang dari berbagai profesi karena dakwah dianggap sebagai salah satu kewajiban muslim yang harus ditunaikan. Sesuai ungkapan Imam Syahid Hasan Albana “ Nahnu duat qabla kulla sai “ artinya kami adalah da’i sebelum profesi-profesi lainnya.
Maka tak heran islam berkembang dengan pesat, selain karena ajarannya sendiri yang mudah diterima masyarakat. Ajaran islam yang sederhana, cara masuk islam yang mudah (hanya dengan dua kalimah syahadat), tak mengenal kasta, upacara ritual yang sederhana dan didakwahkan secara damai menyebabkan masyarakat tak melakukan penentangan.
Para pendakwah juga tak mengenal perbedaan bangsa, selain bangsa arab yang fokus berdakwah ada juga bangsa Tionghoa seperti Tan Sam Cay (Muhamad Syafei) masih saudara Sunan Gunung Jati dari istrinya seorang putri Tionghoa. Tan Sam Cay melakukan dakwah ke wilayah bekas pajajaran tengah diantaranya bogor, Sukabumi dan Cianjur.
Bahkan ada dua kuburan di gunung rahayu Pelabuhanratu yang konon makam pendakwah Tionghoa bernama Qudratullah dan Diqudratullah (Raden Cengkal).
Masuknya orang-orang Eropa terutama bangsa Belanda menjadi titik balik baru, mereka datang untuk berdagang dengan hanya membawa 4 kapal dan 200an awak kapal, namun akhirnya bisa menguasai seluruh nusantara. Mereka membawa misi Gold, Gospel & Glory yaitu mencari kekayaan, menyebarkan kekristenan dan kejayaan bangsa.
Kekayaan yang dicari dari wilayah kita adalah rempah-rempah. Mereka membeli rempah-rempah dari para penguasa lokal sehingga siapapun akan merasa senang dengan datangnya pembeli.
Namun mereka ternyata bukan sekedar pedagang karena mempunyai tentara, membuat mata uang dan mewakili negara sehingga mirip negara kapal. Lambat laun mereka mulai masuk menjadi backing penguasa lokal secara ekonomi dan militer dan masuk dalam setiap konflik membantu salah satu kelompok yang berseteru.
Namun mereka selalu menyisipkan syarat kompensasi yaitu penguasaan tanah. Hal ini menimbulkan konflik, salah seorang ulama asal Sulawesi yang bermukim di Banten yaitu Syekh Yusuf Al Makasari bergerilya di wilayah Jampang pada tahun 1683 untuk melawan VOC akibat konflik putra kerajaan yang dibantu VOC dengan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten.
Putra Sultan Banten lainnya yaitu Pangeran Purbaya juga bergerilya dilereng gunung gede sekitar nagrak yang kemudian ditangkap oleh Untung Suropati.
Meskipun terjadi beberapa pertikaian, akan tetapi dakwah terus berjalan, rekan Syekh Yusuf yaitu Syekh Abdul Muhyi yang sama-sama menimba ilmu pada Syekh Aburauf Assingkili (Aceh) terus menyebarkan islam di Sukabumi dan wilayah priangan selatan lainnya.
Wilayah Sukabumi akhirnya menjadi korban strategi licik VOC ini sehingga diserahkan oleh Mataram tahun 1677 kepada VOC atas jasa VOC membantu menumpas pemberontakan Trunojoyo.
VOC kemudian merubah perannya dari bangsa pedagang menjadi penguasa teritori, mereka kemudian memutar otak untuk menguras tanah yang sudah dikuasai. Sepuluh tahun kemudian (1687) mereka mengirimkan Letnan Tanujiwa dan Sersan Scipio ke Sukabumi tepatnya ke Gunung Guruh kemudian menyusuri lokasi menuju Pelabuhanratu untuk melakukan survey.
Dari Survey itulah kemudian diketahui betapa suburnya tanah ini sehingga akhirnya ditanami komoditas yang laku dipasaran internasional seperti Kopi dan Nila.
Caranya dengan bekerjasama dengan penguasa lokal yaitu Wiratanudatar di Cianjur untuk menguras kekayaan alamnya secara paksa melalui sistem cultuur stelsel (Tanam Paksa).
Pemaksaan in tentunya mendapat tentangan diantaranya adalah pemberontakan seorang ulama Jampang bernama Prawatasari yang dijuluki Karaman Jawa selama 5 tahun lamanya.
Dalam pengumuman Joan Van Hoorn disebut sebagai Paap (kepala agama semacam bapa/father/pope) Prawata melakukan pemberontakan yang lebih dahsyat dari perang diponegoro karena cakupan gerilyanya mulai dari pinggiran Batavia, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut bahkan sampai Jawa tengah sebelah barat dengan melibatkan 3000 orang Jampang, durasi perangnya juga cukup lama mulai 1702 sampai 1707.
Tiga tahun Sesudah ditumpasnya Prawatasari yaitu tahun 1710, dilaporkan bahwa di daerah Jampang, petani setempat telah melakukan perlawanan terhadap ketentuan-ketentuan Kompeni yang membebani kehidupan mereka. Perlawanan itu dipimpin oleh seorang ulama dengan melibatkan sekitar 1.000 orang petani. Konon mereka ditumpas dengan melibatkan pengkhianat yang menyebabkan mereka saling bertikai satu sama lain, sang ulama kemudian dibawa ke Batavia dengan dirantai.
Tiga tahun kemudian, di tempat yang hampir sama kembali muncul aksi kolektif menentang para bupati Kompeni. Pemimpin aksi itu yang mengaku bernama Dermakusuma yang mendapat dukungan dua orang ulama bernama Tanuputra dan Wiradana berjanji akan membunuh bupati Cianjur, Cibalagung, Cikalong, dan Cileungsir.
Namun sebelum kelompok Dermakusuma berbuat banyak, pasukan Kompeni berhasil mendesak dan mengusir kelompok itu keluar wilayah Sukabumi. Dermakusuma ditangkap dan dibuang ke Ceylon (Srilanka). Sampai abad ke-19 pemberontakan-pemberontakan meskipun dalam skala kecil selalu terjadi di Jampang. kemudian Demakusuma dan para ulama lainnya menyatakan jihad tak pernah berhenti menyerang pasukan VOC. Akibat hal ini akhirnya wilayah Jampang dan pelabuhanratu dimasukan ke wilayah Cianjur dikontrol langsung Bupati lokal.
VOC terus melakukan penumpasan terhadap setiap gerakan kalangan islam dengan bantuan kekuasaan penguasa lokal, bahkan pasukan VOC juga direkrut dari orang lokal dan sebagian besar muslim seperti orang Jawa, Sunda, Ambon, Bali, Madura dan Timor.
Pada masa ini muncul pula pendakwah dari mataram yang sebenarnya para prajurit mataram yang desersi pasca serangan Mataram ke Batavia 1624. Sebut saja Syaofidin Al Matromiy yang kuburannya berada dekat Mesjid Agung Sukabumi, kemudian Eyang Bale Rante yang kuburannya sudah menjadi gudang Supermall.
Ada pula para penyebar islam yang sebenarnya ningrat lokal seperti Sanghyang Borosngora (kuburannya di Ciambar) yang sempat membentuk kaukus muslim lokal dalam konferensi Gunung Bengbreng tahun 1650 bersama Aria Wiratanudatar dengan pemberitahuan kepada VOC bahwa negri mereka tidak tunduk pada mataram maupun VOC tetapi tunduk kepada Allah SWT (dagregister 1666).
Sesudah kebangkrutan VOC maka wilayah Sukabumi kemudian dikuasai oleh Republik Bataaf yaitu kaki tangan Napoleon di Belanda. Daendels yang dikenal dengan sebutan Jendral Mas galak dan dikenal membuat jalan anyer Panarukan dikirimkan ke pulau Jawa.
Kemudian datang lagi kekuasaan baru yaitu inggris melalui Thomas Raffles yang mengalahkan pasukan Bataaf. Pada masa inilah wilayah Sukabumi dijual kepada seorang pengusaha bekas mantri kuris dan dokter bedah bernama Andries De Wilde.
Saat Andries de Wilde mengelola wilayah ini dengan baik bekerjasama dengan para kokolot dan ulama (yang disebutnya imam). Para kokolot kemudian mengajukan nama untuk tanah yang diolahnya ini yaitu Sukabumi yang berarti kesenangan di bumi atau tempat yang membuat kita betah untuk tinggal alias bumen-bumen.
Konon pengajuan ini disetujui para ulama dari ayat Quran QS. Al-Baqarah: Ayat 36 "Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan".
Semenjak itu hingga diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda, nama Sukabumi terus digunakan untuk menamai wilayah ini. Pada masa pemerintah Hindia Belanda secara maksimal kekayaan alam Sukabumi diolah dan diperas sedemikian rupa melalui tanam paksa yang dikelola pemerintah dan UU Agraria yang membolehkan pihak swasta untuk menyewa lahan selama 75 tahun.
Meskipun ada pengurasan sumberdaya alam dan manusia, namun ada dampak positif terhadap wilayah Sukabumi yaitu pembangunan infrastruktur misalnya perkebunan teh Sinagar menjadi perkebunan terbesar di dunia, alat pengolah teh yang paling canggih seperti ban berjalan digunakan di Sukabumi, Jalan kereta api dibangun, Sanatorium terbaik dibangun disukabumi sehingga menjadi tujuan para pasien di Singapura dan Malaysia, Sekolah polisi dan Sekolah pertanian terbaik ada di Sukabumi, Pelabuhan Kapal besar dibangun di Pelabuhanratu dan Ujunggenteng, Lapangan terbang dibangun di Cikembar dan Pelabuhanratu, Percetakan dan penerbitan besar berada di Sukabumi bahkan industri tekstil nasional dikuasai oleh NV Tjiboenar Cisaat.
Banyak tokoh penting yang bersekolah di Sukabumi termasuk tokoh islam, salah satunya adalah ulama Garut KH Anwar Musyadad merupakan lulusan sekolah MULO sukabumi yang notabene adalah sekolah kristen. Maka tak heran secara administratif wilayah Sukabumi turut berkembang mulai dari pemisahan afdeling tahun 1871, kemudian peningkatan status gemeente untuk kota Sukabumi serta status regentschap atau kabupaten Sukabumi tahun 1921.
Seiring perkembangan wilayahnya maka nilai strategis Sukabumi menjadi penting bagi kolonialis Belanda, namun ada ganjalan yang selalu jadi duri dalam daging pada penguasa kolonial yaitu ajaran islam. Salah satu yang ditakuti kaum kolonial adalah ajaran islam untuk berjihad atas kesewenang-wenangan. Hal ini menjadi perhatian serius menjelang abad ke 19. Pada tahun 1885, koran Het Nieuws van den Dag menyebut Sukabumi sebagai sarang berkumpulnya jihadis.
Disebutkan bahwa di Sukabumi, rakyat memiliki lima tempat di mana kelompok-kelompok agama bisa berkumpul. Orang-orang yang ikut dalam kelompok-kelompok ini, yang merupakan kaum fanatik, berkumpul setelah sholat Jumat untuk membahas Perang Sabil atau Perang Suci. Ajaran tarekat menjadi sasaran kecurigaan pemerintah Hindia Belanda karena dianggap sesat dan membahayakan.
Tanggal 5 September 1886, K.F Holle melaporkan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tentang keberadaan tareqat naqsabandiyah di Priangan barat termasuk sukabumi.
Hal ini diperkuat oleh laporan residen priangan tahun 1892 yang menyimpulkan munculnya kebangkitan gerakan naqsabandiyah diwilayah sukabumi dan cianjur yang membahayakan dan mulai merekrut warga untuk disesatkan sehingga perlu segera diawasi.
Pada tahun 1925 laporan bertema kekhawatiran terhadap tarekat ini juga diangkat oleh Adviseur Voor Inlandsche Zaken, RA Kern, terhadap tarekat di wilayah Sukabumi dan Cianjur yang berkembang di pesantren dan dipimpin para kiai kharismatis.
Beberapa peristiwa penentangan dihubungkan dengan islam seperti pemberontakan Bapak Bandros 1907 di Karang tengah, sabotase kabel telegraf di desa genteng tahun 1925, pemutusan kabel telefon di Cibadak dan Pelabuhanratu tahun 1926 dan pelarian kasus Afdeling B ke Sukabumi yang mengorbankan KH Ahmad Sanusi sebagai tersangka tanpa bukti. Karena hal ini beliau akhirnya dibuang ke Batavia oleh pemerintah Hindia Belanda.
Belanda melakukan segala cara untuk menjinakan islam di Sukabumi melalui cara mengirimkan Dr Snouck Hurgronje ke Sukabumi pada tanggal 16 juli 1889 dalam rangka mempelajari gerakan Islam. Dalam buku “Sundanese Print Culture in 19th Century” tertulis bahwa seorang panghulu Sukabumi dianggap terlibat dalam tarekat Naqsabandiyah dan rumornya semua orang Eropa akan dibunuh oleh kaum Islam fanatik di Sukabumi.
Campur tangan pemerintah juga bermaksud menghalangi kemajuan islam secara ekonomi yang dilakukan melalui pejabat pemerintah, hal ini tercermin dalam perselisihan anatara patih Sukabumi dengan Sayid Ahmad bin Salim As Segaf. Orientalis GAJ Hazeu (1870-1929) pernah mengunjungi Masjid Agung Sukabumi pada akhir tahun 1907, upayanya untuk melihat sejauh mana peran masjid terhadap gerakan politik.
Dia juga melakukan pengecekan atas aturan mengenai kas masjid yang ditujukan agar kas masjid tidak terlalu tinggi. Pemerintah Hindia Belanda juga mencoba memecah belah umat dengan membuat "daftar" ulama versi pemerintah sehingga muncul istilah ulama Pakauman dan ulama non pakauman. KH Ahmad Sanusi dianggap sebagai ulama radikal yang menentang mendoakan patih dalam setiap khutbah jumat karena dianggap sebagai kaki tangan penjajah.
Hal ini mengakibatkan terjadinya friksi antara KH Ahmad Sanusi dan KH Ahmad Djoewaeni dalam beberapa hal sepertu pengambilan zakat yang dikendalikan pemerintah. Kondisi ini menjadi kontraproduktif bagi pemerintah dan ulama, bahkan akhirnya muncul istilah Dalem Jendol, julukan pada Patih dan Bupati yang dianggap hanya memikirkan urusan perut.
Selain itu pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi pendirian kampung kristen di Pangharepan (Cikembar) dengan tujuan salah satunya adalah meredam islam, bahkan dilengkapi dengan rumah sakit kristen di Karang Tengah Cibadak.
Upaya lainnya adalah melalui karantina dan sebutan haji untuk menetralisir para jamaah haji yang pulang dari Mekkah dari faham Pan Islamisme karena pada masa itu jamaah haji seringkali bukan sekedar beribadah, tapi tinggal berbulan-bulan di Mekkah untuk belajar agama pada Syeikh Mekkah. Tujuan umum upaya ini tentu saja untuk menciptakan umat islam yang lemah, yang leluasa untuk beribadah sepuasnya tapi akan sangat dilarang untuk berpolitik atau mendiskusikan politik apalagi jihad karena akan membahayakan eksistensi penjajah.
Namun hal ini tak menghalangi penyebaran islam, diantaranya ada beberapa mualaf dari bangsa Belanda seperti Louis Von Bichler seorang wanita Belanda asal Sukabumi (Keluarga pegawai kereta api sekitar tahun 1920) yang sudah beribadah haji dua kali dan meninggal serta dimakamkan di Kota Makkah.
Para ulama tetap konsisten mendakwahkan islam melalui jalur pendidikan non formal yaitu pesantren.
Pesantren dijadikan sebagai sarana pendidikan sekaligus sarana perjuangan dengan cara menjauhkan diri dari jangkauan pihak kolonial dan mendirikan pesantren ditempat terpencil seperti yang dilakukan oleh Syekh Tubagus Nur Husein yang medirikan pesantren di Kampung pasantren pada tahun 1840, pesantren yang dianggap tertua di Sukabumi dalam waktu yang bersamaan adiknya bernama Mbah Kosim mendirikan pesantren di kampung Bojong Pacing.
Selain itu pesantren juga dijadikan area perlawanan diam-diam dengan mengajarkan semangat jihad kepada para santri seperti yang dilakukan oleh KH Hasan basri di pesantren Al Hasaniyah yang didirikan tahun 1870. KH Hasan Basri dijuluki Belanda sebagai Bintang sembilan setelah dalam sebuah perdebatan tentang pendapatnya yang menyatakan bahwa disetiap kebederadaan air maka akan ada ikan.
Seorang pejabat Belanda menantangnya utuk menunjukan ikan didalam buah kelapa, uniknya saat buah kelapa dibuka ternyata ada ikan kecil (sunda: beunteur). Menjelang akhir abad-19 pesantren di Sukabumi mengalami transformasi menjadi pergerakan modern yang cukup ditakuti pemerintah kolonial.
Beberapa pesantren yang didirikan pada masa ini misalnya pesantren Sukamantri (Al Falah) yang didirikan KH Muhammad Siddiq pada tahun 1908 meluluskan banyak tokoh gerakan islam di Sukabumi. Kemudian Sirojul Athfal Tipar yang didirikan KH Masthuro Sirojul Athfal pada tahun 1920 dikemudian hari menjadi pilar perjuangan islam yang cukup berpengaruh.
Selain itu pesantren Al Amin Cicurug yang didirikan pada tahun yang sama. Sementara Pesantren Genteng Babakan Sirna yang didirikan tahun 1924 menjadi semacam efek domino terhadap peantren lain yang didirikan oleh KH Ahmad Sanusi yaitu pesantren Syamsul Ulum. Gerakan pesantren tersebut melahirkan perjuangan hebat pergerakan islam modern yang diusung KH Ahmad Sanusi.
Ada pula pesantren Babakan Tipar/Assalafiyah yang didirikan KH Abdullah Mahfuz pada tahun 1939 juga menunjukkan betapa beragamnya cara perjuangan pesantren saat itu dalam melawan penjajahan.
Gerakan islam di Sukabumi pada awalnya terdorong oleh Gerakan modern Islam dari luar Sukabumi misalnya Syarekat Islam yang didirikan di Sukabumi pada tahun 1913. Pada tahun itu juga, H. O. S. Tjokroaminoto, Presiden Sarekat Islam Pusat, berkunjung ke Sukabumi.
Daerah-daerah yang dikunjungi adalah basis Sarekat Islam di Sukabumi yaitu Cicurug, Babakanpari, Kalapanunggal, Palasari Girang, dan Jampang. Dalam kurun waktu 3 tahun saja Syarekat Islam di Sukabumi sudah mempunyai anggota kurang lebih 500 orang.
Tokoh penting Sarekat Islam Sukabumi adalah K.H. Ahmad Sanusi yang sejak Juli 1915 menjadi penasihat (adviseur) Sarekat Islam Sukabumi. Pengalaman dalam organisasi Syarekat Islam ini mendorong KH. Ahmad Sanusi dan tokoh ulama lainnya di Sukabumi untuk mendirikan Al Ittihajatul Islam (AII) pada tahun 1931 dengan diketuai KH Ahmad Sanusi.
Para pengikutnya diantaranya KH Syafei dari pesantren Pangkalan Cicurug, KH Basyumi dari pesantren Nyompong, KH Muhammad Suja'i dan KH M. Badruddin dari pesantren Kadudampit, Cisaat. Pemerintah kolonial sangat gerah dengan keberadaan AII karena ditengarai menjalin kerjasama dengan Pasundan, PI (Partai Indonesia) dan PNI (Baru).
Banyak anggota AII ini yang menjadi ketua daerah Partindo dan PNI (Baru). Tokoh-yokoh AII juga banyak menerbitkan tulisan yang menentang pemerintah seperti "Indonesia Iboe Kita", "Islam Dalam Politik International" dan lain-lain yang dimuat dalam majalah Soewara Moeslim.
AII kemudian mendirikan organisasi pemuda bernama Barisan Islam Indonesia (BII). Sementara cabang Muhammadiyah mulai didirikan di Sukabumi tahun 1930 dan fokus dalam pengembangan pendidikan Islam, kemajuan Muhammadiyah dalam peta pergerakan Sukabumi mulai muncul sejak datangnya ulama Sumatera yaitu Abdul Karim Amrullah (Tuan Haji, ayahnya Buya HAMKA) yang dibuang ke Sukabumi. Beliau membantu menjadi penasehat Muhammadiyah Sukabumi.
Munculnya kekuatan baru yang mengancam Hindia Belanda yaitu Jepang merubah peta politik di Hindia Belanda. Pasca kegagalan perundingan Selabintana, Jepang dengan bulat menyerang Hindia Belanda. Akhirnya Jepang berhasil mendarat di Banten dan Eretan untuk selanjutnya bergerak ke Batavia dan Sukabumi.
Dalam proses penguasaan kota Sukabumi Jepang menggunakan peghubung Jepang yang beragama islam yaitu Abdullah Muniam Inada untuk menghubungi KH Ahmad Sanusi guna membantu Jepang mengusir Belanda. Nama Inada kemudian disematkan pada lapangan sepakbola yang dibangun jepang pada tahun 1943 yang kelak menjadi lapangan danalaga.
KH Ahmad Sanusi berfikiran bahwa tak mungkin menghadapi dua kekuatan besar kecuali membiarkan mereka menghancurkan salah satunya terlebih dahulu. Akhirnya Jepang bisa dengan mudah menghancurkan dan menguasai bangunan-bangunan vital sesudah dibantu oleh para santri KH Ahmad Sanusi.
Jepang akhirnya berhasil menguasai Sukabumi dan melakukan konsolidasi dengan mendirikan organisasi-organisasi pembantu perang. Jepang juga memberi perhatian pada umat islam dengan pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia serta Majelis Islam Ala Indonesia. Selain itu Jepang membentuk Kantor urusan agama yang disebut Shumubu dan mengorgaisir para santri dan ulama dalam laskar Hisbullah dan Fisabilillah.
Perekrutan laskar ini sangat ketat karena merupakan laskar bantuan perang untuk melindungi Jawa. Konon syarat untuk menjadi laskar Hisbullah adalah usia maksimal 21 tahun, usia yang sangat tak takut dengan resiko, sementara laskar Fisabilillah usia minimalnya 40 tahun, sehingga banyak orang tua yang bergabung karena ingin mati dimedan tempur.
Jepang juga menjadikan ulama sebagai juru penerang propaganda perang dan memberi ruang seluas-luasnya bagi para kiai untuk memobilisasi rakyat dengan memanfaatkan isu perlawanan anti barat dan kharisma ulama.
Mereka dikumpulkan di pendopo Sukabumi dan dilakukan kursus ulama pemerintah secara rutin. Para ulama juga dijadikan alat untuk mengumpulkan beras dari masyarakat untuk keperluan perang, hal ini menimbulkan gejolak sehingga sebagian masyarakat seperti di Cicurug menjuluki ulama pemerintah sebagai Kiai Kuintal.
Penindasan ini juga menjadikan sebagian ulama melakukan pembangkangan seperti yang dilakukan oleh KH Ahmad Nadhir di Pesantren Bandang Cijurey, beliau mengajarkan untuk menentang penindasan Jepang sehingga sempat ditangkap dan dipenjara di Tegal Panjang. Jepang sempat akan meratakan kampung Bandang namun gagal karena karomah Sang Kiai yang membuat kampung nampak terlihat seperti danau.
Pada masa akhir masa kekuasaan Jepang para ulama turut berperan dalam persiapan kemerdekaan. Tokoh Sukabumi seperti KH Ahmad Sanusi dan Mr Sjamsoedin yang merupakan santrinya KH Ahmad Sanusi, menjadi anggota BPUPKI dan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia bersama para pemimpin nasional lainnya.
Pasca kekalahan Jepang oleh sekutu, untuk pertamakalinya Mesjid Agung Sukabumi mengibarkan bendera merah putih menyambut proklamasi yang dikumandangkan oleh Sukarno-Hatta.
Kalangan islam dan para ulama menggaungkan perebutan kekuasaan di Sukabumi dari pemerintah Jepang. Beberapa ulama masuk menjadi elemen penting dalam perebutan kekuasaan ini diantaranya KH Abdurohim yang menjadi Panitia Lima sehingga perebutan kekuasaan terselenggara dengan baik.
Selain itu KH Atjoen Basjoeni diangkat menjadi ketua BKR Sukabumi, badan militer pertama Republik Indonesia, sayangnya beliau kemudian diculik dan dibunuh orang-orang tak dikenal saat ditugaskan ke yogyakarta. Para ulama dan santri yang tergabung dalam Hisbullah dan Sabilillah menjadi komponen penting dalam perang konvoi yang menghancurkan mental pasukan pemenang perang dunia II.
Uniknya ada dua orang Jepang bernama Shiroy dan Wakayama yang membantu melatih para pemuda di Wanasari, mereka merubah namanya menjadi Karta dan Soma dan kemudian memeluk agama islam. Para santri digelorakan oleh para ulama dan konon sebelum bertempur "dimandikan" oleh KH Ahmad Sanusi di alun-alun kota Sukabumi. Sepak terjang para kiai di medan pertempuran melawan Inggris juga sangat terkenal diantaranya KH Damanhuri yang tergabung dalam Hisbullah.
Kedua tokoh ini (KH Ahmad Sanusi dan KH Damanhuri) sangat dikagumi oleh Kawilarang yang menjadi komandan pasukan Siliwangi di Sukabumi pada masa agresi militer Belanda I. Dalam beberapa operasi Kawilarang bertemu dengan KH Damanhuri dan Dadi Abdullah disekitaran Sukabumi seperti di Gunung Guruh. Kemudian dari kalangan santri yang cukup menonjol adalah Husein Bakhtiar di Cipriangan yang menjadi tandem tempur pasukan Kala Hitam pimpinan Princen, seorang desersir Belanda yang membelot ke pihak republik dan menjadi mualaf.
Princen yang mengacau kepentingan Belanda di daerah Pada Asih, Kadudampit, Baros, Sukaraja dan Gandasoli ini juga bekerjasama dengan seorang ulama dari Pasirdatar yang tergabung dalam Sabilillah yaitu KH. Mahfudin. Selain itu seorang ulama dari Cicurug bernama KH Muhammad Fadholi bahkan mengumpulkan para perampok dan preman yang kemudian digerakan didaerah jakarta dan karawang untuk bertempur melawan Belanda, laskar inilah yang menjadi cikal bakal pasukan Bambu Runcing.
Hingga pengakuan kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949, para ulama dan santri terus aktif melakukan pertempuran yang menganggu pasukan Belanda di Sukabumi yang dilakukan oleh KH Dadun Abdul Qohar, KH Mustafa Bisri Cantayan dan Habib Syekh Salim Al Attas Tipar.
Masih banyak ulama, ustad maupun santri lainnya yang mendakwahkan islam dan turut berjuang mempertahankan negeri ini dengan darahnya. Mereka berhasil menggelorakan semangat belajar dan juga semangat jihad melawan penjajahan.
Setidaknya sebagian kisah yang disampaikan memudahkan kita untuk lebih memahami jejak islam di Sukabumi ini, selain itu bisa menjadi pelajaran bagi generasi sekarang untuk mempertahankan agama dan tetap menjaga serta mencintai negri kita ini.
Seperti yang disampaikan Allah SWT melalui Surat Yusuf 111, “ Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal…”.
Artikel ini merupakan ulasan singkat dari acara Ngaji Sejarah: Membuka Sejarah, Menggali Hikmah yang diselenggarakan oleh Mesjid Raudhatul Irfan Cibolang pada tanggal 26 Mei 2018